Berebut Gelap dan Terang

NAMANYA Fidela Marwa Huwaida. Ia Presiden Keluarga Mahasiswa ITB Bandung. Karena Lagi mahasiswa di jenjang sarjana, Terang usianya Lagi masuk kategori generasi Z. Absah belaka bila ia mewakili zamannya.

Fidela dan para mahasiswa dari berbagai kampus termasuk yang ikut dalam gerakan tagar #IndonesiaGelap. Hari-hari ini ia sibuk menjawab dan berargumentasi ihwal gerakan para mahasiswa. Berbagai pertanyaan, bahkan gugatan, muncul. “Apa Maksud Indonesia gelap?”, “Apakah Indonesia Betul-Betul gelap?”, “Siapa yang gelap? Indonesia atau kalian?”

Begitu menanggapi pertanyaan dan gugatan itu, Fidela mengungkapkan aksi tagar dan demonstrasi bertajuk #IndonesiaGelap itu sebagai akumulasi kemarahan. Siapa yang marah? “Rakyat dan mahasiswa. Bukan hanya mahasiswa, melainkan juga komponen masyarakat sipil. Rakyat marah karena kebijakan pemerintah hari ini yang serampangan. Kebijakan itu menjadikan rakyat sebagai kelinci percobaan,” ujarnya dalam sebuah acara bincang-bincang yang disiarkan melalui kanal Youtube.

Fidela menyebutkan sejumlah kebijakan yang tiba-tiba muncul, begitu diprotes, Lewat dicabut dengan narasi heroik seolah-olah jadi pahlawan. “Enggak Terdapat kepastian, apakah berbagai kebijakan yang Enggak prorakyat itu bakal ditiadakan seterusnya atau sekadar Membikin tenang sementara. Soal efisiensi juga perlu konsistensi. Apakah kabinet yang gemuk itu Teladan efisiensi? Jadi ini akumulasi. Aksi kami ialah demi menuntut Penilaian besar-besaran kebijakan yang Enggak prorakyat itu,” Fidela menjelaskan secara runut argumentasinya di Perhimpunan itu.

Cek Artikel:  Kemerdekaan Hakim Eman

Itulah bahasa khas anak muda: lugas, terbuka, keras, mungkin terasa ekstrem bagi sebagian kalangan. Menjadi kelaziman pula bila mereka yang menjadi tujuan kritik merasa panas kuping oleh Bunyi keras, terbuka, dan lugas itu. Karena itu, Terdapat yang merespons secara keras dan berdiri di titik ekstrem sebaliknya. Tetapi, Terdapat yang menanggapinya dengan lebih adem.

Yang keras dan ekstrem itu, misalnya, yang mengatakan, “Bukan Indonesia yang gelap. Kau dan kalian yang menyebut Indonesia gelap itulah yang sejatinya gelap.”

Tetapi, juru bicara Kantor Komunikasi Kepresidenan Ujang Komarudin Membikin narasi tandingan dengan lebih adem. Ia membantah bahwa Indonesia gelap dengan menyebut Indonesia Begitu ini terang benderang. Menurut dia, hal tersebut Pandai terlihat dari sejumlah indikasi, salah satunya pendidikan yang Lagi menjadi prioritas pemerintah.

“Indonesia ini Lagi bercahaya, Lagi terang benderang, Enggak Terdapat hal-hal yang gelap. Yang pertama, indikasinya adalah pendidikan menjadi prioritas pemerintah, Enggak Terdapat pemangkasan apa pun. Jadi, beasiswa tetap diberikan kepada yang berhak. Kemudian, UKT (Fulus kuliah tunggal) Enggak Terdapat kenaikan,” ujar Ujang, yang sebelum jadi juru bicara aktif sebagai dosen itu.

Cek Artikel:  Pertumbuhan dan Penyerapan

Lewat, indikasi selanjutnya ialah kesehatan rakyat yang menjadi agenda Krusial negara. Ujang menyebut rakyat kini Pandai mengecek kesehatan mereka secara gratis. Indikasi ketiga, lanjut Ujang, pemerintah mengalihkan anggaran yang berpotensi bocor Demi program yang bermanfaat bagi rakyat.

Dia menyebut efisiensi dari alat tulis kantor (ATK) saja Pandai mencapai Rp40 triliun, yang Pandai dimanfaatkan Demi membeli gabah petani sehingga Pandai menyelamatkan jutaan petani di seluruh Indonesia. Lewat yang keempat, ekonomi Indonesia semakin kuat Terdapat di atas rata-rata capaian ekonomi dunia.

Dia mengeklaim Nomor kemiskinan di Indonesia pun menurun ekstrem. “Terakhir, paket stimulus ekonomi di Ramadan sudah di-publish oleh Bapak Presiden. Jadi, kami Pasti apa yang dilakukan Bapak Prabowo Demi Lanjut menjadikan Indonesia tetap terang benderang, Enggak Terdapat istilah gelap,” imbuh Ujang.

Kiranya debat dua narasi di titik ekstrem itu bagus, tapi mesti ditarik ke tengah Demi ditemukan titik keseimbangan. Sekadar berebut narasi ‘gelap’ melawan ‘terang’ Enggak akan ditemukan ujungnya. Ia memang memberi pelajaran Krusial tentang pentingnya perdebatan Demi checks and balances, tapi Pandai ‘terjerumus’ ke dalam debat kusir bila Enggak ditanggapi secara bijak.

Cek Artikel:  Ancaman Ngeri Deflasi

Situasi itu mengingatkan saya seperti di era 1990-an, di era Orde Baru. Begitu itu, cendekiawan Nurcholish Madjid mengibaratkan ‘Indonesia sedang berada dalam terowongan gelap yang belum diketahui Terdapat Terang di ujungnya’. Ketika itu, Cak Nur juga menyebut Indonesia dalam situasi grid lock, atau saling mengunci.

Cak Nur mengibaratkan posisi saling mengunci itu layaknya lampu Lewat lintas yang Wafat di perempatan, di tengah jalanan yang ramai dan tak Terdapat polisi yang mengatur. Karena itu, Sekalian kendaraan berebut saling mendahului, Enggak Terdapat yang mau mengalah. Mereka saling membunyikan klakson keras-keras. Tetapi, Bahkan kondisi saling mengunci yang terjadi, bukannya kemacetan yang terurai.

Pada situasi seperti itu, yang dibutuhkan ialah adanya pihak yang ikhlas turun dari kendaraan Demi mengatur Lewat lintas sehingga Sekalian kendaraan pelan-pelan Pandai berjalan kembali. Jadi, hal yang sama terjadi pada perdebatan soal gelap dan terang Indonesia ini. Yang dibutuhkan bukan berebut, atau bahkan memonopoli, narasi. Mesti Terdapat ‘keikhlasan’ kedua pihak Demi Enggak berdiri di posisi ekstrem masing-masing agar Enggak terjadi grid lock.

Mungkin Anda Menyukai