Berebut Ceruk Bunyi Desa

LANGKAH DPR memperpanjang masa jabatan kepala desa dari enam tahun menjadi sembilan tahun boleh-boleh saja dituduh sarat kepentingan politik. Bukan DPR namanya kalau tidak menyisipkan kepentingan politik dalam pembuatan undang-undang.

Undang-Undang Nomor 6 Mengertin 2014 tentang Desa menetapkan masa jabatan kepala desa selama enam tahun dan dapat dijabat selama tiga periode. Totalnya 18 tahun.

Menjelang pemungutan Pemilu 2024, DPR berbaik hati untuk merumuskan perubahan terbatas terhadap UU Desa. Hasilnya ialah masa jabatan kepala desa selama sembilan tahun dan bisa dua periode. Totalnya 18 tahun.

Jangka waktu menjabat selama 18 tahun jika terpilih dua kali untuk masa jabatan sembilan tahun hampir setengah dari masa jabatan Presiden Soeharto selama 32 tahun. Pengalaman mengajarkan bahwa kekuasaan yang terlalu lama selain berpotensi korupsi, kolusi, dan nepotisme, juga memicu kediktatoran.

DPR tidak salah menetapkan sembilan tahun masa jabatan kepala desa. Tetapi, jangan tanyakan alasan di balik pilihan lama masa jabatan itu. Lagi untung sembilan tahun, bukan 32 tahun dan bisa dua periode. Pangkal masalahnya ialah Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 15/PUU-XXI/2023.

Cek Artikel:  Adu Gagasan, bukan Gas-gasan

Pertimbangan hukum MK menyebutkan bahwa dinamika perubahan pada pengaturan mengenai masa jabatan kepala desa sangatlah bergantung pada faktor filosofis, yuridis, dan sosiologis yang memengaruhi pada saat ketentuan tersebut dibuat.

Tafsiran bebas pertimbangan tersebut ialah suka-suka pembuat undang-undang untuk membatasi masa jabatan kepala desa, termasuk dengan menentukan periodisasi masa jabatan sepanjang pertimbangan untuk melakukan pembatasan demikian tidak memuat hal-hal yang dilarang UUD 1945.

Apakah ada pertimbangan kajian akademis atas lama masa jabatan kepala desa? Sama sekali tidak ada kajian akademis soal itu. Meminjam pertimbangan MK, alasannya ialah soal jangka waktu itu merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk undang-undang.

Meski demikian, patut pula dilayangkan kritik ketika MK menyetujui memperpanjang masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tanpa menyinggung open legal policy. Putusan MK terkait dengan masa jabatan itu pilih-pilih kasih, bukan putusan apa adanya, melainkan ada apanya.

Cek Artikel:  Kolonialisme Ekonomi

Putusan MK itulah yang mendorong DPR buru-buru merevisi UU Desa. Tentu saja 75.265 kepala desa yang ada di Indonesia bertepuk tangan dan berterima kasih kepada DPR. Pada titik itulah muncul simbiosis mutualisme kepala desa dan politisi dalam rangka mendulang suara pada Pemilu 2024.

DPR memang sedang berbaik hati, selain memberi betis dikasi paha sekalian tanpa diminta. Selain memperpanjang masa jabatan kepala desa menjadi sembilan tahun, DPR juga mengusulkan kenaikan alokasi dana desa menjadi 15% dari dana transfer daerah.

Usulan lainnya, seperti penambahan gaji kepala desa, pemberian anggaran rumah tangga kepada kepala desa, penyerahan kewenangan kepada kepala desa untuk secara mandiri mengelola dana desa, dan pemberian perlindungan hukum kepada kepala desa apabila terjerat masalah hukum.

Penyerahan kewenangan kepada kepala desa untuk secara mandiri mengelola dana desa tentu saja bertujuan agar kepala desa tidak mudah dijerat hukum bila melakukan penyelewengan dana desa.

Intervensi Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan korupsi di level desa konsisten menempati posisi pertama sebagai sektor yang paling banyak ditindak atas kasus korupsi oleh aparat penegak hukum sejak 2015-2021. Sepanjang tujuh tahun tersebut, terdapat 592 kasus korupsi di desa dengan nilai kerugian negara mencapai Rp433,8 miliar.

Cek Artikel:  Kecerdasan Buatan

Korupsi yang makin meningkat di desa, menurut ICW, berjalan beriringan dengan peningkatan alokasi dana yang cukup besar untuk membangun desa. Sejak 2015-2021, Rp400,1 triliun dana desa telah digelontorkan untuk keperluan pembangunan desa, baik dalam hal pembangunan fisik maupun manusia melalui program pengembangan masyarakat dan penanganan kemiskinan ekstrem.

“Alih-alih menjegal usulan perpanjangan masa jabatan, sinyal positif justru ditunjukkan sejumlah partai politik dan politisi DPR. Kagak mengherankan sebab ada ceruk suara besar yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan politik praktis di desa,” demikian ICW.

Amatlah disayangkan, revisi UU Desa tanpa melibatkan partisipasi publik penuh makna. Penolakan publik atas revisi UU Desa hanya dianggap sebagai angin lalu, politisi di Senayan lagi asyik-asyiknya berebut ceruk suara desa.

Mungkin Anda Menyukai