Bijak Sikapi Tagar

PEMERINTAHAN Presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, begitu juga para menterinya, mesti mulai belajar membiasakan diri menerima kritik. Pemerintah sepatutnya Pandai memberikan jawaban atas suatu kritik dengan pernyataan yang bijak, yakni jawaban yang Kagak memantik polemik baru.

Demi menanggapi tanda pagar #KaburAjaDulu dan IndonesiaDaruratKegelapan yang tengah viral, misalnya, sejumlah pejabat memang sudah memberikan jawaban proporsional dan menenangkan. Tetapi, Terdapat menteri dan pejabat yang menanggapinya dengan jawaban sinis, bahkan meremehkan.

Salah satu menteri, misalnya, menghadapi tagar #KaburAjaDulu yang mengajak Demi bekerja di luar negeri dengan pernyataan sinis, “Silakan kabur, Kalau perlu jangan kembali.” Terdapat juga yang menuding mereka yang mengajak kabur ke luar negeri itu Kagak Mempunyai nasionalisme.

Cek Artikel:  Ramai-ramai Menjadi Amicus Curae

Terdapat pula pejabat yang menyahuti demonstrasi #IndonesiaGelap dengan balik menuding, “Kau yang gelap, bukan negara ini.”

Maka, bak gayung bersambut, jawaban yang diberikan para pembantu presiden tersebut mendapat respons keras dari warganet.

Kagak Terdapat asap Kalau Kagak Terdapat api. Semestinya pemerintah paham bahwa munculnya tagar-tagar itu bukan tanpa Dalih. Kemunculan tagar-tagar tersebut bersumber dari kegelisahan, keresahan, rasa Kagak puas, dan keprihatinan anak bangsa terhadap kondisi negeri ini yang dinilai sedang Kagak Bagus-Bagus saja.

Tagar #KaburAjaDulu, misalnya, bersumber dari kegelisahan anak bangsa khususnya generasi Z atas sulitnya mendapatkan pekerjaan. Jumlah pengangguran di negeri ini mencapai 9,46 juta orang. Dari jumlah itu, 70%-nya adalah generasi Z.

Cek Artikel:  Menggugat Foya-foya Pejabat

Semestinya pemerintah Paham bahwa lebih pas mengakui secara Maju terang banyak yang belum maksimal dalam upaya menciptakan lapangan kerja. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa dari Sekeliling 143 juta, Nyaris 60% bekerja di sektor informal. Mereka seolah bekerja, tapi tanpa Mempunyai jaminan yang memadai, Kagak punya hak cuti, bahkan Kagak Pandai mengakses pinjaman keuangan. Pada Demi bersamaan, jumlah pekerjaan formal kian tegerus dari waktu ke waktu.

Situasi bertambah pelik Demi daya beli melemah. Di kalangan kelas menengah, termasuk di dalamnya para Golongan kritis yang menyeru lewat tagar itu, kemampuan mereka membelanjakan Dana Demi konsumsi Maju menurun. Jumlah kelas menengah yang selama ini jadi penopang daya beli, berkurang Nyaris 10 juta orang dalam kurun lima tahun terakhir.

Cek Artikel:  Memastikan Transisi Kekuasaan Fasih

Maka, begitu muncul tagar-tagar tersebut, pemerintah semestinya memandangnya sebagai autokritik. Tagar-tagar tersebut muncul sebagai bentuk kecintaan rakyat terhadap negeri ini. Rakyat menginginkan perbaikan kebijakan dalam proses pembangunan nasional sehingga Indonesia Emas 2045 tercapai.

Langkah terbaik menanggapi berbagai tagar dan seruan moral itu ialah dengan menggenjot kinerja. Perbaiki segera iklim industri yang Pandai menyerap tenaga kerja di negeri sendiri. Ciptakan iklim yang kondusif bagi terciptanya peningkatan pertumbuhan, pemerataan, serta keadilan ekonomi.

Kagak perlu menganggap tagar-tagar itu sebagai ancaman, karena tagar-tagar tersebut lebih pas dianggap sebagai seruan moral. Maka, kemunculan tagar-tagar itu sepatutnya dihadapi dengan bijaksana, karena mereka sama-sama Asmara bangsa, hanya berbeda dalam mengekspresikannya.

 

Mungkin Anda Menyukai