
BEBERAPA tahun Lewat, visi ‘membangun dari pinggiran’ Presiden Joko Widodo 2014-2019, dinilai sangat bernas. Kenapa? Karena pinggiran diimajinasi sebagai pangkal pembangunan nasional.
Visi itu diwujudkan melalui, salah satunya, desa. Dalam konteks itu, membangun dari pinggiran ditempuh dengan Langkah memperkuat eksistensi desa sebagai penopang pembangunan nasional (UU No 6/2014 tentang Desa.) Dengan visi itu, persoalan kemiskinan dan ketimpangan antara perkotaan-perdesaan Dapat ditangani, paling Bukan dikurangi.
Implementasi dua kebijakan tersebut diwujudkan melalui transfer fiskal ke desa dalam bentuk Biaya desa. Sejak 2016 Biaya desa telah ditransfer ke seluruh desa. Pada 2022 jumlah alokasinya mencapai lebih dari Rp70 triliun, dengan rata-rata peningkatan mencapai 9,5% per tahun.
Beberapa laporan menyatakan, sejak diterapkan, Biaya desa berdampak terhadap pengurangan kemiskinan di desa Sekeliling 15% melalui peningkatan konsumsi masyarakat. Hal tersebut berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi. Pengaruh tersebut berkait erat dengan program pemberdayaan yang disediakan pemerintah melalui Biaya desa.
Sejatinya, praktik revitalisasi desa bukan hal yang baru dilakukan. Thailand misalnya mengintervensi desa melalui transfer fiskal ke desa sejak 2001. Pemerintah Thailand secara aktif mengintervensi desa-desa melalui transfer fiskal secara besar-besaran. Harapannya agar desa-desa tersebut Segera bertumbuh.
Selain itu, intervensi tersebut diharapkan dapat mendorong perubahan struktural dan redistribusi pendapatan secara lebih merata. Sejumlah sarjana di Thailand (Kaboski 2012, Boonperm et al 2013) melaporkan bahwa transfer fiskal ke desa berdampak positif terhadap upaya pengurangan kemiskinan di perdesaan.
Dari perspektif teoritik, model intervensi itu dinilai sebagai aksi koreksi yang Konkret terhadap Kategori ekonomi neoliberal dan neoklasik yang percaya pada mekanisme dan kekuatan pasar. Tindakan koreksi itu semakin mendapat dukungan lantaran Washington Consensus telah gagal mempromosikan stabilitas keuangan dan redistribusi kue pembangunan.
Oleh karena itu pada 2000an mencuatlah Kategori baru yang disebut sebagai New Developmentalism ke kancah akademik dunia. Kategori ini menekankan pada disiplin fiskal dan percaya bahwa pertumbuhan ekonomi dapat dibuat ‘di rumah’ sendiri. Dari situ, diharapkan redistribusi pendapatan Dapat lebih merata.
Tetapi problemnya, transfer fiskal secara besar-besaran tanpa diikuti dengan kapasitas aparatus desa, dapat menimbulkan masalah baru berupa gagalnya desentralisasi karena buruknya tata kelola Biaya desa. Para sarjana (Arifin et al 2020, Sidik & Habibi 2023, Diansari el al 2023) melaporkan, Biaya desa belum menerjemahkan dan menjawab kebutuhan masyarakat.
Laporan lain mengatakan, Biaya desa bahkan Bukan memberi Pengaruh signifikan terhadap pemberdayaan ekonomi pertanian, padahal sektor tersebut merupakan Ciri Istimewa perekonomian di perdesaan. Alih-alih Membikin desa lebih Berdikari sesuai semangat desentralisasi desa, yang terjadi Bahkan ketergantungan desa terhadap intervensi fiskal pemerintah pusat secara berkepanjangan. Walhasil, kemandirian dan kesejahteraan masyarakat desa boleh jadi hanya imajinasi.
Kasus di Provinsi Bali
Penulis mengamati 105 desa dari total 636 desa di Bali. Sebagai informasi, pada 2022 Bali memperoleh transfer Biaya desa dari pemerintah pusat Sekeliling Rp600 miliar, yang kemudian dialokasikan ke seluruh desa melalui pemerintah kabupaten/kota di Bali.
Hasilnya, ditemukan bukti bahwa Biaya desa belum Dapat menjadi daya ungkit kesejahteraan masyarakat desa secara efisien di Bali. Nilai rata-rata efisiensi Biaya desa pada 105 desa di Bali sebesar 0,579 dan nilai itu secara relatif cukup rendah.
Hal ini menyirat Definisi bahwa kenaikan alokasi belanja Biaya desa Bukan sebanding dengan proporsi peningkatan pembangunan di perdesaan di Bali; dalam Definisi bahwa output yang dihasilkan semakin bertambah, tapi tambahan outputnya semakin mengecil. Dari 105 desa yang diamati, sebanyak 90 desa (85,7%) berada di situasi inefisiensi.
Masalah inefisiensi Biaya desa dalam mendongkrak kesejahteraan masyarakat ini tampaknya mendukung bukti beberapa hasil studi sebelumnya. Laporan mereka mengatakan, biang keladi kelambatan kesejahteraan masyarakat pasca intervensi Biaya desa karena berkaitan dengan metode perencanaan pembangunan desa yang keliru, perencanaan Bukan realistis, dan program intervensi Bukan Pas sasaran.
Dalam pada itu, riset penulis menemukan bahwa proporsi belanja di bidang administrasi semisal biaya gaji dan tunjangan pegawai desa menempati posisi pertama, dengan rata-rata persentase sebesar 54% dibanding belanja lainnya.
Sebaliknya, hanya 15 desa (14,2%) yang mencapai efisiensi dalam belanja Biaya desa mereka. Efisiensi belanja Biaya desa inilah yang sejatinya harus dicapai oleh setiap pemangku kebijakan di desa. Apabila kita asumsikan bahwa Biaya desa adalah Unsur produksi Kepada men-generate kesejahteraan masyarakat di desa, kita akan mendapatkan bahwa penggandaan Unsur produksi (dalam hal ini belanja desa) akan memberikan kelipatan yang sama pada output yang dihasilkan (dalam hal ini bidang sosial, ekonomi, dan lingkungan).
Pada 15 desa tersebut ditemukan bukti bahwa proporsi belanja bidang administrasi semisal biaya gaji dan tunjangan pegawai desa, Rupanya lebih rendah dibanding dengan desa-desa yang Bukan efisien dalam pengelolaan Biaya desa mereka. Bagian belanja bidang administrasi pada 15 desa tersebut hanya 46% dari total belanja yang mereka belanjakan.
Tentu saja, hasil riset ini bukan suatu yang novel karena riset-riset sebelumnya tentang isu ini telah banyak diteliti. Tetapi paling Bukan riset penulis membantu memahami dan melengkapi pemahaman kita tentang Pengaruh Biaya desa terhadap kesejahteraan masyarakat di desa.
Riset ini punya implikasi terutama Apabila diangkat ke dalam konteks Indonesia secara Biasa. Asal Mula boleh jadi, kasus di Bali ini merupakan gambaran jamak efisiensi Biaya desa di Indonesia. Oleh karena itu, Krusial kiranya pemerintah pusat Kepada Lalu memperbaiki kualitas kebijakan desentralisasi desa, dan termasuk monitoring pemerintah pusat terhadap kualitas belanja Biaya desa secara berkesinambungan.