BANJIR dan tanah longsor yang terjadi di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatra Barat, membuat pilu dan geram. Bukan saja karena banjir yang memang kerap terjadi. Rangkaian fakta yang terungkap belakangan sering menunjukkan bahwa ulah manusialah yang menjadi sumber petaka terbesar.
Hal itu pula yang patut kita curigai dari banjir dan tanah longsor yang terjadi pada 7 Maret 2024 di Tanah Minangkabau. Hingga kemarin, bencana ini dilaporkan menelan 30 korban jiwa dan 6 orang masih dinyatakan hilang. Kerugian materi diperkirakan mencapai Rp236 miliar.
Totalnya, banjir itu melanda 12 daerah di Sumatra Barat. Lima di antaranya berstatus darurat, yakni Kota Padang, Kabupaten Pesisir Selatan, Kepulauan Mentawai, Pasaman Barat, dan Padang Pariaman. Betul, seperti yang dilansir BMKG, di hari nahas itu bahkan hingga 10 Maret, wilayah Sumatra Barat diguyur hujan deras.
Tetapi, hujan tak pernah jadi faktor tunggal untuk banjir, apalagi tanah longsor. Selama kondisi alam terjaga, hujan tidak pernah menyalahi kodratnya sebagai berkah. Alasan itu pula, laporan banjir dan tanah longsor nyatanya lebih sejurus dengan laporan kerusakan lingkungan ketimbang naiknya curah hujan.
Dalam banjir besar di Pesisir Selatan pada 2021, misalnya, banyak laporan tentang maraknya tambang galian C yang membuat erosi DAS hulu Tapan. Ditambah lagi ada setidaknya dua tambang batu bara yang sampai menyebabkan pendangkalan sungai. Kedua hal itu dilaporkan terjadi Kecamatan Ranah Ampek Hulu dan Basa Ampek Balai, Tapan.
Tetapi, pemerintah daerah, baik kabupaten maupun provinsi, seperti belum serius menindak penambangan yang jelas-jelas merusak lingkungan. Berbagai pemberitaan soal aktivitas tambang ilegal di wilayah Pesisir Selatan pun terus muncul di tahun-tahun berikutnya, bahkan makin terang-terangan.
Tak hanya di Sumatra Barat, di wilayah lain Nusantara yang belakangan juga terlanda banjir atau tanah longsor, seperti Bogor, Majalengka, dan Kuningan, alih fungsi lahan untuk pertanian, permukiman, dan pariwisata juga patut ditengarai ikut menjadi faktor.
Di Desa Cibereum, Cisarua, Bogor, yang beberapa hari lalu terjadi tanah longsor, juga pernah mengalami hal serupa pada 2022. Meski tidak tepat di lokasi yang sama, wilayah dengan kontur miring itu memiliki risiko tinggi karena menjadi permukiman dan tempat wisata.
Tingginya penggunaan lahan untuk permukiman dan pertanian pula yang diduga menjadi penyebab terjadinya bencana banjir di Majalengka, Jawa Barat. Hal itu pun bukan baru karena peristiwa dan penyebab banjir tempo hari tersebut juga nyaris serupa dengan yang terjadi di 2021.
Sederet bencana itu menunjukkan bahwa faktor manusia berperan besar mencegah maupun menimbulkan petaka. Bertumpuk kajian tentang krisis cuaca, termasuk El Nino dan La Nina, yang siklusnya kian dekat dan makin parah di 2030, tidak akan bermanfaat selama tidak menjadi pijakan kebijakan pemerintah.
Cuaca dan iklim adalah fenomena alam yang sulit dikendalikan. Kondisi cuaca hanya bisa diramalkan, itu pun terkadang tidak menentu. Yang perlu dan bisa dilakukan ialah meminimalkan dampak buruknya. Kebijakan pencegahan dan penanggulangan mesti holistik sejak penetapan rencana tata ruang wilayah (RTRW) hingga penegakan hukum terhadap berbagai aktivitas ilegal di wilayah tersebut.
Tanpa itu semua, pemerintah sesungguhnya sedang menciptakan petaka sendiri seiring dengan laju perubahan iklim global yang memang tidak bisa dihentikan. Karena itu, pemerintah pusat maupun daerah dan instansi harus benar-benar bersiaga, siap sedia. Skala tinggi ataupun rendah dampak bencana sesungguhnya tidak hanya disebabkan besarnya cuaca ekstrem, tetapi juga dari kualitas kesiagaan itu sendiri.