Biodiesel Sawit dan Ancaman Deforestasi

Biodiesel Sawit dan Ancaman Deforestasi
Tommy Ardian Pratama.(Dokpri)

TAK ketinggalan ikut memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-79 pada 18 Agustus 2024, Menteri Pertanian Amran Sulaiman melakukan soft launching biodiesel B-50 di Kalimantan Selatan. Padahal baru beberapa bulan sebelumnya, tepatnya Mei 2024, pemerintah melakukan uji terap biodiesel B40 (campuran solar dengan 40% bahan bakar nabati yang berbasis minyak kelapa sawit). 

Ambisi kebut-kebutan menuju energi hijau itu ironisnya berpotensi memunculkan masalah baru dan bertentangan dengan niat pemerintah untuk meredam emisi gas rumah kaca. Bingungkatan bauran biodiesel secara cepat dan masif memunculkan ancaman deforestasi karena perluasan lahan kebun sawit untuk menutupi kebutuhan dalam dan luar negeri. 

Indonesia sudah mencanangkan upaya mengurangi ketergantungan energi fosil sejak 2008 dengan mengimplementasikan biodiesel. Indonesia menjalankan program mandatori biodiesel dimulai dengan menerapkan 2,5% biodiesel dalam campuran solar yang dikenal sebagai B2,5. Lampau kadar ditingkatkan menjadi 7,5% selama 2008 hingga 2010. Mulai April 2015, kadar ditambah jadi 10% dan 15%, lantas pada Januari 2016 dinaikkan lagi sehingga 20% yang disebut B20.

Baca juga : Kementan Perjuangkan Akses Pasar Sawit Berkelanjutan di Uni Eropa

Pada 2009, produksi biodiesel baru (B2,5) mencapai 190.000 kiloliter (kl) dan meningkat secara bertahap seiring dengan peningkatan campuran sawit. Pada 2014, campuran sawit mencapai 10% dengan volume produksi sebesar 3,96 juta kl.

Cek Artikel:  Amin dari Doa-Doa Rakyat

Penetapan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Mengertin 2015 tentang Penghimpunan Biaya Perkebunan dan Peraturan Presiden Nomor 61 Mengertin 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Biaya Perkebunan Kelapa Sawit menjadi dasar melanjutkan program mandatori biodiesel di Indonesia. Regulasi tersebut memberikan peluang untuk memanfaatkan dana sawit hasil pungutan ekspor produk sawit untuk insentif pengembangan biodiesel.

Bonus biodiesel meningkatkan produksi biodiesel Indonesia yang sebelumnya di 2016 mencapai 3,66 juta kl (B20 pada sektor public service obligation/PSO) menjadi 6,17 juta kl (B20 sektor PSO dan non-PSO) pada 2018. Produksi biodiesel terus meningkat pada implementasi mandatori B30, yakni 8,59 juta kl pada 2020 menjadi 8,98 juta kl pada 2021 dan 11,81 juta kl pada 2022.

Baca juga : Legislator: PalmCo Pandai Kokohkan Keberadaan Petani Sawit Rakyat

Kebijakan mandatori B35 berlaku awal Februari. Pemerintah menargetkan alokasi volume biodiesel sebesar 13,15 juta kl. Pemerintah menetapkan kuota penyaluran biodiesel B35 sebesar 13,41 juta kl atau sekitar 226 ribu barel per hari.

Produksi minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO) untuk konsumsi biodiesel terus melonjak. Bingungkatan konsumsi biodiesel itu tanpa mengurangi penggunaan CPO untuk konsumsi pangan karena permintaan yang tinggi dalam sektor pangan. Hal ini berarti permintaan CPO akan terus meningkat untuk memenuhi kebutuhan pangan dan energi nasional.

Cek Artikel:  Impian Indonesia Emas 2045

Berdasarkan hasil riset Traction Energy Asia, Indonesia berpotensi mengalami defisit produksi CPO sejak 2024, bila pencampuran biodiesel terus ditingkatkan. Ini berarti total permintaan CPO untuk pangan, biodiesel, oleokimia, dan ekspor melebihi jumlah produksi CPO yang dapat dihasilkan dengan luas lahan seperti 2023.

Baca juga : Holding Perkebunan Nusantara Rencanakan Penggabungan 13 PTPN

Kepada menutupi kekurangan produksi itu, perluasan lahan kebun sawit bakal menjadi pilihan. Luasan lahan sawit sangat menentukan besarnya produksi CPO. Penambahan lahan sawit sebesar 1%-1,74% atau 153.800-267.000 hektare dapat terjadi tiap tahun untuk memenuhi permintaan CPO domestik untuk pangan dan bahan bakardan permintaan luar negeri. 

Penambahan lahan itu baru dapat memenuhi kebutuhan biodiesel sawit sampai B40. Produksi CPO tidak mampu memenuhi permintaan domestik dan ekspor jika kebijakan bauran B100 diterapkan. Walhasil, perluasan lahan sawit kembali menjadi pilihan.

Lahan sawit selama ini menjadi satu dari banyak sebab terjadi deforestasi atau alih fungsi lahan dari hutan ke perkebunan. Deforestasi yang terus meningkat akan berdampak negatif pada lingkungan, keanekaragaman hayati, dan upaya mengurangi emisi gas rumah kaca. Deforestasi berkontribusi pada kehilangan habitat spesies terancam punah dan pelepasan emisi karbon yang signifikan. Selain itu, praktik pertanian yang tidak berkelanjutan dapat menyebabkan degradasi tanah, pencemaran air, dan masalah sosial-ekonomi bagi komunitas setempat. 

Cek Artikel:  Integritas Penyelenggara Pemilu 2024

Oleh karena itu, meskipun CPO memiliki potensi sebagai sumber bahan bakar ramah lingkungan, terdapat kekhawatiran signifikan mengenai dampaknya terhadap lingkungan. Situasi itu menunjukkan perlu keseimbangan antara pengembangan energi terbarukan untuk mengatasi perubahan iklim dan perlindungan ketahanan pangan global. Salah satu solusi yang diajukan ialah mencari alternatif bahan baku untuk produksi biodiesel yang tidak bersaing langsung dengan sektor pangan, seperti penggunaan limbah pertanian atau tanaman nonpangan. 

Dengan fokus pada penggunaan limbah, seperti minyak jelantah, biofuel dapat menjadi solusi yang lebih berkelanjutan dalam mendukung kebutuhan energi tanpa mengorbankan keamanan pangan atau merusak lingkungan. Pengembangan potensi biodiesel menggunakan bahan baku limbah itu tentu saja memerlukan dukungan investasi teknologi bioenergi. Kepada itu, perlu pendekatan holistik agar perumusan kebijakan biofuel mempertimbangkan dampak terhadap lingkungan dan pangan.

Mungkin Anda Menyukai