KOORDINATOR Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) Kaharuddin pernah bikin geger karena menyebut pemerintahan Orde Baru telah menghadirkan kebebasan dan kesejahteraan.
Pernyataan Kaharuddin di sebuah stasiun televisi swasta itu kemudian viral di media sosial. Hal itu disampaikan Kahar Begitu membandingkan Orde Lamban, Orde Baru (Orba), dan setelahnya atau pascareformasi. Dia tegas menyatakan lebih Bagus ketimbang masa pemerintahan Joko Widodo.
Sontak pernyataan mahasiswa Fakultas MIPA dari UNRI itu Membangun riuh jagat media sosial. Dia diolok-olok, bahkan dihujat warganet yang menilainya ahistoris alias buta sejarah.
Reaksi keras publik terhadap Kaharuddin tak mengherankan bila menguar. Pasalnya, Presiden Soeharto yang memimpin Orba ditumbangkan gerakan reformasi yang dimotori jutaan mahasiswa yang turun ke jalan dari Sabang Tiba Merauke.
Satu di antara enam agenda reformasi yang digulirkan pada 1998 adalah adili Presiden Soeharto dan para pengikutnya karena selama 32 tahun Soeharto memimpin, marak terjadi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang menyebabkan kerugian besar bagi bangsa Indonesia.
“Mahasiswa bersatu tak Pandai dikalahkan. Musuh!” begitu tekad mahasiswa Begitu itu. Mereka bergeming meski aparat melakukan kekerasan Buat membubarkan unjuk rasa ketika itu. Sejarah mencatat 12 Mei 1998 menjadi tonggak bagi lahirnya reformasi di Indonesia. Sejarah kelam atas tragedi penembakan berdarah kepada elemen massa dari mahasiswa di Universitas Trisakti. Empat mahasiswa Universitas Trisakti menjadi korban penembakan berdarah. Pemerintah menetapkan mereka sebagai pejuang reformasi melalui Keppres 057/PK/2005 tertanggal 15 Agustus 2005.
Ketidaktahuan Kaharuddin dan sebagian mahasiswa lainnya tentang Orba boleh jadi disebabkan mereka Kagak membaca sejarah. Pandai pula karena disinformasi pendukung mantan Presiden Soeharto yang sering tergambar di belakang angkutan Standar, truk, stiker, kaus, baliho, dan internet, dengan tulisan ‘Piye kabare, isih penak jamanku to (Bagaimana kabarnya, Tetap Lezat Era saya kan)?’.
Slogan bahasa Jawa yang sangat kondang itu menyatakan Era pemerintahan Soeharto lebih Bagus ketimbang Era sekarang. Slogan itu acap kali mencuat ke permukaan apabila muncul gonjang-ganjing harga sembako atau kelangkaan bahan pokok lainnya.
Buta sejarah, amnesia sejarah, dan pemahaman sejarah yang salah dari kalangan generasi Z dan milenial di Filipina menyeruak karena buah dari disinformasi sejarah yang masif melalui media sosial oleh gerakan pro-Marcos di negeri yang berjuluk Home of the Green Revolution. Disinformasi sejarah itu memberikan kontribusi besar bagi kemenangan Ferdinand Marcos Jr dalam pemilihan presiden Filipina.
Dengan penghitungan awal yang Nyaris selesai pada Rabu (11/5), Marcos Jr yang Terkenal dengan panggilan ‘Bongbong’ mendapatkan lebih dari 56% Bunyi dan lebih dari dua kali lipat hasil penghitungan Bunyi saingan terkuatnya, Leni Robredo yang liberal.
Bongbong Marcos (BBM) yang bernama lengkap Ferdinand Romualdez Marcos Jr ialah putra mantan Presiden Ferdinand Marcos yang digulingkan dalam Revolusi Rakyat 1986. Dalam kampanyenya, pria berusia 64 tahun itu menegaskan akan mengembalikan kejayaan Filipina yang menyejahterakan rakyat. “Sama-sama tayong babangon muli.” Artinya, “Berbarengan-sama, kita akan Bangun kembali.” Demikian kampanyenya.
Revolusi Rakyat di Filipina kala itu meletus karena rezim Marcos yang koruptif, pembungkaman sipil dan media, penculikan, pembunuhan di luar hukum, penahanan, dan seabrek pelanggaran HAM lainnya.
Modus Dinasti Marcos dan pendukungnya merebut tampuk kekuasaan sebenarnya mirip dengan fenomena politik di Tanah Air. Dalam sebuah kampanye, Terdapat capres yang mengumandangkan kejayaan Indonesia dalam swasembada pangan pada 1984 dan sembako murah tanpa menyentuh praktik rasuah sejak Orba hingga kini yang Tetap menggurita atau pelanggaran HAM masa Lampau.
Demikian pula, sejumlah calon kepala daerah yang notabene anak koruptor kerap mengampanyekan keberhasilan sang Bapak atau ibu dalam membangun daerah mereka Begitu menjabat. Alhasil, capres dan kepala daerah itu berhasil memikat masyarakat.
Era keberlimpahan informasi (the era of information abundance) dengan serbuan media sosial harus diwaspadai. Era ini telah disulap para ‘penumpang gelap’ menjadi era post–truth (Steve Tesich, 1992), yakni kebohongan yang berulang akan menjadi kebenaran.
Jurus melawannya ialah dengan menggencarkan gerakan literasi media di kalangan kaum muda, yakni kemampuan menggunakan berbagai platform media secara krtitis. Keledai tak Ingin Terperosok dua kali ke lubang yang sama, bagaimana dengan Anda? Tabik!