PEMILIHAN kepala daerah secara langsung kembali menghampiri rakyat. Pesta yang berlangsung saban lima tahun sekali itu merupakan salah satu amanat reformasi karena selama era Orde Baru kepala daerah ditunjuk pemerintah, selanjutnya memasuki era reformasi sempat dipilih DPRD.
Atas desakan rakyat, dilakukan pilkada langsung pertama pada Juni 2005. Dasarnya ialah Undang-Undang No 32 Mengertin 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menggantikan UU No 22 Mengertin 1999.
Tetapi, pilkada langsung belum memberikan penguatan kepada kualitas demokrasi dan belum menghadirkan kesejahteraan kepada rakyat. Pilkada baru ingar-bingar pestanya elite politik, belum menjadi pestanya rakyat.
Baca juga : Jadi Mantan Presiden, Lezat?
Rakyat masih menjadi objek penderita dalam pilkada. Bukan subjek yang menentukan proses terpilihnya sebuah calon pemimpin daerah yang mereka dambakan. Proses terpilihnya calon kepala daerah bukan menjaring aspirasi dari bawah (bottom up), melainkan dari atas (top down).
Alhasil, muncullah para calon kepala daerah ‘aneh-aneh’ tanpa rekam jejak yang baik dan pernah berkontribusi kepada rakyat. Mereka yang terpilih ialah yang memiliki modal dan koneksi kepada elite politik. Tak sedikit di antara mereka ialah keluarga sang elite, apakah istri, anak, atau mantu.
Mereka terpilih bukan karena pilihan sejati rakyat, melainkan mereka membeli suara rakyat dengan money politics, sembako, dan sebagainya. Modal yang dikeluarkan sang calon sangat besar dari puluhan hingga ratusan miliar rupiah.
Baca juga : Sean Gelael Optimistis Raih Podium di Sao Paolo
Tak semuanya modal dari kocek calon kepala daerah, bahkan modal lebih besar dari rekanan pemerintah daerah atau pengusaha tertentu yang memberikan ijon politik kepada calon kepala daerah. Biaya yang besar untuk memenangkan kontestasi kepala daerah (political cost) dan sokongan fulus dari rekanan atau pengusaha membuat kepala daerah terpilih harus mengembalikan modal dengan beribu jurus.
Proyek-proyek pemerintah yang seharusnya dikelola berdasarkan prinsip-prinsip good governance, yakni akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi, semuanya diatur sedemikian rupa sehingga yang mendapat proyek ialah orang-orang tertentu yang tidak memiliki kinerja yang baik untuk mengerjakan proyek. Eksis pula proyek kemudian dilimpahkan kepada orang lain karena sang pemenang proyek sebenarnya ialah calo proyek.
Kalau proses demokrasi cacat, baik cacat etik atau hukum, hasilnya pun tak bakal jauh berbeda. Pemimpin daerah yang terpilih ialah mereka yang tidak memedulikan etika dan hukum. Kepemimpinan yang mereka bangun seperti ‘kerajaan’. Kepemimpinan menara gading yang mengabaikan denyut nadi rakyat. Mereka tak peduli dengan penderitaan rakyat.
Baca juga : SDN 085 Ciumbuleuit dan SDN 043 Cimuncang Raih Podium Teratas
Mereka baru peduli apabila kasus yang menimpa rakyat, kemalangan, dan kesusahan rakyat terekspos di media sosial. Mereka mau bantu rakyat yang kesusahan dengan ekspos yang besar di media sosial dan media mainstream. Mereka membantu rakyat bukan karena sesuai dengan tugas, pokok, dan fungsi mereka.
Tak pelak pilkada melahirkan maling. Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW), sebanyak 61 kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh penegak hukum pada 2021 hingga 2023. Praktik rasuah yang mereka lakukan mayoritas suap-menyuap, penyalahgunaan APBD, dan jual beli jabatan aparatur sipil negara. Bahkan, mereka tega memalak seorang guru yang ingin menjadi kepala sekolah. Kalau ditotal sejak dimulainya pilkada, sudah ratusan kepala daerah yang menghuni hotel prodeo.
Celakanya, kekuatan politik uang dan pencitraan mampu membuat rakyat terbius, terpana, dan terpesona dengan figur calon kepala daerah yang berasal dari keluarga koruptor. Bapak atau ibu mantan kepala daerah yang terjerat korupsi, malah ada yang masih di penjara, anak atau mantu berani mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
Baca juga : Semangat Juang Jadi Modal bagi Nizar Raih Podium Bali Trail Run Ultra 2024
Pengabaian para elite politik kepada kepantasan, kepatutan, dan semangat memberantasan korupsi sebagai extraordinary crime, dalam memilih calon, menyebabkan korupsi langgeng di daerah.
Tak mengherankan korupsi kepala daerah bikin melongo publik karena nilai uang negara yang digarong sangat fantastis, seperti kasus korupsi Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari (2010-2015 dan 2016-2021) dengan kerugian negara sebesar Rp469 miliar, dan kasus korupsi Bupati Bangkalan Fuad Amin Imron (2003-2008 dan 2008-2013) dengan nilai korupsi mencapai Rp441 miliar.
Kini, rakyat akan mengikuti pilkada pada 27 November 2024. Pilkada kali ini disebut ‘rasa pilpres’ karena nuansa rivalitas pilpres pada 14 Februari lalu yang belum selesai. Pilkada akan dihelat di 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota.
Demokrasi akan menjadi bencana apabila demos (rakyat) tidak berdaya. Sejatinya, kata George Bernard Shaw, demokrasi ialah sebuah alat yang menjamin kita akan diperintah dengan sebaik-baiknya. Tabik!