RAPAT Kerja Nasional (Rakernas) V PDIP menjadi topik politik yang paling hangat akhir pekan kemarin. Pada pembukaan rakernas, Jumat (24/5), Ketua DPP PDIP Ahmad Basarah mengatakan rakernas akan menetapkan sikap politik partai.
Sikap yang paling dinantikan ialah apakah PDIP akan memilih berada di luar pemerintahan alias memainkan peran sebagai oposisi, atau bergabung dengan koalisi presiden terpilih Prabowo Subianto. PDIP telah berulang kali mengkritik keras proses Pemilu 2024 dan hasilnya yang dianggap penuh kecurangan. Tetapi, belum ada ketegasan sikap partai untuk menjadi oposisi.
Dalam pidato politik pembukaan rakernas, Ketua Lazim PDIP Megawati Soekarnoputri dinilai telah memberi kode keras agar partainya memilih menjadi oposisi. Salah satunya karena ucapan Megawati yang menegaskan demokrasi membutuhkan mekanisme checks and balances, yakni ada kontrol dan penyeimbang.
Megawati menyoroti adanya anomali dalam penerapan sistem demokrasi di Tanah Air. Anomali seperti itu, Megawati menyitir para pakar, telah melahirkan kepemimpinan paradoks berwatak otoriter populis. Dengan kritik-kritik kerasnya, Megawati lantas memproklamasikan dirinya sebagai ‘provokator’. “Demi kebenaran dan keadilan,” cetusnya.
Langkah penentuan sikap politik dijalankan forum rakernas. Plot twist muncul saat pembacaan rekomendasi hasil rakernas, kemarin. Di situ, Ketua DPP PDIP Puan Maharani mengatakan rakernas V partai memberi kewenangan penuh kepada Megawati selaku ketua umum untuk menentukan sikap politik partai kepada pemerintah. Satu langkah mundur.
Giliran Megawati yang menyampaikan pidato politik, mengayunkan langkah maju. Presiden ke-5 RI itu mengkritik praktik-praktik penyelenggaraan pemerintahan, mulai dari kebijakan utang, impor, ketidaksinambungan pembangunan, hingga kembali lagi ke soal penyelenggaraan pemilu.
Ketika sampai pada soal sikap politik, memilih di luar atau di dalam pemerintahan, Megawati menyatakan tidak bisa mengungkapkan hari itu. “Harus ada hitungan politik,” kata dia. Mundur lagi.
PDIP seperti sedang melakukan tari Poco-Poco oposisi. Megawati juga memakai analogi tarian dengan gerak langkah maju-mundur asal Maluku tersebut dalam pidatonya. Ia menyebut Poco-Poco sebagai dampak ketidaksinambungan pembangunan nasional seiring pergantian kepemimpinan. Kiranya analogi serupa tepat pula menggambarkan kebimbangan sikap politik PDIP.
Peran oposisi secara ketatanegaraan di Indonesia memang tidak dikenal. Alhasil, sebetulnya tidak ada kewajiban bagi partai politik untuk memilih antara menjadi oposisi atau bergabung ke koalisi pemerintahan.
Tetapi, ada semacam norma tidak tertulis bahwa hanya partai yang bergabung ke koalisi pemerintahan yang mendapat bagian kursi di kabinet. Mereka juga harus senantiasa mendukung kebijakan pemerintah. Setidaknya, kalau menegur, tidak keras-keras lah. Peran partai pendukung penting agar penyelenggaraan pemerintahan tidak mandek.
Di sisi lain, jika semua partai ikut gerbong pemerintahan, fungsi kontrol dan penyeimbang bakal tumpul. Demokrasi melemah. Di sini perlunya peran oposisi yang mampu memberikan koreksi kritis.
Sebagai peraih kursi terbanyak di parlemen, PDIP sangat tepat menjadi penyeimbang. Bunyi oposisi akan lebih lantang, bukan hanya sayup-sayup. Maka, kita terus mendorong PDIP menegaskan sikap. Syukur-syukur memilih berada di luar pemerintahan agar kehidupan demokrasi menjadi sehat lewat tumbuhnya fungsi checks and balances yang kuat.