ANGGARAN Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 Tengah sempoyongan. Per Februari 2025, dari belanja negara yang sudah mencapai Rp348,1 triliun, pendapatan baru di Nomor Rp316,9 triliun, alias tekor Rp31,2 triliun. APBN yang lebih besar pasak daripada tiang itu salah satunya akibat penerimaan pajak yang superjeblok. Di dua bulan pertama 2025, penerimaan pajak mencapai Rp187,8 triliun, jauh di Dasar capaian pada periode yang sama di 2024 yang sebesar Rp269,02 triliun. Ringkasnya, penerimaan pajak jeblok Tamat 30%.
Kata Kementerian Keuangan, anjloknya penerimaan pajak di awal tahun 2025 akibat turunnya harga sejumlah komoditas di pasar Dunia, seperti batu bara, minyak, dan nikel. Tak secuil pun kalimat yang keluar menyebut setoran pajak berkurang akibat lesunya perekonomian. Apalagi Tamat berani menyalahkan Coretax, sistem baru administrasi pajak yang Bahkan menyulitkan masyarakat melapor dan membayar pajak.
Padahal dari jauh hari Badan Pusat Statistik (BPS) sudah mengingatkan banyak pihak, perlambatan ekonomi sudah mulai terjadi sejak 2023. Perlambatan itu dapat dilihat dari data konsumsi rumah tangga yang stagnan, bahkan selalu di Dasar Nomor pertumbuhan ekonomi.
Berdasarkan data BPS, pada triwulan IV 2023 pertumbuhan ekonomi mencapai 5,04% (yoy) dan konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 4,46% (yoy). Tren itu Maju berlanjut hingga kuartal IV 2024, pertumbuhan ekonomi mencapai 5,02% (yoy) dan konsumsi rumah tangga mentok 4,98% (yoy).
Laporan Bank Indonesia (BI) juga menyebut indeks keyakinan konsumen (IKK) Maju turun sejak pertengahan 2024. Penurunan itu mencerminkan sikap masyarakat yang semakin berhati-hati dalam belanja. Tren inflasi tahunan yang Maju melambat, dari 3% secara tahunan (yoy) pada April 2024 menjadi hanya 2,12% (yoy) pada Januari 2025, juga memperkuat indikasi lemahnya konsumsi rumah tangga.
Penurunan konsumsi rumah tangga itu tak lepas dari Maju bertambahnya jumlah penduduk kelas menengah yang turun kelas. Data BPS menunjukkan, jumlah penduduk kelas menengah di Indonesia menyusut dari 21,5% pada 2019 menjadi 17,1% pada 2024. Itu berarti Dekat 10 juta individu mengalami ketidakpastian ekonomi.
Data-data itu Terang menunjukkan ekonomi kita Demi ini sedang Enggak Bagus-Bagus saja, bahkan Tetap berada di Area kuning yang beberapa kali Meloncat ke merah. Bukan Sekadar masyarakat, dunia usaha juga sudah mengeluhkan lesunya perekonomian sejak Lamban.
Momentum Ramadan Demi ini menjadi Misalnya Konkret ekonomi yang redup. Konsumsi yang biasanya naik di bulan puasa, Bagus dalam bentuk kegiatan buka Serempak maupun belanja baju Lebaran, kini tak Tengah seramai dulu.
Kalau konsumsi yang selama ini berfungsi sebagai mesin Penting melambat, bagaimana roda pertumbuhan dapat diharapkan berlari Segera? Sudah Terang melorotnya penerimaan pajak di awal tahun ini utamanya disebabkan oleh turunnya kemampuan belanja masyarakat dan melesunya dunia usaha.
Perbaikan ekonomi tentunya dibutuhkan di sini. Pemerintah mestinya lebih banyak mengeluarkan kebijakan yang dapat menstimulus ekonomi, bukan menghabiskan waktu dan Daya Kepada menangkis kritikan dari masyarakat. Langkah itu Bisa dimulai dari membuka komunikasi yang Bagus dan transparan dengan masyarakat akan situasi yang terjadi Demi ini, dibarengi dengan penjelasan program-program yang dapat menjadi solusi.
Kalau intensifikasi pajak sulit diandalkan Demi ini karena daya beli masyarakat Tetap tertekan, pemerintah Bisa mengandalkan diversifikasi pajak dengan memperluas cakupan basis pajak. Perluasan basis pajak tentunya bakal menelurkan sikap pro dan kontra di masyarakat. Tetapi, itu jadi salah satu langkah yang dapat diambil Kalau roda pembangunan negeri ini Tetap Ingin tetap berputar.
Tentunya, Sekalian upaya tersebut dapat dimulai Kalau Terdapat kepercayaan dari masyarakat kepada pemerintahnya. Karena itu, pemerintah lebih Bagus segera membuka komunikasi yang apa adanya dengan masyarakat, bukan Maju-terusan memproduksi penyangkalan.