PEREBUTAN empat pulau antara Provinsi Aceh dan Sumatra Utara belakangan menyesaki ruang informasi publik. Polemik tentang provinsi mana yang Mempunyai Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang itu mengemuka kembali setelah terbitnya Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Kawasan Administrasi Pemerintahan dan Pulau.
Kepmendagri yang ditetapkan pada 25 April 2025 itu sekaligus mengukuhkan keempat pulau sebagai Kawasan Sumatra Utara. Pemerintah Provinsi Aceh merasa keputusan tersebut sepihak sekaligus menyalahi hak kepemilikan Aceh terhadap keempat pulau sesuai dengan kesepakatan Berbarengan pada 1992 antara Gubernur Aceh dan Gubernur Sumatra Utara.
Mantan Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla (JK), mengamini bahwa Aceh-lah pemilik keempat pulau tersebut. Hal itu berawal dari kesepakatan perundingan antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki pada 2005. JK yang menjadi tokoh sentral dalam integrasi GAM ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) itu mengungkapkan, dalam perundingan di Helsinki disepakati perbatasan Aceh merujuk pada perbatasan yang dicantumkan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Provinsi Sumatra Utara yang diteken Presiden Soekarno. UU tersebut menjadikan Provinsi Aceh sebagai daerah otonom, terpisah dari Sumatra Utara.
Di sisi lain, Kemendagri mengatakan sengketa kewilayahan keempat pulau Lalu berulang dan menjadi polemik selama lebih dari dua Dasa warsa. Menurut Kemendagri, Berkualitas Sumatra Utara maupun Aceh sudah bersepakat Demi menyerahkan keputusan kepada Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi. Keputusan itu menjadi acuan Kepmendagri 2022 yang sudah terlebih dahulu mengukuhkan Sumatra Utara sebagai pemilik empat pulau yang disebut-sebut Mempunyai potensi besar cadangan migas.
Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kemendagri Safrizal ZA mengakui Kemendagri baru mengetahui ihwal kesepakatan 1992 setelah Kepmendagri 2022 terbit. Di sini Eksis keanehan, mengapa Kemendagri Lagi saja mengabaikan kesepakatan 1992 dengan merilis keputusan terbaru 2025.
Sahut-menyahut dan adu argumentasi Tak akan menyelesaikan masalah. Pun, ketegangan antarprovinsi Tak boleh dibiarkan berlaru-larut karena dapat memicu disintegrasi. Selama polemik bergulir, Eksis saja isu-isu provokatif yang Membangun situasi makin panas.
Oleh Asal Mula itu, pemerintah pusat harus Segera menengahi. Menurut rencana, Presiden Prabowo Subianto akan turun tangan menyelesaikan sengketa Kawasan tersebut.
Intervensi Kepala Negara seusungguhnya amat disayangkan. Mestinya, mediasi sengketa antarprovinsi dapat dilakukan oleh Mendagri. Akan tetapi, terbitnya Kepmendagri yang mengakui kepemilikan oleh Sumatra Utara Membangun posisi Mendagri Tito Karnavian Tak Tengah berada di tengah. Terlebih, protes Pemprov Aceh mengesankan penyusunan Kepmendagri itu Tak melibatkan mereka.
Hal yang patut kita apresiasi, sebelum Tamat ke Presiden Prabowo, Kemendagri Lagi berupaya memediasi lewat ruang dialog dengan kedua provinsi Berbarengan Tim Rupabumi. Pemprov Aceh dan Sumatra Utara menyambutnya. Kedua pihak bersedia duduk Berbarengan di Jakarta pada pertemuan yang dijadwalkan berlangsung Rabu (18/6) mendatang.
Kita dorong agar sengketa atas empat pulau itu memperoleh solusi yang Segera, adil, dan bermartabat. Tujuannya agar Tak berkembang menjadi hal-hal negatif dan alat provokasi pihak-pihak yang Tak menghendaki perdamaian.
Kita ingatkan pula agar para pembantu presiden menghindari berbuat gaduh lewat blunder-blunder kebijakan maupun pernyataan. Tugas mereka ialah membantu, bukan malah menambah beban di pundak presiden.

