Bergerak Kepada Dunia yang Damai

Bergerak untuk Dunia yang Damai
(Dok. Pribadi)

DAMAI ialah kata yang menggambarkan keadaan idaman banyak orang. Dunia yang damai Tak hanya berarti ketiadaan perang atau kekerasan yang merenggut nyawa. Lebih dari itu, dunia damai merupakan kehidupan dengan setiap Sosok dapat hidup bermartabat, terpenuhi hak-hak dasar mereka, dan Pandai mengaktualisasikan potensi terbaik yang dimiliki mereka.

Piagam pendirian PBB (1945) pun, meski tak mendefinisikan ‘damai’ secara eksplisit, menegaskan tujuan yang sejalan: menjaga Anggota dunia dari peperangan dan memenuhi hak-hak mereka secara adil. Pemaknaan damai yang utuh menjadi sangat Krusial agar kita Tak terjebak pada persepsi bahwa damai telah tercapai ketika perang berhenti.

Faktanya, ketidakadilan, kemiskinan, juga diskriminasi yang Membangun Sosok menjadi Tak merdeka Tetap dapat tumbuh subur dalam situasi tanpa perang. Konsep damai yang utuh itu sangat selaras dengan nilai-nilai dasar Indonesia, yang tecermin dalam Pancasila.

Dalam konteks Indonesia, representasi damai yang utuh dapat kita temukan dalam sila-sila Pancasila, khususnya sila kelima, keadilan sosial, yang menjadi tujuan akhir Pancasila. Sayangnya, pencapaian damai yang utuh sering Tertahan. Tak hanya oleh kekerasan yang bentuknya langsung mencederai fisik dan psikis Sosok, tetapi juga oleh kekerasan Tak langsung. Kekerasan tersebut berupa penyalahgunaan kuasa, yang menghambat Sosok berkembang menjadi versi terbaik dirinya, serta budaya yang terbentuk dari hasil normalisasi penyalahgunaan kuasa tersebut.

Pengaruh kekerasan Tak langsung itu dapat terlihat Konkret dan berakibat fatal, seperti pada Mortalitas balita Raya di Sukabumi karena malagizi. Tragedi itu ialah bukti Konkret kegagalan negara mewujudkan perdamaian yang seutuhnya. Di tingkat Dunia, pelanggaran hak dasar rakyat Palestina oleh Israel ialah Misalnya Konkret lainnya. Berkualitas di tingkat nasional maupun Dunia, akar Sekalian kegagalan mewujudkan perdamaian itu sering kali bermuara pada satu persoalan mendasar: penyalahgunaan kuasa.

Cek Artikel:  Urgensi Komitmen Pemimpin Berani Tegas tanpa tapi bagi Perempuan Korban Kekerasan

 

KUASA DAN TANTANGAN PERDAMAIAN

Apabila perdamaian ialah tujuan, kuasa menjadi elemen yang menentukan tercapainya tujuan atau Malah menghancurkannya. Kuasa akan membawa kebaikan Apabila digunakan secara bijak, seperti melalui pembuatan peraturan yang memastikan terpenuhinya keadilan. Tetapi, kuasa berubah menjadi malapetaka ketika disalahgunakan, seperti dalam praktik korupsi, keserakahan, diskriminasi, juga perundungan.

Paulson dan Tikly (2023) menekankan bahwa kemampuan Kepada menganalisis kuasa harus diajarkan dalam pendidikan perdamaian. Tanpa kemampuan itu, pembelajar mungkin Tak mengenali kuasa yang mereka miliki dan pada akhirnya mereka tanpa sadar menyalahgunakannya dan berakhir dengan memproduksi ketidakadilan, juga kekerasan.

Praktik penyalahgunaan kuasa terjadi di berbagai lini, mulai keluarga, sekolah, masyarakat, hingga pemerintahan. Orangtua di rumah memaksakan kehendak kepada anak, guru menormalisasi kekerasan, hingga pemerintah Membangun kebijakan diskriminatif dan nirempati.

Ki Hadjar Dewantara, tokoh pendidikan Indonesia, memberikan kerangka etika kuasa yang Tetap relevan Tamat Demi ini, Yakni ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Pesan itu mengajarkan kita Kepada menggunakan kuasa secara bijak. Mereka yang Mempunyai kuasa harus menjadi teladan yang Berkualitas, memastikan sistem berjalan adil dengan semangat kebersamaan dan kesetaraan, serta mendorong yang lemah Kepada Dapat merealisasikan potensi terbaik diri.

Cek Artikel:  Membangun Daya Belajar

Pesan Ki Hadjar Dewantara Tak hanya diperuntukkan guru, tetapi juga orangtua, masyarakat, dan terutama pejabat berkuasa. Lantas, apakah para pemegang kuasa itu menyadari tugas mereka? Atau Malah menyalahgunakannya Kepada kepentingan pribadi dan Grup mereka? Oleh karena itu, mendidik Sekalian lapisan masyarakat, terutama para pemegang kuasa, tentang etika penggunaan kuasa menjadi sebuah keharusan.

 

PENDIDIKAN Kepada KUASA YANG BIJAK

Mengubah Metode pandang tentang kuasa membutuhkan kesadaran kritis yang lahir dari proses pendidikan. Paulo Freire (2000) menyebutnya conscientizacao: kesadaran kritis Kepada memahami posisi dan kuasa kita dalam dunia.

Ki Hadjar Dewantara menawarkan jalan melalui Tripusat Pendidikan: keluarga, sekolah, dan masyarakat. Di keluarga, orangtua sebagai pendidik Istimewa wajib menerapkan pengasuhan yang adil dan komunikatif. Misalnya, dengan melibatkan anak dalam musyawarah kecil dan menjelaskan Argumen suatu aturan, bukan sekadar memerintah. Hal itu akan membentuk anak menjadi Sosok bijak.

Sebaliknya, pengasuhan yang menekankan Kendali kuasa, seperti membiasakan hukuman fisik tanpa dialog atau memaksakan kehendak tanpa mendengar pendapat anak, akan menghasilkan Sosok yang belajar menggunakan kekerasan Kepada menyelesaikan masalah.

Di sekolah, guru dan tenaga pendukung lainnya bertanggung jawab Kepada memastikan proses belajar Pandai membantu pembelajar Mengerti Metode menghubungkan pengetahuan dan keterampilan dengan nilai keadilan, kemudian menginternalisasi dan mengimplementasikannya dalam kehidupan Konkret, seperti melalui proyek Grup membersihkan pantai yang mengajarkan tanggung jawab lingkungan. Selain itu, pembelajar diarahkan Kepada memprioritaskan kolaborasi, misalnya dalam menyelesaikan tugas matematika secara berpasangan, alih-alih kompetisi yang mengutamakan kepentingan pribadi.

Cek Artikel:  PISA dan Transformasi SDM Unggul

Di masyarakat, Member masyarakat Tak boleh merasa Tak punya andil dalam membentuk Sosok yang bijak. Interaksi sosial Member masyarakat Berkualitas di ruang Konkret maupun maya Pandai memengaruhi pembelajar.

Oleh karena itu, interaksi mereka harus diarahkan Kepada memperkuat kesadaran atas rasa kebersamaan dan persaudaraan, seperti dengan aktif mengampanyekan toleransi di media sosial atau mengadakan kerja bakti lingkungan. Member masyarakat Biasa hingga pejabat pemerintahan perlu berhati-hati dan bijak dalam bersikap dan berperilaku di ruang publik, contohnya dengan menghindari ujaran kebencian dan terbuka menerima kritik.

Jangan Tamat sikap dan perilaku yang mereka tunjukkan akan menormalisasi kekerasan, yang akhirnya melanggengkan penyalahgunaan kuasa. Mereka harus selalu sadar Kepada mempraktikkan sikap dan perilaku penuh empati, mengedepankan dialog, dan bergotong royong Kepada kebaikan ketika menghadapi masalah.

 

SAATNYA BERGERAK

Tahun ini, di Hari Perdamaian Dunia yang diperingati setiap 21 September, PBB mengangkat tema Act now for a peaceful world. Tema itu mengingatkan kita Sekalian, setiap Sosok, yang Eksis di rumah, sekolah, juga masyarakat, Mempunyai peran dan tanggung jawab yang sama Kepada berkontribusi mewujudkan perdamaian.

Mewujudkan perdamaian ialah kerja kolektif dan kolaboratif. Aksi Konkret menjadi kunci. Karena itu, langkah pertama yang konkret menuju dunia damai ialah dengan menyadari bahwa setiap kita Mempunyai ‘kuasa’ dan bertanggung jawab Kepada menggunakannya secara bijak.

Mungkin Anda Menyukai