Beragama Maslahat Buat Kesejahteraan Masyarakat

Beragama Maslahat untuk Kesejahteraan Masyarakat
Ahmad Najib Burhani, Profesor Riset di Badan Riset dan Ciptaan Nasional (BRIN).(Dok. Pribadi)

SALAH satu misi terpenting kehadiran Islam di dunia adalah mewujudkan rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi semesta alam). Wa mā arsalnāka illā rahmatan lil ‘ālamīn (al Anbiya 107), “Dan tiadalah Kami mengutus Anda, melainkan Buat (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” Meski kalimat ini menjadi slogan dan motto dari kenabian Muhammad, Tetapi yang sering terjadi belakangan ini Bahkan sering sebaliknya.

Paling Tak, sejak peristiwa 9/11 atau pengeboman World Trade Center (WTC) 2001, Islam sering diidentikkan dengan radikalisme dan terorisme. Islam seperti menjadi sinonim dari kekerasan dan kebiadaban. Sebagian umat Islam dipandang anti keragaman, suka membenci mereka yang berbeda, Suka melakukan diskriminasi terhadap pengikut Religi lain yang minoritas, Tak toleran, dan berbagai label negatif lain.

Selain tuduhan-tuduhan negatif di atas, alih-alih kehadiran Islam itu membawa rahmat, ia bahkan dituduh tak Dapat memberikan inspirasi kepada pengikutnya Buat hidup Bersih dari korupsi, Mempunyai etos kerja tinggi, dan membawa kesejahteraan. Kritik yang terakhir ini sebetulnya Tak hanya ditujukan kepada Islam, tapi juga Religi-Religi lain.

Baca juga : Pedakwah Moderat Wajib Bangun Moderasi Beragama di Masyarakat

Dalam Naskah 11 Fakta Era Google: Bergesernya Pemahaman Religi dari Kebenaran Mutlak Menuju Kekayaan Kultural Punya Serempak (2021), Denny JA menggelitik keyakinan teologi kita dengan menunjukkan bahwa Terdapat Kaitan yang seakan negatif antara kesejahteraan, kebahagiaan, serta korupsi dengan keyakinan tentang pentingnya peran Religi. Alih-alih memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan, Bahkan di negara-negara yang peran agamanya dominan, korupsinya sangat tinggi.

Kebahagiaan dan kesejahteraan lebih banyak terjadi di negara-negara yang meyakini bahwa Religi tak Kembali Krusial dalam kehidupan. Indeks tentang kebahagiaan, kesejahteraan, dan korupsi tersebut seakan menunjukkan bahwa Religi telah kehilangan elan vital atau peran nubuwwah-nya.

Cek Artikel:  Pilkadal dan Kesadaran Kritis Rakyat

Berdasar World Happiness Index, negara yang indeks kebahagiaannya tinggi pada umumnya Bahkan level beragama masyarakatnya rendah. Sebaliknya, negara yang berhasil Membikin warganya Senang adalah negara-negara yang penduduknya tak Kembali menganggap Krusial Religi dalam kehidupan mereka.

Baca juga : Pengamat: Doktrin Ini Sebabkan Prasangka Tak baik terhadap Islam

Kemudian, negara-negara yang tingkat keagamaannya tinggi berdasar Religiosity Index, Bahkan pemerintahannya cenderung korup (berdasarkan The Corruption Perception Index). Dan di negara yang pembangunan manusianya tinggi (Human Development Index), tingkat beragama masyarakatnya Bahkan sebaliknya.

Pertanyaannya, apakah memang Terdapat Kaitan negatif antara kesejahteraan, kebahagiaan, kesehatan, serta korupsi dengan keyakinan tentang pentingnya peran Religi?

Apabila info di atas disandingkan dengan indeks atau data survey tentang pengaruh Religi dalam gerakan filantropi –seperti salah satu prinsip yang disarikannya dari Religi-Religi, Ialah power of giving— barangkali Dapat mengurangi keyakinan adanya Kaitan negative antara Religi dan kesejahteraan dan menguatkan argumen bahwa Religi Mempunyai nilai positif di masyarakat. Demikian juga, seperti ditulis Robert Hefner dalam Civil Islam (2000), Apabila peran ormas Islam dalam balancing democracy di Indonesia diikutkan, maka Arti Religi dalam masyarakat kontemporer akan tampak lebih kokoh Kembali.

Baca juga : LPOI Dinilai Berperan Krusial dalam Glorifikasi Moderasi Beragama

Data-data di atas juga bertentangan dengan Intervensi Max Weber dalam bukunya The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. Dengan Menyaksikan kasus Calvinisme di Amerika Perkumpulan, Weber menunjukkan bahwa Religi Bisa menjadi kunci dibalik kesuksesan dan kemampuan mengakumulasi harta. Religi pula yang Membikin masyarakat menjadi disiplin, hidup sederhana, dan sukses di dunia.

Cek Artikel:  Tasyrih Kongres Bahasa Indonesia KBI XII

Nah, apa kaitannya dengan beragama maslahat? Beragama maslahat itu Ingin menunjukkan dan menggali potensi-potensi kemaslahatan, kemanfaatan, dan kesejahteraan yang Dapat dihadirkan oleh Religi, termasuk yang terkait dengan ekonomi. Salah satunya adalah kedermawanan atau filantropi keagamaan. Indonesia, misalnya, merupakan salah satu negara paling dermawan di dunia dan itu banyak dimotivasi oleh Unsur Religi.

Beragama maslahat Ingin memperkuat Religi pada sisi atau potensi-potensi positifnya. Ini adalah Musuh dari Menyantap Religi sebagai sumber konflik, berpotensi Membikin orang menjadi ekstremis atau radikalis, membenci dan memusuhi mereka yang berbeda Religi, dan menjadi alat Buat memecah-belah atau polarisasi di masyarakat. Potensi-potensi negatif itu yang Membikin umat beragama perlu dimoderasi.

Baca juga : BNPT: Terorisme adalah Proksi Buat Menghancurkan Islam dan Negara

Lantas apa selanjutnya setelah proses moderasi selama lebih dari 20 tahun tersebut? Tentunya adalah mengangkat dan menyegarkan kembali potensi-potensi positif dari Religi dengan skema atau program beragama maslahat atau menekankan aspek rahmatan lil ‘ālamīn dari Religi. Apa saja Misalnya-contohnya? Kepedulian Religi pada lingkungan hidup dan hak asasi Orang, dorongan Buat hidup Bersih dan kerja keras, membangun pribadi yang disiplin dan akuntabel.

Terkait etos kerja ini, catatan Sukidi dalam “Max Weber’s Remarks on Islam: The Protestant Ethic among Muslim Puritans” (2006) tentang kemiripan ajaran Calvinisme dan Islam Reformis (Muhammadiyah) di Indonesia Dapat menjadi Misalnya. Dengan mengacu kepada empat doktrin Calvinisme, gerakan Muhammadiyah Bisa menjadikan pengikutnya Mempunyai etos kerja yang tinggi, disiplin, dan hidup sederhana. Empat doktrin itu adalah kembali ke Al-Qur’an dan Hadis (Back to the scripture); Tak Terdapat wasilah atau perantara antara Orang dengan Tuhan (‘justification by faith alone’ / sola fide); rasionalisasi dan menjauhkan dari takhayyul, bid’ah dan churafat (TBC) (‘disenchantment of the world’); bersikap hidup sederhana dan berorientasi pengabdian di dunia ini (‘inner-worldly asceticism’).

Cek Artikel:  Prabowo-Gibran Dapat Menang Satu Putaran

Selain yang terkait etos kerja, pengelolaan religious pilgrimage, wisata rohani, religious tourism, dan wizata ziarah lainnya akan menghadirkan manfaat ekonomi yang besar. Selain haji ke Mekkah dan Madinah yang dilakukan setahun sekali, umrah Dapat berlangsung Lalu-menerus sepanjang tahun. Apabila dikelola dengan Bagus, ini Sekalian adalah Kesempatan ekonomi yang besar bagi Indonesia. Dalam kondisi pengelolaan yang kurang Bagus pun, Anggaran yang dikelola Dapat mencapai ratusan triliun rupiah, apalagi Apabila ini dikelola dengan lebih Bagus Kembali.

Demikian pula dengan ekonomi syariah dan industri halal. Bukan hanya negara Muslim yang Menyaksikan potensi bisnis dan ekonomi yang besar dari hal ini, negara seperti Thailand, Jepang, dan Australia juga melihatnya sebagai ceruk keuntungan. Industri halal ini bahkan masuk bukan hanya persoalan makanan, tapi juga kosmetik, obat-obatan, dan lainnya.

(Z-9)

Mungkin Anda Menyukai