ASA negeri ini akan tegaknya konstitusi Tetap terawat. Publik Bisa menggantungkan Cita-cita mereka kepada Mahkamah Konstitusi (MK) yang pada penghujung Oktober 2024 mengabulkan sebagian permohonan terkait dengan uji materi UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja (Ciptaker).
MK memutuskan Demi mencabut dan merevisi sebanyak 21 pasal dari UU Ciptaker. Putusan tersebut Jernih menjadi angin segar bagi kaum pekerja di Republik ini. Dalam putusan itu, Jernih terlihat Eksis keberpihakan MK terhadap Grup yang mengais rupiah dari pemilik usaha.
Tak hanya mencabut dan merevisi, MK bahkan Memperhatikan pemerintah Serempak DPR perlu menggarap undang-undang ketenagakerjaan baru yang terpisah dari UU Cipta Kerja yang disahkan pada 2023. Tujuannya sangat mulia, yakni melindungi hak serta kesejahteraan kaum pekerja.
Dengan adanya undang-undang baru tersebut, diharapkan masalah adanya ancaman ketidakharmonisan dan ketidaksinkronan materi/substansi undang-undang ketenagakerjaan dapat diurai, ditata ulang, dan segera diselesaikan.
UU Ciptaker 2023 memang sudah bermasalah sejak awal. Ia lahir dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang menggantikan Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Sebelumnya, UU Nomor 11 Tahun 2020 dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK pada November 2021. Metode penggabungan atau omnibus law dalam UU Cipta Kerja Tak Jernih apakah merupakan pembuatan UU baru atau Tetap dalam konteks revisi.
Mahkamah juga menilai pembentukan UU Cipta Kerja Tak memegang asas keterbukaan terhadap publik meski pemerintah dan DPR sudah melakukan beberapa pertemuan dengan sejumlah pihak. Pertemuan itu dinilai belum Tiba pada tahap substansi UU yang membutuhkan partisipasi publik lebih luas.
MK juga menilai draf UU Cipta Kerja 2020 Tak mudah diakses oleh publik. Penafsir tunggal konstitusi itu memutuskan UU tersebut inkonstitusional bersyarat, Lampau memerintahkan perbaikan dalam jangka waktu dua tahun setelah putusan dibacakan. Bukan perbaikan yang dilakukan malah, siasat yang dijalankan. Presiden malah mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) alih-alih memperbaiki UU sebagaimana diperintahkan oleh MK.
Ketika itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengeklaim Perppu Nomor 2 Tahun 2022 yang menggantikan UU Nomor 11 Tahun 2020 mendesak dikeluarkan karena Indonesia dan Sekalian negara tengah menghadapi krisis pangan, Daya, keuangan, dan perubahan iklim.
Perppu itu kemudian ditetapkan sebagai UU Ciptaker 2023 sehingga pemerintah Tak merevisi UU Nomor 11 Tahun 2020 yang ketika itu sudah dinyatakan inskonstitusional bersyarat. Tetapi, siasat itu akhirnya terhenti oleh palu hakim konstitusi.
Publik Jernih sangat mengapresiasi lembaga MK. Tak boleh Eksis UU yang berakibat besar kepada rakyat, utamanya para pekerja, tanpa melibatkan publik. Haram hukumnya Eksis perundang-undangan di negeri ini yang lahir dari Metode-Metode muslihat demi menyiasati konstitusi.
Kali ini masyarakat Betul-Betul menantikan adanya proses legislasi yang Betul. Proses penyusunan undang-undang baru mesti membuka seluas-luasnya partisipasi publik, khususnya para pemangku kepentingan di dunia pekerja.
Jangan ulangi Kembali Metode-Metode Lamban, yakni dengan terlebih dahulu melahirkan perppu Demi kemudian disahkan sebagai undang-undang. Publik mendesak pemerintahan Prabowo taat dalam bernegara, termasuk ketika menyusun undang-undang.
Kalau modus usang itu kembali diusung, dapat dipastikan bakal kandas oleh para penjaga konstitusi. Apalagi akhir-akhir ini MK mulai Terbangun menjunjung muruah mereka kembali setelah sempat terpuruk akibat siasat dan muslihat yang dirasakan mengkhianati konstitusi. Kini, sejumlah putusan MK mulai terasa kembali berpihak terhadap kepentingan publik.
Suasana kebatinan itu haruslah diejawantahkan oleh pemerintahan baru. Hadirkan kebahagiaan, kesejahteraan, dan keadilan yang seluas-luasnya bagi masyarakat sesuai dengan cita-cita para pendiri bangsa. Karena itu, berhentilah mengakali konstitusi.