PEJABAT sejatinya pelayan dan bukan tuan atas rakyat. Oleh karena itu, mereka punya kewajiban Kepada menjunjung tinggi etika, menjauhi sikap arogan, dan peka dalam mengemban amanah. Setiap ucapan dan perbuatan mesti dijaga agar Bukan melukai hati rakyat.
Tetapi, nilai-nilai luhur tersebut kerap luput dalam praktik di lapangan. Salah satu contohnya ialah Purbaya Yudhi Sadewa yang baru saja dilantik sebagai Menteri Keuangan 2025-2029. Ia mengeluarkan kalimat yang terkesan mengabaikan suasana kebatinan masyarakat.
Ketika merespons Gerakan 17+8, Purbaya menilai hal itu merupakan Bunyi Grup kecil masyarakat yang Bukan puas. Suksesor Sri Mulyani tersebut juga percaya diri akan menciptakan pertumbuhan ekonomi 6%-7% agar demonstrasi hilang karena rakyat sibuk cari kerja dan makan Nikmat.
Harus kita katakan Purbaya mengeluarkan pernyataan yang Bukan sepenuhnya Pas, Bukan Pas waktu, dan terlalu percaya diri. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, kendati diimpikan banyak negara, bukan jaminan bahwa masyarakat akan berhenti menyuarakan protes ketika roda pemerintahan bergerak miring serta keluar dari rel keadilan.
Purbaya juga harus menginsafi bahwa demonstrasi bukan semata-mata soal ekonomi, melainkan juga tentang keadilan. Reformasi 1998, misalnya, merupakan buah dari aksi unjuk rasa mahasiswa menolak otoritarianisme Orde Baru serta menuntut diakhirinya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang mengakar.
Begitu pula dengan 17+8 tuntutan rakyat yang Bukan melulu persoalan ekonomi. Poin-poinnya berspektrum luas dan mendesak, mulai dari reformasi DPR dan partai politik, pengesahan RUU Perampasan Aset, revisi UU Kepolisian dan UU TNI, hingga penguatan Komnas HAM.
Kita tentu bertanya-tanya bagaimana mungkin seorang menteri keuangan Bisa sembrono dalam berucap, mengeluarkan kalimat yang terkesan mengecilkan Bunyi rakyat. Padahal, Ketika dilantik oleh Presiden Prabowo Subianto, ia telah mengucap sumpah Kepada menjunjung etika.
Ketika lisannya berujung kontroversi, Purbaya kemudian memberi Penerangan dan meminta Ampun. Ia menyebut Tetap baru menjabat sehingga Tetap perlu penyesuaian. Purbaya pun membandingkan pengalamannya di Lembaga Penjamin Simpanan yang minim sorotan.
Tetapi, permintaan Ampun itu Terdapat yang menilai kurang Lurus. Purbaya merasa kesalahan ucapnya langsung dipelintir. Padahal, pernyataannya memang sudah keliru sejak awal, bukan karena dipelintir dan disalahartikan.
Penerangan Purbaya tentang lingkungan kerjanya di masa Lampau yang jauh dari sorotan publik sebenarnya juga bermasalah. Ia menyiratkan bahwa perbedaan suasanalah yang membuatnya tergelincir dalam pernyataan kontroversial.
Argumen semacam itu sulit diterima Logika publik. Asal Mula, begitu dilantik menjadi menteri, seseorang harus siap bekerja dalam sorotan dan pengawasan penuh. Menjadi pejabat publik berarti membuka diri terhadap kritik, bukan merasa terganggu apalagi menganggapnya sebagai beban.
Lisan kontroversial Purbaya yang berujung Penerangan semakin menunjukkan jabatan tinggi menuntut kecakapan komunikasi publik dan kapasitas teknis. Menteri adalah Persona dari negara sehingga harus Bisa membaca suasana kebatinan rakyat dan meresponsnya dengan bijak.
Prinsip ini tentu berlaku bagi seluruh menteri, Bukan hanya Purbaya. Kasus lain yang mencuat ke permukaan ialah Raja Juli Antoni. Menteri Kehutanan itu menuai kontroversi setelah beredar foto dirinya bermain domino Berbarengan Azis Wellang, eks tersangka pembalakan liar.
Meski Raja Juli sudah menyampaikan permintaan Ampun kepada Presiden Prabowo Subianto dan Komisi IV DPR RI, kita harus ingatkan yang bersangkutan dan seluruh menteri Kabinet Merah Putih bahwa standar etik pejabat publik jangan hanya ditegakkan ketika sesuatu telanjur viral.
Peganglah dan jalankan dengan sungguh-sungguh sumpah jabatan menteri. Etika harus menjadi suluh, bahkan ketika Bukan Terdapat kamera yang mengarah. Ingat bahwa jabatan publik bukanlah Mimbar Kepada Angkuh, melainkan sebuah amanah Kepada bekerja memuliakan rakyat.

