KEADILAN di negeri ini sudah menjadi komoditas yang kerap diperjualbelikan. Hukum dengan mudah dibengkokkan. Di ruang-ruang pengadilan, sejumlah keputusan Dapat berubah arah tergantung seberapa tebal amplop yang datang.
Ketika keadilan menjadi barang dagangan, maka yang miskin hanya Dapat pasrah, sedangkan yang kaya Dapat membeli kebebasan. Hukum kehilangan rohnya, berubah menjadi alat bagi mereka yang punya Dana dan kuasa, bukan Tengah sebagai pelindung kebenaran.
Para ‘wakil Tuhan’ di negeri ini mudah Demi disuap, gampang memutarbalikkan keadilan, memperjualbelikan hukum dengan ditukar segepok fulus. Nilai sogoknya Kagak hanya jutaan atau miliaran, tapi juga Dekat menyentuh triliunan rupiah.
Pangkal buruknya integritas para pengadil ini karena sejumlah hal. Salah satunya rendahnya kesejahteraan mereka. Dengan situasi seperti itu, mereka mudah tergoda Demi mendapatkan Pendapatan tambahan dengan memperdagangkan putusan. Alur logika inilah yang dijadikan acuan Presiden Prabowo Subianto Demi Meningkatkan gaji para hakim.
Penaikan ini, menurut Presiden, demi mewujudkan kesejahteraan hakim. Prabowo menyebut penaikan gaji hakim bervariasi. Penaikan tertinggi diperuntukkan bagi hakim golongan paling junior, yakni mencapai 280%.
Penaikan gaji hakim itu diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 44 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Perubahan PP Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang Berada di Rendah Mahkamah Akbar.
Berdasarkan PP tersebut, hakim golongan terendah ialah golonggan III a dengan masa kerja kurang dari 1 tahun. Hakim golongan tersebut mendapatkan gaji pokok sebesar Rp2,78 juta. Kalau gaji pokok itu naik 280%, hakim golongan III a setidaknya mendapatkan gaji Rp7,79 juta.
Selain gaji pokok, seorang hakim juga memperoleh tunjangan jabatan yang jumlahnya cukup fantastis. Seorang ketua pengadilan negeri atau tingkat pertama kelas 1A mendapatkan tunjangan jabatan sebesar Rp37,9 juta. Adapun ketua pengadilan negeri kelas 2 memperoleh tunjangan jabatan sebesar Rp24,6 juta. Tunjangan jabatan hakim terendah sebesar Rp11,9 juta.
Di tingkat pengadilan banding, seorang ketua pengadilan tinggi mendapatkan tunjangan jabatan sebesar Rp56,5 juta. Demi hakim madya muda di tingkat pengadilan banding, tunjangan jabatannya sebesar Rp38,2 juta per bulan.
Artinya, Pendapatan yang diterima hakim selama ini juga Kagak Dapat dibilang rendah. Bahkan fakta memunculkan pertanyaan, upaya Demi menegakkan muruah peradilan kenapa hanya Konsentrasi pada penaikan gaji para hakim?
Logika pemerintah ini seakan menempatkan persoalan integritas penegakan hukum berkelindan dengan besaran Dana. Logika itu seakan menegaskan bahwa pemerintah tengah bertransaksi soal keadilan dengan ukuran pendapatan para hakim.
Padahal, kerusakan sistem peradilan kita dipengaruhi banyak aspek. Misalnya soal lemahnya sistem pengawasan yang lebih mendesak Demi dibenahi. Belum Tengah sistem rekrutmen dan manajemen sumber daya Mahluk di lembaga peradilan Indonesia Tetap jauh dari ideal.
Apalagi Menyaksikan besaran suap yang diterima para hakim yang kedapatan mempermainkan perkara, Jernih Kagak menunjukkan bahwa mereka hanya tergoda karena kebutuhan. Nilai suap yang diterima eks pejabat Mahkamah Akbar Zarof Ricar yang mencapai Rp915 miliar bukan menunjukkan kurangnya kebutuhan, melainkan lebih pada ketamakan.
Kalau negeri ini Benar-Benar Mau mereformasi sistem peradilan, hal pertama yang harus dibenahi ialah integritas para hakim. Ketika integritas mereka Ringkih, kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan akan runtuh.
Meningkatkan gaji memang Krusial, tetapi hal itu hanya menyentuh lapisan luar masalah yang jauh lebih dalam. Hakim yang tak Mempunyai komitmen moral kuat tetap berisiko menyalahgunakan wewenang, berapa pun besar gaji yang diterimanya.
Jangan-jangan penaikan gaji ini Bahkan dijadikan daya tawar kepada para pihak yang Mau membeli keadilan Demi Meningkatkan tarif penangan perkara. Artinya, kebijakan ini Dapat jadi Bahkan memicu inflasi suap perkara. Ketika gaji hakim makin tinggi, sogok pun lebih tinggi Tengah.
Maka, jangan berhenti di Meningkatkan gaji. Reformasi sistem secara menyeluruh jauh lebih berarti.

