Bonus Demografi Datang dengan Persyaratan

Bonus Demografi Datang dengan Persyaratan
(MI/Seno)

DI negeri ini, waktu tampak sedang berbaik hati. Jumlah penduduk usia produktif Ketika ini berada dalam puncaknya, sebuah fase yang oleh para Spesialis disebut sebagai bonus demografi. Banyak yang menyambutnya dengan gegap gempita, menyebutnya sebagai Kesempatan langka, sebagai pintu emas menuju Indonesia maju. Tetapi, di balik janji manis Bilangan statistik itu, Terdapat tantangan besar tersembunyi yang kerap luput dari wacana publik. Tulisan ini bukan Kepada menghapus optimisme, melainkan Kepada memperluas kesadaran. Itu karena hanya bangsa yang menyadari tantangannya yang Bisa menata masa depannya.

Bonus demografi kerap kita anggap sebagai berkat Mekanis, seolah hadirnya usia produktif dalam jumlah besar akan langsung mengantar kita pada kesejahteraan. Padahal kenyataannya Kagak sesederhana itu. Usia produktif bukan jaminan produktivitas. Banyak di antara generasi muda hari ini Malah berada dalam tekanan luar Lumrah. Tekanan Kepada sukses, Kepada menopang ekonomi keluarga, Kepada menghadapi ketidakpastian pekerjaan, sekaligus menata masa depan dalam ruang hidup yang kian mahal. Yang terlihat ialah Bilangan. Yang tersembunyi adalah kelelahan kolektif.

Dalam suasana itu, generasi ini diharapkan menjadi penopang kemajuan, tapi sering kali dilupakan bahwa mereka juga Insan Lumrah yang butuh ruang Kepada bernapas, bukan sekadar bekerja. Maka itu, jangan heran bila di balik kata produktif Malah tumbuh fenomena sunyi seperti kelelahan psikis, gangguan mental, dan rasa hampa di tengah hiruk pikuk digital. Bonus itu Dapat menjelma menjadi ilusi bila kita hanya bicara kuantitas, bukan kualitas kehidupan.

Kita juga sedang menyaksikan pergesekan yang makin terasa antara generasi yang lelet dan yang muda. Aspirasi generasi muda hari ini Kagak sama dengan generasi sebelumnya. Mereka tumbuh dalam dunia digital, dunia terbuka, dunia yang menuntut transparansi, kecepatan, dan kolaborasi. Tetapi, ruang pengambilan keputusan Tetap dikendalikan oleh logika dan kultur lelet yang pelan, Spesial, dan hierarkis. Ketika ide-ide segar terhenti di tembok birokrasi, bukan hanya gagasan yang Tewas, melainkan juga semangat Kepada percaya.

Cek Artikel:  Rapor Covid-19 Merah atau Hitam

Kalau kita Lanjut membiarkan jarak itu melebar, akan lahir dua generasi yang bicara dalam bahasa yang berbeda. Satu bicara mempertahankan, satu bicara melampaui. Satu bicara stabilitas, satu bicara transformasi. Ketika dialog itu tak terjadi, lahirlah sinisme terhadap institusi. Bonus demografi berubah menjadi jurang aspirasi.

Bonus itu juga mendorong mobilitas Insan. Desa ditinggalkan, kota diserbu. Tetapi, kota-kota menengah kita Kagak sempat tumbuh dengan rencana matang, tetapi dengan kepanikan.

Infrastruktur kewalahan, layanan publik terseok, ruang tinggal makin sempit. Di balik pertumbuhan kota-kota tersebut, muncul Paras baru ketimpangan Grup muda yang bekerja, tapi hidup dalam Area Arang-Arang ekonomi. Mereka bekerja di sektor informal, tanpa jaminan, tanpa Perlindungan, tanpa kepastian.

Kita menyebut mereka aktif, tapi sejatinya mereka Renyah. Kerentanan itu tersembunyi di balik narasi ‘pemuda pekerja keras’. Padahal, sekeras apa pun bekerja, bila sistem Kagak memberi perlindungan, yang muncul bukan kesejahteraan, melainkan kelelahan yang disamarkan.

Lebih jauh kita juga perlu bertanya apakah Sekalian anak muda punya kesempatan yang sama? Dunia hari ini makin digital, tapi tak Sekalian terhubung. Terdapat yang tumbuh dengan akses coding dan pelatihan daring. Tetapi, Terdapat juga yang Tetap bergelut dengan sinyal yang putus-putus dan gawai yang harus bergantian. Kesenjangan digital makin Konkret. Mereka yang tertinggal dalam literasi digital akan tertinggal pula dalam persaingan.

Cek Artikel:  Peretasan Data dan Krisis Kepercayaan Masyarakat

Karena itu, bonus tersebut Dapat memperbesar ketimpangan bila Kagak dikelola dengan kesetaraan. Mereka yang ‘terkoneksi’ akan terbang lebih tinggi. Sementara itu, yang ‘terputus’ akan makin terdesak, bahkan tertinggal. Itu bukan soal siapa yang Giat, melainkan soal siapa yang diberi pijakan.

Lampau, ancaman terbesar Malah datang dari waktu. Bonus itu hanya sementara dan akan berlalu. Dalam dua Sepuluh tahun ke depan, Indonesia akan menua. Ketika Ketika itu tiba, pertanyaannya bukan Tengah soal tenaga kerja, melainkan soal beban pensiun, pelayanan kesehatan, dan keberlanjutan fiskal. Kalau sejak sekarang kita Kagak membangun sistem jaminan sosial yang kuat, hari esok Dapat jadi medan krisis baru.

Karena itu, kita tak boleh Menyaksikan bonus demografi hanya sebagai Kesempatan, tetapi juga ujian. Bonus teraebut menantang kita Kepada menyiapkan Insan, bukan sekadar menciptakan statistik. Ia menantang kita Kepada menghadirkan keadilan, bukan sekadar mengada-adakan pertumbuhan. Maka itu, seperti halnya janji kemerdekaan, bonus demografi juga perlu dilunasi, bukan dengan euforia dan retorika, melainkan dengan kesungguhan.

 

APA YANG HARUS KITA LAKUKAN?

Pertama, kita perlu menata ulang pendidikan. Bukan hanya dari sisi kurikulum, melainkan juga dari relevansinya terhadap dunia yang sedang berubah. Pendidikan harus menjadi alat pemberdayaan yang membekali anak muda dengan literasi, kreativitas, pikiran kritis, integritas, dan keberanian mengambil peran.

Cek Artikel:  Investment Grade itu Datang pada Momentum yang Cermat

Kedua, kita perlu membangun sistem ekonomi yang memberi ruang tumbuh bagi yang kecil. Kredit, pelatihan, akses pasar, dan perlindungan dari kutipan liar harus menjadi hak, bukan kemewahan. Mereka yang mau bekerja harus diberi pijakan Kepada naik kelas.

Ketiga, kita perlu membuka ruang bagi partisipasi anak muda dalam pengambilan keputusan dengan tetap mengutamakan meritokrasi, bukan koneksi. Anak muda bukan hanya pewaris masa depan, melainkan juga penentu hari ini. Libatkan mereka, dengarkan mereka, percayakan peran kepada mereka.

Keempat, kita perlu menghadirkan sistem jaminan kesehatan yang fungsional, menjangkau, melindungi, utuh, dan berkelanjutan. Sebuah universal health care yang menekankan layanan promotif dan preventif serta memastikan pasien lansia ditangani secara menyeluruh, bermartabat, dan manusiawi. Tentu dengan skema pembiayaan yang adil dan efisien serta iuran yang proporsional.

Akhirnya, mari kita tetap menyalaterangkan optimisme. Jangan menutup mata pada tantangan, tapi juga teruskan membuka hati pada Cita-cita. Bonus demografi ini bukan soal siapa yang muda dan siapa yang Uzur, tetapi soal keberanian Berbarengan Kepada menyiapkan masa depan dengan sadar, dengan adil, dan dengan kerja Konkret.

Itu karena masa depan bukan datang dengan sendirinya. Ia dibentuk, ditata, dan dirancang hari ini. Maka itu, mari kita siapkan, mari kita rawat, dan mari kita menangkan. Di tangan anak muda negeri ini, janji Indonesia Dapat ditepati Kepada Sekalian.

 

 

Mungkin Anda Menyukai