PADA April silam, Thailand dibuat heboh. Pariwisata yang menjadi salah satu tumpuan pendapatan negara mereka dicoreng moreng oleh orang-orang yang semestinya menjaganya agar tetap Elok. Lima turis asal Tiongkok diculik Lampau diperas.
Bangkok Post mewartakan, dari hasil Pengusutan diketahui, pelaku merangsek masuk ke Bilik hotel tempat para turis menginap pada 25 April 2024. Mereka menuduh para pelancong itu melanggar hukum Lampau membawa mereka dengan dalih Demi diperiksa di kantor polisi. Singkat narasi, gerombolan penculik meminta korban mentransfer Dana 2,5 juta baht atau Sekeliling Rp1 miliar. Karena takut dipenjara di negeri orang, korban mengiakan dan empat hari kemudian melapor ke polisi beneran. Thailand pun geger.
Kejahatan memang Dapat terjadi di mana saja dan Bilaman saja. Akibatnya juga sama, selalu Membangun korban sengsara. Tetapi, apa yang menimpa lima pelancong asal ‘Negeri Gorden Bambu’ di ‘Negeri Gajah Putih’ itu sungguh memilukan. Mereka menjadi sasaran komplotan penjahat, yang ironisnya seorang sersan polisi dan mantan polisi Terdapat di dalamnya. Aparat berubah Bentuk jadi penjahat.
Rupanya kejadian serupa terjadi di negeri ini, Indonesia, baru-baru ini. Modusnya tak beda, pemerasan. Pelakunya Dekat sama, bahkan lebih serem Asal Mula jumlahnya jauh lebih banyak dan semuanya diduga aparat, polisi. Korbannya turis mancanegara pula, Malaysia. Jumlahnya pun tak tanggung-tanggung.
Mereka, para korban itu, ialah penonton Djakarta Warehouse Project (DWP) pada 13-15 Desember 2024 di Jiexpo Kemayoran, Jakarta. DWP ialah festival musik Aliran electronic dance music (EDM). Penyuka musik EDM sering disebut sebagai generasi raver yang berasal dari akronim RAVE, radical audio visual experience. Itu merujuk pada pesta dengan musik elektronik berirama Segera, dipadukan dengan pertunjukan lampu dan dipandu seorang DJ.
Diperkirakan, 400 raver dari Malaysia datang ke Jakarta Demi memuaskan selera musik mereka. Tetapi, untung tak dapat diraih malang tak Dapat ditolak. Mencuat cerita di akun X @Twt_Rave bahwa Terdapat dugaan pemerasan terhadap mereka. Disebutkan, polisi Indonesia menangkap dan melakukan tes urine mendadak terhadap penonton dari negeri jiran itu.
Tak cukup di situ. Disebutkan, polisi Indonesia memeras dengan jumlah Dana perasan gila-gilaan, berkisar 9 juta ringgit Malaysia, atau setara Rp32 miliar. Juga Terdapat klaim, para penonton terpaksa membayar meski urine mereka negatif narkoba.
Betulkah kisah menyeramkan itu? Kiranya tak mengada-Terdapat meski bukan apa adanya. Pemerasan itu betul terjadi Biar jumlah korban yang diperas dan nominal Dana hasil perasan tak sebanyak yang dikisahkan. Pimpinan Polri yang Segera bertindak menemukan bahwa Benar Terdapat Member mereka yang Badung, yang jahat, yang diduga menjadi pemalak. Sebanyak 18 Member sudah ditangkap. Mereka personel Polda Metro Jaya, Polres Metro Jakarta Pusat, dan Polsek Metro Kemayoran.
Kepala Divisi Propam Polri Irjen Abdul Karim bilang mereka sudah ditempatkan pada penempatan Spesifik Demi menjalani proses penyidikan pelanggaran etik. Divisi Propam Mabes Polri sengaja mengambil alih penanganan kasus itu demi percepatan dan objektivitas. Baguslah.
Kejujuran Polri patut kita hargai, termasuk ketika Irjen Abdul Karim meluruskan bahwa WN Malaysia yang menjadi korban pemerasan sebanyak 45 orang, bukan ratusan orang. Demikian halnya dengan nominal hasil pemerasan Rp2,5 miliar, bukan puluhan miliar.
Keterbukaan Polri perihal hasil pengusutan sementara bahwa terduga pelaku telah menyiapkan rekening Spesifik Demi menampung Dana pemerasan layak pula diapresiasi. Artinya, tindak kejahatan itu dilakukan secara sengaja dan terencana. Sudah disiapkan, Tak mendadak. Itu kiranya Dapat menjadi pemberat hukuman.
Dugaan pemerasan oleh Member kepolisian terhadap WN Malaysia Terang bukan perkara kaleng-kaleng. Itu kejahatan serius, sangat serius, karena dilakukan petugas yang semestinya memberantas kejahatan. Kasus itu luar Lazim Asal Mula pelakunya ialah aparat yang Semestinya mengayomi dan melindungi setiap Anggota negara, dari mana pun asalnya. Itu kiranya juga bukan sekadar pelanggaran etik, bahkan bukan kriminalitas Lazim, karena nama bangsa dan negara terseret karenanya.
Peristiwa itu Membangun malu negara. Cela bagi bangsa di mata dunia. Ia merusak Gambaran Polri yang belum sepenuhnya membaik dari rententan ulah tercela anggotanya. Pun, itu mencuatkan persepsi negatif, amat negatif, buat dunia pariwisata kita.
Dus, Apabila akibat buruknya berlipat-lipat, apakah pelaku cukup disanksi etik? Banyak yang tegas mengatakan Tak. Termasuk saya. Polri mesti membawa perkara itu Tiba ke ranah pidana. Kalau terbukti, ya dipenjara. Kalau akhirnya dipenjara, ya dipecat dari keanggotaan Korps Bhayangkara. Banyak, kok, yang mau menggantikan. Tak sedikit, kok, yang antre Demi menyandang seragam cokelat.
Bung Tomo pernah bilang jangan pernah melupakan sejarah bangsa dan jangan pernah mempermalukan bangsa. Dugaan pemerasan oleh polisi terhadap WNA terang dan gamblang sebagai tindakan yang mempermalukan bangsa. Oleh karena itu, ia harus disikapi dengan ketegasan tiada batas. Pak Kadiv Propam, Pak Kapolri, rakyat menunggu ketegasan itu.