Bertekad Impor Sejak dalam Pikiran

SUSU diyakini mengandung beragam kebaikan. Dari sisi pangan, susu kaya kandungan nutrisi, menjadi sumber protein berkualitas, menguatkan tulang, dan dapat menjadi bahan serbaguna.

Berbagai macam perkataan bijak juga memosisikan susu sebagai sebuah kebaikan. Misalnya, peribahasa ‘air susu dibalas air tuba’ atau ‘karena nila setitik, rusak susu sebelanga’.

Tetapi, akhir-akhir ini, susu agak tercemar dengan makna negatif. Gara-garanya ada salah satu cawapres yang membagi-bagikan susu di arena car free day Jakarta di masa kampanye. Belakangan, Bawaslu Jakarta Pusat menyatakan tindakan yang dilakukan Gibran Rakabuming Raka itu melanggar Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 12 Pahamn 2016.

Tak hanya itu, Gibran beserta calon presiden Prabowo Subianto juga menjanjikan memberikan makan siang dan susu gratis untuk anak sekolah. Mereka beradalih, program yang diperkirakan membutuhkan anggaran Rp400 triliun itu akan mampu menekan angka stunting dan juga meningkatkan kesejahteraan petani.

Cek Artikel:  Menolak Jabatan KPK Diperpanjang

Yang menjadi persoalan, Kementerian Pertanian mencatat pada 2022 kebutuhan susu di Indonesia mencapai 4,4 juta ton. Pun selama ini hampir 80% dari kebutuhan itu dipenuhi melalui impor. Definisinya, jika ditambah dengan janji memberikan susu gratis, konsekuensi logisnya impor bakal ditambah. Siapa yang diuntungkan? Tentu saja para importir.

Itulah yang sesungguhnya dikhawatirkan banyak orang. Apalagi, Prabowo juga sudah mengungkapkan tekadnya mengimpor 1,5 juta ekor sapi. Angan-angannya, dalam dua tahun, akan ada 3 juta ekor sapi perah yang dapat memproduksi susu. Seluruh itu memproduksi 40 juta liter susu untuk kebutuhan susu gratis bagi 82 juta anak.

Mengelola dan mengembangbiakkan 1,5 juta ekor sapi perah impor jelas tidak semudah berangan-angan. Apalagi, jika sumber daya manusia dan manajerial peternakan belum disiapkan.

Cek Artikel:  Gertakan demi Kursi Cawapres

Alih-alih melakukan importasi, banyak pakar menyarankan pemerintahan mendatang lebih fokus memperbaiki tata kelola ternak. Pusingkatan kompetensi dan kapasitas peternak menjadi kunci utama dalam mendorong produktivitas. Impor tanpa ada perbaikan tata kelola peternakan tidak akan menelurkan hasil optimal.

Selama ini, karena mengandalkan manajemen tradisional, produktivitas sapi perah di Indonesia rata-rata hanya 10-11 liter per ekor per hari, sedangkan produksi susu sapi negara lain bisa mencapai 30 liter bahkan 60 liter per ekor per hari. Itulah yang semestinya diperbaiki terlebih dahulu, bukan dengan menggampangkan impor.

Rencana Prabowo yang secara terang-benderang bakal mengimpor sapi itu juga bertentangan dengan tekad Presiden Joko Widodo. Jokowi berulang kali mengungkapkan kekesalan karena maraknya barang impor di dalam negeri. Presiden pun sampai melontarkan kekesalannya dengan mengistilahkan hobi impor barang sebagai sebuah kebodohan.

Cek Artikel:  Doku Laknat Wakil Rakyat

Paling tidak, itulah yang dilontarkan oleh Presiden di panggung depan. Meskipun, di panggung belakang, yang terjadi justru pada rezim ini ketergantungan pada impor belum juga menurun. Sekarang, Prabowo yang selalu mengidentikkan diri sebagai penerus Jokowi sudah terang-terangan menggencarkan ide dan gagasan impor. Itu berarti, rezim mendatang, jika Prabowo terpilih, tak bakal beda dengan rezim Jokowi.

Negeri ini kerap disebut negeri kaya dan amat bisa mandiri. Tetapi, kekayaan itu tidak ada artinya selama mentalitas sedikit-sedikit impor, sedikit-sedikit impor, tidak bisa dikendalikan. Bahkan, banyak pihak di Republik ini sudah berjiwa impor sejak dalam pikiran.

Mungkin Anda Menyukai