Beringin Bergoyang

BERBAHAGIALAH menjadi warga negara Indonesia. Selain sumber daya alamnya nan melimpah, Republik yang akan memasuki usia kemerdekaan ke-79 itu ialah negara demokrasi.

Tetapi, kebahagiaan itu masih menjadi fatamorgana. Sebagai negara demokrasi, kedaulatan belum benar-benar di tangan rakyat. Kedaulatan itu masih dibajak segelintir elite yang menentukan konstelasi politik di Tanah Air.

Mereka pula yang menentukan ‘hitam dan putihnya’ kebijakan negara. Mereka ialah di antaranya para elite yang bernaung di bawah partai politik. Lembaga itu tak hanya berperan menyiapkan calon wakil rakyat, tetapi juga menyiapkan para politisi yang akan menduduki jabatan di pemerintahan, dari presiden, menteri, hingga jabatan-jabatan lain di kementerian dan lembaga.

Baca juga : Jadi Mantan Presiden, Lezat?

Negara demokrasi membutuhkan partai politik yang kuat dan sehat. Pasal 11 ayat 1 Undang-Undang Nomor 2 Pahamn 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Pahamn 2008 tentang Partai Politik menyebutkan partai Politik berfungsi sebagai sarana pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Selanjutnya, penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat, partai politik berfungsi sebagai sarana penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara.

Cek Artikel:  Sumber Pertumbuhan Baru

Selain itu, partisipasi politik warga negara Indonesia dan rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.

Baca juga : Sean Gelael Optimistis Raih Podium di Sao Paolo

Walakin, sebelum berfungsi sebagai agen demokrasi, kondisi internal partai harus demokratis. Proses pengambilan keputusan berdasarkan visi dan misi yang tertuang dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai.

Manajemen partai bertumpu pada sistem, bukan pada orang tertentu yang memiliki diskresi tak bertepi. Sistem yang memberikan ruang kesetaraan kepada seluruh anggotanya.

Partai dengan tata kelola partai yang baik dengan berbasis akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi. Proses pengangkatan seseorang dalam partai berdasarkan kompetensi, bukan suka-sukanya si ‘bos’ partai. Sistem meritokrasi tak bisa ditawar-tawar lagi di dalam partai.

Baca juga : SDN 085 Ciumbuleuit dan SDN 043 Cimuncang Raih Podium Teratas

Menurut Andas Besar Bahasa Indonesia, meritokrasi adalah sistem yang memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memimpin berdasarkan kemampuan atau prestasi, bukan kekayaan, senioritas, dan sebagainya.

Cek Artikel:  Regenerasi Petani Wafat Suri

Dalam pandangan Stephen J Mc Namee (2009), empat syarat dalam meritokrasi, yakni bakat (talent), sikap yang benar (right attitude), kerja keras (hard work), dan moral yang tinggi (moral high character).

Dengan meritokrasi, partai tidak akan dibanjiri para petualang atau ‘anak kos’ yang sekadar mencari posisi politik tanpa basis ideologis partai. Mereka yang masuk partai karena fulus, privilese, atau koneksi politik.

Baca juga : Semangat Juang Jadi Modal bagi Nizar Raih Podium Bali Trail Run Ultra 2024

Kepemimpinan parpol harus kuat. Secara finansial, pandai mengelola konflik, berkarakter, dan berintegritas. Celakanya, apabila sang nakhoda partai diduga terjerat kasus hukum, akan sangat mudah penguasa melakukan tekanan untuk menawarkan barter politik.

Dinamika kehidupan partai politik pascapilpres belum surut. Drama berlanjut. Tak ada angin dan tak ada hujan, Airlangga Hartarto mundur dari jabatan Ketua Biasa Partai Golkar. Padahal tak ada alasan yang membuat Menteri Koordinator Bidang Perekonomian itu mengundurkan diri dari jabatan bergengsi tersebut.

Airlangga telah berkontribusi pada pemenangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai presiden dan wakil presiden 2024-2029. Demikian pula perolehan suara partai beringin itu meroket. Pada Pemilu 2024, Golkar meraih 15,29% suara dengan jumlah 23.208.654.

Cek Artikel:  Kekalahan ini seperti Tato

Bunyi partai ‘warisan’ Orde Baru itu memang di bawah PDI Perjuangan (PDIP) yang jadi pemenang pemilu. Tetapi, dari segi provinsi, Golkar juaranya, yakni menjadi pemenang di 14 provinsi, sementara PDIP hanya 12 provinsi. Perolehan suara itu melonjak jika dibandingkan dengan Pemilu 2019, yakni peringkat ke-3 dengan 12,15% suara dan menguasai delapan provinsi.

Berdasarkan akal sehat, mundurnya Airlangga tak lazim. Terlebih di saat partai harus konsolidasi menyiapkan pendaftaran bakal calon pilkada yang tersisa 16 hari lagi, yakni 27 Agustus mendatang. Airlangga yang menjabat sejak 2019 semestinya berakhir pada Desember 2024.

Di ujung jabatan Presiden Joko Widodo periode kedua, logika politik di Tanah Air selalu terbalik. Ketika elite Golkar menegaskan tak ada tekanan Airlangga mundur, harus dibaca sebaliknya. Tekanan politik ke Airlangga diduga menguat akibat sikapnya maju mundur pada pencalonan pilkada, bukan tegak lurus pada keinginan tokoh tertentu. Miris. Tabik!

Mungkin Anda Menyukai