Beradu Gagasan Kampanye dalam Pemilu Kompetitif Damai

Beradu Gagasan Kampanye dalam Pemilu Kompetitif Damai
()

MASA kampanye Pemilu 2019 telah dimulai, dari 23 September 2018 sampai 13 April 2019. Secara sederhana, kampanye dalam pemilu memiliki makna sebagai upaya yang terorganisasi untuk memperoleh dukungan dari para pemilih agar bisa memperoleh atau mempertahankan kekuasaan yang diperebutkan di dalam pemilu itu.

Sebelum tahapan ini secara resmi dibuka, para peserta pemilu itu sebenarnya telah melakukan upaya untuk memperoleh dukungan. Akan tetapi, upaya itu, selain belum resmi, juga belum terlalu terorganisasi. Nomor peserta pemilu, baik pilpres maupun nomor urut daftar calon dari partai-partai peserta pemilu, baru ditetapkan KPU/D.

Di kalangan akademisi, memang masih terdapat perdebatan tentang efektivitas tidaknya kampanye di dalam memperoleh dukungan dari para pemilih. Terdapat peserta pemilu yang tidak terlalu intensif melakukan kampanye, tetapi terpilih (kembali), dan ada pula yang all out berkampanye, tetapi gagal.

Sejatinya, masa kampanye itu tidak berbeda jauh dari ‘masa promosi’ di dalam dunia bisnis. Berhasil tidaknya promosi, pada akhirnya tidak bisa dilepaskan dari ‘barang dan jasa’ yang dipromosikan, selain faktor-faktor lain, seperti tingkat persaingan ‘barang dan jasa’ sejenis di pasar serta keeratan kaitan antara produsen dan konsumen.

Dalam pemilu, berhasil tidaknya kampanye juga tidak lepas dari faktor-faktor seperti itu. Spesifiknya terkait dengan ‘produk politik’ dari peserta pemilu itu dan kuat tidaknya identifikasi para pemilih terhadap ‘produk politik’ atau peserta pemilu itu. Ketika sejak awal ‘produk politik’ atau peserta pemilu itu memiliki karakter kuat, sudah banyak dikenal dan disukai, serta para pemilih merasa memiliki kedekatan ideologis, gagasan, budaya, dan sejenisnya, peserta semacam itu bisa mudah terpilih meskipun tidak melakukan kampanye secara all out di masa kampanye.

Meskipun demikian, para akademisi juga berpendapat bahwa kampanye tetap penting untuk memperoleh dukungan suara. Tingkat kepentingan ini, khususnya, terjadi di dalam pemilu yang sengit persaingannya. Secara sederhana, para pemilih dapat dikelompokkan ke dalam tiga pilahan. Pertama adalah pemilih yang telah menentukan dukungan kepada calon tertentu itu. Kedua adalah pemilih yang telah menentukan dukungan kepada lawan-lawannya (opponent voters). Ketiga adalah pemilih yang belum memutuskan pilihannya atau masih mengambang (floating voters).

Kampanye yang dilakukan secara terorganisasi, bisa dilakukan atas target dari para pemilih semacam itu, melalui strategi yang berbeda-beda. Reinforcement strategy, misalnya, bisa dilakukan kepada pemilih yang sebelumnya telah mendukung guna memperkukuh dukungan. Inducement strategy dan confrontation strategy, bisa dilakukan terhadap pemilih lawan melalui argumentasi yang lebih rasional bahwa calon mereka itu lebih baik. Terakhir, rationalisation strategy, bisa dilakukan terhadap pemilih yang masih ragu-ragu atau mengambang agar menentukan pilihannya untuk mendukung peserta pemilu yang dikampanyekan.

Cek Artikel:  Dari Kebangkitan Menuju Keadilan Membangun Kesetaraan di Rumah Tangga

Kompetitif

Peserta pemilu di Indonesia telah berpengalaman di dalam pemilu yang demokratis dan kompetitif, khususnya sejak runtuhnya pemerintahan Orde Baru. Peserta pemilu, karena itu, telah memiliki banyak pengalaman berkampanye. Kalaupun ada peserta pemilu baru, mereka juga telah banyak belajar dari pengalaman kampanye pada pemilu-pemilu sebelumnya dari peserta lain.

Meskipun demikian, Pemilu 2019 memiliki sesuatu yang lebih khusus. Pertama, untuk pertama kalinya, diadakan pemilu serentak antara pemilu presiden/wakil presiden dan pemilu legislatif (DPR/D dan DPD). Gabungan dua pemilu ini selain membuat pelaksanaan Pemilu 2019 lebih kompleks, persaingannya juga bisa lebih kuat.

Para peserta pemilu, tidak sedikit yang terlibat di dalam kampanye dan persaingan di dalam ranah persaingan yang berbeda. Terdapat kampanye dari calon presiden dan wakil presiden, yang diikuti dua pasang calon. Terdapat kampanye dari partai peserta pemilu, yang diikuti oleh 16 partai nasional dan 4 partai lokal di Aceh. Terdapat kampanye dari setiap calon legislatif dari tiap partai sendiri. Terakhir, ada kampanye yang melibatkan calon anggota DPD.

Persaingan di setiap ranah tidak kalah serunya satu sama lain. Di ranah pilpres, persaingannya kemungkinan akan lebih intensif karena hanya diikuti dua pasang, dan ini seperti persaingan ‘hidup mati’. Bagi pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin, ini adalah arena untuk membuka ruang terbuka meneruskan apa yang telah dilakukan pada periode sekarang. Sementara itu, khususnya bagi Prabowo, ini barangkali adalah ‘kesempatan terakhir’ setelah sebelumnya gagal.

Persaingan antarpasangan capres-cawapres itu akan memperoleh ‘bumbu’ persaingan antarpartai. Pemilu 2019 memiliki ambang batas lolos di parlemen (parliamentary threshold) sebesar 4%, suatu angka yang tidak kecil. Dalam survei yang dilakukan lembaga-lembaga survei, tidak sedikit partai yang berpotensi tidak mampu meloloskan wakilnya di DPR. Partai-partai itu tentu saja akan berusaha sekuat tenaga untuk membuktikan bahwa hasil survei itu tidak benar. Dengan demikian, persaingan yang kuat juga akan terjadi di antara sesama partai di kubu Jokowi-Ma’ruf Amin maupun di kubu Prabowo-Sandi. Persaingan sengit juga terjadi di antara para calon di setiap partai di tiap daerah pemilihan, serta persaingan antara calon anggota DPD.

Cek Artikel:  Christine Lagarde dan Pertemuan Pahamnan IMF-Bank Dunia di Bali

Kedua, kampanye Pemilu 2019 terjadi di masa tumbuh kuatnya teknologi informasi yang luar biasa pesat perkembangannya. Arena berkampanye tidak lagi seperti kampanye-kampanye sebelumnya. Di awal-awal reformasi, kampanye berbentuk pengumpulan massa dan arak-arakan, masih merupakan alternatif utama. Sekarang, kampanye jenis ini dipilih sebagai arena simbolis dan memperkuat saja. Kampanye dalam bentuk lain, seperti dalam ruang-ruang dan target-target khusus, lebih sering dilakukan. Penggunaan teknologi informasi baru juga akan lebih intensif dilakukan.

Media sosial, merupakan salah satu instrumen yang akan sering dipakai para peserta pemilu, baik dalam pilpres maupun pileg. Di samping biayanya bisa lebih murah, jangkauan media sosial juga lebih luas. Hal ini tidak lepas dari semakin banyak kepemilikan ‘HP pintar’ yang dimiliki penduduk Indonesia. ‘HP pintar’ ini tidak hanya dimiliki anak-anak muda milenial, tetapi juga oleh generasi lain.

Kampanye negatif dan hitam

Implikasi dari kampanye di dalam pemilu yang sangat kompetitif dan kompleks seperti itu adalah bahwa setiap peserta pemilu menggunakan beraneka ragam strategi pemenangan. Mereka, misalnya, tidak hanya menggunakan strategi upgrading, melalui persuasi intensif kepada pemilih agar terus bertambah dukungannya, tetapi juga strategi downgrading atas lawan-lawannya. Masing-masing berpotensi untuk tidak hanya menunjukkan kebaikan dirinya, tetapi juga kejelekan pihak lain. Yang terakhir ini dilakukan agar jumlah pemilih lawan berkurang dan pindah ke dirinya.

Belajar dari kampanye pemilu di berbagai negara, strategi downgrading itu, antara lain dilakukan melalui kampanye negatif dan kampanye hitam. Kampanye negatif adalah kampanye untuk menunjukkan fakta-fakta jelek, termasuk prestasi-prestasi jelek, dari lawan. Strategi demikian dilakukan untuk menurunkan tingkat kepercayaan pemilih kepada calon itu secara lebih rasional.

Sementara itu, kampanye hitam dilakukan melalui upaya untuk mengemukakan isu-isu jelek atau miring dari peserta pemilu itu meskipun isu-isu itu tidak didukung fakta. Strategi ini dilakukan untuk menambah atau membuka ruang ketidaksukaan pemilih kepada calon atau partai itu.

Celakanya, kampanye negatif dan kampanye hitam itu, lebih mungkin dilakukan di era digital seperti sekarang ini. Pengalaman beberapa tahun ini menunjukkan bahwa bukan hanya informasi yang berisikan fakta saja yang mudah menyebar, melainkan juga informasi yang berisikan suatu kebohongan (hoaks). Dalam situasi seperti ini, melalui media sosial, misalnya, seseorang bisa secara mudah menyebarkan, bahkan memviralkan, berbagai informasi yang berisikan kampanye negatif atau kampanye hitam sebagai bagian dari strategi downgrading.

Cek Artikel:  Ancaman Gangguan Informasi dalam Pemilu 2024

Etika berkampanye

Memang strategi kampanye downgrading merupakan fenomena yang lumrah ditemui di banyak pemilu di berbagai negara. Akan tetapi, yang relatif dianggap biasa adalah kampanye negatif, yakni berisikan penyebaran informasi mengenai fakta-fakta negatif yang pernah dilakukan partai atau calon, misalnya, berupa informasi kegagalan calon itu ketika menduduki posisi tertentu. Sementara itu, kampanye hitam, sulit diterima karena itu berisikan informasi yang tidak benar.

Strategi upgrading dan downgrading sepertinya tidak bisa dihindari dalam pemilu seperti di Indonesia sekarang ini. Akan tetapi, satu hal yang harus dipahami peserta pemilu adalah bahwa strategi apa pun tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Sudah diatur mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dalam berkampanye.

Di samping itu, dalam berkampanye tidak lepas dari etika berdemokrasi. Sumber dari etika berdemokrasi kita bukan hanya pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, melainkan juga norma-norma, adat istiadat yang berlaku di dalam masyarakat.

Secara formal, peserta pemilu memang bisa mengendalikan diri terhadap praktik strategi kampanye downgrading yang bercita rasa negatif dan hitam. Akan tetapi, tim bayangan kampanye dan para pengikut setia buta, biasanya bisa lebih leluasa melakukannya. Dengan demikian, katakanlah, ada yang diketahui melanggar, secara mudah bisa dikatakan, “Oh, itu bukan tim kami”.

Buat itu, para peserta pemilu yang sudah menyepakati adanya kampanye pemilu damai mau tidak mau harus memberi teladan kepada tim dan pengikut, untuk meminimalisasi kampanye seperti itu. Bahwa persaingan di dalam pemilu adalah suatu yang wajar. Tetapi, basisnya adalah beradu gagasan untuk memperebutkan suara pemilu. Sudah seharusnya kampanye itu berisikan uji publik gagasan tentang apa saja yang akan dipakai untuk menjadikan Indonesia lebih baik di masa depan. Termasuk bagaimana mengatasi masalah yang sedang dihadapi.

Bahwa di dalam mengemukakan gagasan itu terdapat perbedaan, termasuk data yang dipakai, adalah hal yang biasa. Akan tetapi, kampanye merupakan ruang publik untuk menguji mana data dan gagasan yang memiliki kebenaran atau tidak. Dengan demikian, yang lebih mengemuka adalah ‘perang nalar’, bukan ‘perang emosi’ untuk saling menjatuhkan. Semoga.

Mungkin Anda Menyukai