Ilustrasi. Foto: Medcom.id
Jakarta: Hasil riset IFG Progress, lembaga think tank Indonesia Financial Group (IFG), Holding BUMN Asuransi, Penjaminan, dan Investasi menunjukkan masyarakat Indonesia akan mengeluarkan biaya yang lebih tinggi untuk urusan kesehatan karena fenomena tingkat inflasi kesehatan Indonesia yang sedang menunjukkan tren kenaikan.
Kondisi ini akan berdampak pada meningkatnya nilai klaim kesehatan, sehingga industri asuransi kesehatan perlu menerapkan pengelolaan risiko yang prudent sejalan dengan nilai klaim yang berpotensi meningkat tersebut.
Demikian penegasan dari hasil riset IFG Progress bertajuk “Ancaman Inflasi Kesehatan terhadap Industri Asuransi Kesehatan”, yang dipublikasikan melalui laman IFG Progress pada 27 September 2024.
Senior Research Associate IFG Progress Ibrahim Kholilul Rohman mengungkapkan, biaya kesehatan Indonesia pada 2023 lalu diperkirakan tumbuh 13,6 persen atau lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 12,3 persen. Pertumbuhan tersebut merupakan yang paling tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga di kawasan ASEAN, bahkan tercatat lebih tinggi secara rata-rata global.
Biaya kesehatan yang tinggi tersebut timbul karena adanya inflasi kesehatan, yang terefleksi dari kenaikan harga layanan medis, obat-obatan, dan teknologi kesehatan. Di sisi lain, gaya hidup yang tidak sehat, tingkat stres yang tinggi, polusi lingkungan, dan perubahan iklim yang turut menyebabkan kenaikan penyakit kronis dan katastropik membutuhkan biaya perawatan yang lebih tinggi.
“Dengan angka inflasi kesehatan di atas 12 persen, jauh dari inflasi umum hanya 5,51 persen, masyarakat harus mengeluarkan lebih banyak uang untuk mendapatkan perawatan. Ketika peningkatan inflasi kesehatan terjadi, biaya untuk rawat inap, konsultasi dokter, hingga pemeriksaan laboratorium cenderung ikut meningkat,” ujar Ibrahim, dalam risetnya, Jumat, 4 Oktober 2024.
Ilustrasi. Foto: Freepik
59% porsi biaya kesehatan Indonesia ditanggung pemerintah
Ibrahim menjelaskan, untuk Indonesia, porsi biaya kesehatan yang ditanggung pemerintah sebesar 59 persen. Sedangkan yang harus ditanggung sendiri oleh masyarakat sekitar 27 persen. Oleh karena itu, kondisi tingginya inflasi kesehatan perlu mendapat perhatian semua pihak karena berdampak kurang menyenangkan, baik bagi pemerintah dan juga masyarakat.
Kenaikan biaya kesehatan ini, lanjut Ibrahim, menjadi beban berat bagi rumah tangga, terutama bagi mereka yang tidak memiliki asuransi kesehatan atau yang hanya mengandalkan asuransi kesehatan publik yang disediakan oleh pemerintah.
“Sementara kita tahu kesehatan merupakan komponen penting dalam mendukung perekonomian suatu negara karena kualitas kesehatan penduduk memengaruhi produktivitas tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi,” kata dia.
Hasil riset tersebut juga menggarisbawahi beberapa daerah di Indonesia yang cenderung mengalami kenaikan biaya kesehatan yang tinggi, di antaranya di Nusa Kalimantan, Sumatra, Nusa Tenggara, dan Maluku. Sementara itu, di Nusa Jawa, Sulawesi, dan Papua, terdapat fenomena deflasi pengeluaran kesehatan, yang menunjukkan biaya kesehatan pada 2023 lebih rendah dibandingkan 2022.
“Kondisi ini tentu saja akan berpengaruh pada industri asuransi kesehatan. Tantangannya adalah bagaimana perusahaan asuransi dapat dengan baik mengelola risiko akibat dari kenaikan klaim di tengah tingginya inflasi kesehatan, dan strategi untuk memitigasi adanya perbedaan biaya kesehatan antar wilayah di Indonesia,” jelas Ibrahim.
Seperti diketahui, Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) mencatat, hingga semester I-2024, rasio klaim kesehatan mencapai Rp11,83 triliun atau naik 26 persen YoY. Sementara itu, premi kesehatan yang diterima mencapai Rp11,19 triliun, naik 23,64 persen YoY. Hal ini mengindikasikan jumlah klaim lebih tinggi daripada premi yang diterima.