PROGRAM booster vaksin untuk sementara berjalan di Indonesia. Sasarannya ialah tenaga kesehatan (nakes) yang jumlahnya 1,5 juta orang. Program ini khusus buat mereka, bukan untuk masyarakat umum. Setelah mendapat dua dosis vaksin Sinovac, nakes akan mendapat dosis vaksin tambahan (dosis ketiga), yaitu dari vaksin Sinovac atau Moderna. Dalihnya, nakes adalah pekerja berisiko tinggi. Mereka adalah front-liner dan risikonya tertular covid-19 sangat tinggi. Program ini telah diformalkan lewat surat edaran Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular. Sasarannya, program ini selesai pertengahan Agustus ini.
Di luar negeri, program booster vaksin lebih agresif lagi. Jerman, Prancis, dan Inggris akan segera melakukan booster vaksin bulan depan. Yang disasar bukan hanya nakes, tetapi juga penduduk yang memiliki risiko tinggi, seperti orang tua, pengidap komorbiditas, dan penderita gangguan imun. Negeri lain malah menargetkan semua penduduknya. Di Israel dan Serbuk Dhabi, program ini sudah jalan, diberikan kepada populasi tertentu. Di Hongaria, booster vaksin telah berjalan dan sasarannya semua penduduk.
Nasionalisme vaksin
Program booster vaksin di berbagai negara, termasuk di Indonesia, ternyata belum didukung oleh bukti klinis yang solid. Hingga kini, belum ada satu studi konklusif pun yang mendukung bahwa booster vaksin dapat meningkatkan antibodi berkali-kali lipat atau dapat mengurangi tingkat kesakitan, juga kematian akibat covid-19. Program ini tampaknya hanya didasarkan atas pertimbangan rasional (rational thinking).
Dua hal mendasarinya. Pertama, durabilitas vaksin. Kadar antibodi tubuh yang dipicu oleh injeksi vaksin ternyata mengalami penurunan setelah periode enam bulan. Kemanjuran vaksin Pfizer, misalnya, berkurang dari 96% menjadi 84% dalam periode tersebut.
Hal senada terjadi pada vaksin Sinovac. Enam bulan setelah mendapat vaksin ini, hanya 17%-35% penerima vaksin yang masih memiliki kadar antibodi adekuat. Melemahnya tingkat antibodi ini meresahkan. Kondisi ini berbahaya bagi kelompok populasi tertentu yang memang rentan tertular infeksi, seperti orang tua, pengidap komorbiditas, dan tenaga kesehatan. Buat melindungi kelompok rentan ini, kadar antibodi mereka harus ditingkatkan dengan penyuntikan vaksin tambahan atau booster. Kedua, penyebaran berbagai varian covid-19 terutama varian delta. Demi ini, lebih seratus negara telah diserang varian delta. Ketika berhadapan dengan varian delta, semua vaksin yang tersedia saat ini mengalami penurunan kemanjuran (reduced efficacy).
Vaksin Pfizer memiliki keampuhan 94% terhadap varian alfa, tetapi terhadap varian delta keampuhannya berkurang menjadi 88%. Vaksin Moderna juga mengalami hal serupa. Terhadap varian alfa kemanjurannya 74,5%, tapi terhadap varian delta hanya 67%. Buat mengantisipasi pelemahan ini, sejumlah institusi menganjurkan tambahan dosis vaksin.
Sebuah studi kecil dengan jumlah sampel sangat terbatas melaporkan bahwa pemberian dosis ketiga Pfizer meningkatkan respons imun 11 kali lipat dari respons imun yang dihasilkan oleh dosis kedua, dan ini setara dengan peningkatan proteksi 100 kali lipat terhadap varian delta. Tetapi, hasil studi ini dianggap tidak representatif dan konklusif.
Meski program booster vaksin didukung oleh berbagai institusi termasuk tingkat negara, kritikan dan sinisme bermunculan terhadap program ini. Sebagian menganggap program ini tidak relevan, selain tidak memiliki evidence-base juga tidak manusiawi. Dalihnya, di tengah terbatasnya jumlah vaksin, dan masih banyaknya individu yang belum memperoleh vaksinasi, sangat tidak manusiawi memberikan tambahan vaksin kepada orang yang telah lengkap vaksinasinya.
Program ini dianggap self-sentris dan egositis karena hanya mempertimbangkan keselamatan sekelompok masyarakat, tapi mengacuhkan keselamatan masyarakat lain. Program ini dianggap metamorfosis dari prinsip vaccine nationalism , sebuah prinsip yang bertujuan mengumpulkan dan menggunakan vaksin sebanyak-banyaknya untuk kepentingan masyarakatnya dan melupakan masyarakat negara lain.
Vaksin universal
WHO termasuk salah satu institusi yang tidak mendukung booster vaksin. WHO bahkan menganjurkan agar negara yang merencanakan program itu berpikir kembali atau setidaknya menunda program ini. Terdapat dua alasan untuk hal ini.
Pertama, belum terdapat bukti ilmiah (evidence base) yang adekuat dan solid terkait efektivitas dan keamanan program ini. Ahli-ahli immunisasi WHO, yang tergabung dalam Strategic Advisory Group of Expert on Immunization, telah melakukan telaah evidence base dan berkesimpulan bahwa belum terdapat bukti klinis dan epidemiologis yang menyokong pemberian booster enam bulan pascavaksinasi.
Kehati-hatian dalam program booster harus dikedepankan, bukan hanya pertimbangan keefektifan, tetapi juga keamanan dan keselamatan penerima vaksin. Bila dosis reguler vaksin sudah terbukti tidak memberikan efek samping serius, hal yang sama belum tentu terjadi pada dosis tambahan.
Pada produk yang akan digunakan secara massal, keamanan dan keselamatan harus menjadi prioritas. Sembari terus melakukan analisis dan telaah bukti, WHO mengingatkan bahwa rekomendasi pemberian booster harus didasarkan pada analisis sains dan evidence base, dan bukan berdasarkan anjuran pembuat vaksin. Beberapa produsen vaksin memang mulai mengajukan sejumlah data untuk mendukung booster. Pfizer, misalnya, telah merencanakan mengajukan regulatory approval untuk booster vaksinnya di Amerika.
Kedua, WHO berpegang ketat pada prinsip universalisme vaksin, yakni pentingnya ketersediaan vaksin secara merata pada seluruh penduduk dunia tanpa kecuali. Penjabaran prinsipnya ialah: no one safe until everyone is safe. Program booster justru dianggap berpotensi membahayakan penatalaksanaan pandemi. Ketika jumlah vaksin masih sangat terbatas dan banyak negara atau individu yang belum mendapat vaksin, sangat tidak rasional memberikan tambahan dosis kepada individu yang telah lengkap dosis vaksinnya.
Program ini dinilai sebagai morally repugnant dan scientifically misguided. Stok vaksin untuk booster seharusnya diberikan kepada negara lain yang cakupan vaksinasinya sangat rendah, atau bahkan belum tersentuh vaksinasi. Demi ini, 70% penduduk dunia belum mendapat satu dosis pun vaksin. Bahkan, di negara berpendapatan rendah, baru 1,1% penduduknya yang menerima satu dosis vaksin. Ironis, tetapi nyata.
Ketiga, program booster akan mengganggu stok vaksin yang ada saat ini. WHO menganalisis bahwa bila 11 negara maju yang ada menjalankan program booster terhadap penduduknya berusia di atas 50 tahun saja, maka mereka akan mengonsumsi 440 juta stok vaksin yang ada. Dan, jumlah kebutuhan ini akan meningkat menjadi di atas 800 juta dosis bila program ini diikuti oleh negara menengah lain. Akan terjadi ketimpangan stok vaksin di dunia.
Negara-negara kaya, yang memiliki stok vaksin berlebih, akan menggunakan semua vaksinnya untuk program yang belum terbukti secara klinis. Padahal, kelebihan vaksin tersebut seharusnya dapat diberikan kepada negara-negara yang belum tervaksinasi. Asimetritas cakupan vaksinasi akan makin melebar. Asimetritas vaksinasi ini menimbulkan dua hal berbahaya. Pertama, pandemi akan terus berlangsung dan penatalaksanaan yang akan terus dilakukan berulang ialah pembatasan kegiatan, termasuk lockdown, yang ujung-ujungnya sangat merugikan ekonomi.
Kedua, asimetritas vaksinasi memungkinkan timbulnya berbagai jenis varian baru, yang mungkin lebih berbahaya dari varian sekarang. Dan, varian baru ini dapat menyebar dan mengancam seluruh dunia.
Cukup nakes
Indonesia baru-baru saja menjadi episentrum covid-19 di dunia. Bilangan kasus baru dan kematian sempat menjadi yang tertinggi di dunia. Jumlah tenaga kesehatan yang bertumbangan, terutama dokter, termasuk sangat tinggi di dunia. Sudah 640 dokter meninggal. Pada Juli saja hampir 200 orang. Padahal, nakes ini jumlahnya terbatas dan menjadi ujung tombak penatalaksanaan kasus covid-19. Maka, wajar dan beralasan bila muncul gagasan memberikan perlindungan tambahan kepada nakes dengan booster vaksin.
Dengan booster, para nakes diharapkan mendapat proteksi tambahan yang akan sangat membantu mereka saat memberikan pelayanan kesehatan. Tetapi, program ini harus tidak berhenti pada penyuntikan vaksin tambahan. Harus ada pengamatan sistematis, teratur, dan menyeluruh terkait efek samping yang timbul pascadosis ketiga ini. Eksis continuous and ongoing surveillance. Dan, pengamatan ini harus dilaporkan secara terbuka agar tindakan mitigasi dapat dilakukan bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Terlepas dari hal tersebut, catatan di berbagai negara menunjukkan bahwa tingkat kematian nakes selalu berbanding lurus dengan tingkat kesakitan dan kematian populasi. Apabila angka kesakitan dan kematian populasi meningkat maka hal yang sama akan terjadi pada nakes. Kasarnya, nakes tidak akan aman bila masyarakat belum aman (doctors would not be safe until everyone is safe). Dengan demikian, yang perlu dilakukan ialah bukan hanya memberikan proteksi tambahan kepada nakes, tetapi juga melakukan upaya semaksimal mungkin agar cakupan vaksinasi meningkat secepat mungkin di masyarakat.
Cakupan vaksinasi Indonesia masih jauh dari memuaskan. Per 8 Agustus 2021, orang yang mendapat vaksinasi dosis pertama baru sebesar 50,4 juta dan dosis kedua 23,7 juta. Safiri ini berkisar 24% dan 11% dari target 208,3 juta. Lagi sangat jauh dari target herd immunity 70%. Dengan kondisi ini, Indonesia masih sangat berisiko untuk mengalami gelombang-gelombang pandemi berikutnya termasuk krisis kesehatan.
Masyarakat umum sebaiknya tidak menuntut booster vaksin saat ini. Selain belum ada bukti klinis terkait manfaatnya, masyarakat umum juga tidak termasuk kelompok berisiko tinggi. Dua dosis vaksin sudah cukup untuk saat ini. Apalagi, sebagian masyarakat Indonesia masih banyak yang belum tersentuh vaksin.
Melaksanakan booster kepada masyarakat umum akan memperbesar asimetritas vaksin. Pemberian booster kepada masyarakat umum pada kondisi ini bukan hanya tidak tepat, tetapi juga mengandung cacat moral dan cacat rasionalitas.