PROSPEK ekonomi Indonesia di tahun ular alias 2025 menampilkan tantangan yang rumit, Bagus dari sisi domestik maupun eksternal. Meski Indonesia pada 2025 Lagi akan mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang tak jauh berbeda dari Demi ini, realitas yang Terdapat menunjukkan banyak tekanan Kepada mencapai Sasaran pertumbuhan yang ambisius, hingga 8% pada 2029.
Salah satu masalah yang membayangi ialah minimnya daya stimulan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025. Sisi belanja dalam APBN 2025 diprediksi Kagak Bisa memberi dorongan berarti terhadap perekonomian. Toh, selama 10 tahun terakhir, belanja terbesar dalam APBN adalah pembayaran Mengembang utang. Di tahun ular, pembayaran Mengembang utang akan merayap hingga Rp500 triliun.
Menurut LPEM FEB UI (2024), ekonomi Indonesia akan tumbuh 5,1%, pada 2025. Nomor ini tampak cukup Konsisten meski lebih kecil dari Dugaan APBN yang sudah rendah, hanya 5,2%. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengakui pertumbuhan di kisaran 5%, Kagak cukup mengantarkan Indonesia menjadi negara maju pada 2045.
Salah satu penyebab sulitnya menggenjot pertumbuhan ekonomi 2025 ialah penurunan konsumsi masyarakat. Pada kuartal II 2024, konsumsi rumah tangga, yang berkontribusi 53% terhadap perekonomian Indonesia, hanya tumbuh 4,93%. Itu jauh dari Nomor yang dapat mendorong pertumbuhan lebih signifikan.
Penurunan daya beli masyarakat menyusul maraknya PHK dan melemahnya pendapatan menjadi sebagian determinan melesunya konsumsi. Kebijakan fiskal berupa kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) diperkirakan kian membebani daya beli, terutama kelas menengah yang selama ini menjadi pendorong Esensial perekonomian.
Peningkatan tarif PPN, apalagi ditambah kebijakan moneter ketat selama beberapa tahun ini, bahkan ketika sudah terjadi deflasi berbulan-bulan, Dapat Membangun pertumbuhan ekonomi kian Mandek. Biro riset SigmaPhi Indonesia malah menduga pertumbuhan ekonnomi 2025 hanya berada di kisaran 4,9%.
APBN 2025 memang terlalu sempit Kepada menciptakan stimulus. Anggaran Kepada kementerian dan lembaga saja Lagi harus dihitung Kembali seiring bertambahnya kementerian dan lembaga (K/L) baru secara signifikan. Pada 2025, pendapatan negara akan mencapai Rp3.005,1 triliun dan belanja negara sebesar Rp3.621,3 triliun.
Dari sana didapat defisit lumayan besar mencapai Rp616,2 triliun atau setara 2,53% produk domestik bruto (PDB). Tetapi, besarnya nilai defisit itu gagal menciptakan kesan APBN yang ekspansif, kecuali di tataran narasi.
Malah, utang Kepada menutup defisit itu akan lebih banyak digunakan Kepada membayar kembali Mengembang dan cicilan utang serta dijadikan subsidi. Itu Kagak banyak memberi Pengaruh stimulan. Bahkan, Dapat muncul Pengaruh kontraktif ketika pemerintah berniat menggenjot penaikan pendapatan secara massif, hingga 7,22%, terutama dari pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dan PPN itu tadi.
Alokasi APBN Kepada pembayaran Mengembang utang, subsidi, transaksi Tertentu, dan belanja lain–yang diklasifikasikan sebagai belanja non-K/L–Rupanya mencapai Rp1.541,4 triliun. Itu jauh lebih banyak ketimbang belanja K/L yang hanya Rp1.160,1 triliun. Besarnya alokasi belanja non-K/L tentu sulit dikatakan sebagai belanja produktif.
Belanja K/L dan non-K/L masuk dalam kategori belanja pemerintah pusat yang total nilainya Rp2.701,4 triliun. Belanja lain ialah transfer ke daerah dan Biaya desa yang senilai Rp919,9 triliun. Mestiya, setiap rupiah yang dibelanjakan Dapat mendorong perekonomian riil. Nyatanya Kagak begitu.
Malah belanja barang dalam APBN 2025 direncanakan hanya Rp 342,6 triliun atau turun 27,50% dari outlook APBN 2024. Belanja modal juga hanya Rp190,6 triliun atau turun 77,81% dari outlook 2024 yang Rp338,9 triliun. Krugman (2024) mengingatkan bahwa pengurangan belanja pemerintah di tengah ketidakpastian Dunia dapat memperlambat pemulihan ekonomi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Elemen eksternal dan kesempatan tersisa
Di sisi Dunia, tantangan ekonomi Indonesia juga tak terlepas dari ketidakpastian yang melanda pasar Global. Kebijakan proteksionisme yang diambil adidaya seperti Amerika Perkumpulan dan Tiongkok diperkirakan menekan kinerja ekspor Indonesia. Menurut laporan dari OECD (2024), ekonomi Dunia pada tahun ular nanti hanya akan tumbuh 3,2%.
OECD juga menduga negara-negara maju di Eropa mengalami prospek lebih Kagak baik akibat inflasi tinggi dan krisis Daya yang belum teratasi. Sementara itu, negara-negara berkembang di Asia, seperti India dan Vietnam, diharapkan menjadi pendorong Esensial bagi pertumbuhan ekonomi dunia.
Nah, kalau India dan Vietnam yang dapat Mimbar, Indonesia bakal menghadapi risiko penurunan daya saing ekspor dan daya tarik investasi. Akibatnya, ketergantungan pada sumber daya alam bakal semakin besar dan perekonomian nasional makin menghadapi ancaman keberlanjutan.
Apalagi, Indonesia sudah menghadapi tantangan struktural yang cukup serius. Fenomena deindustrialisasi prematur Maju menghambat penciptaan lapangan kerja berkualitas. Stiglitz (2024) menyatakan, deindustrialisasi prematur di negara-negara berkembang menghalangi terciptanya nilai tambah industri yang dapat mendongkrak ekonomi.
Selain itu, situasi ekonomi Dunia yang Kagak Konsisten juga akan memengaruhi sektor-sektor Esensial Indonesia, seperti ekspor barang dan pariwisata. Baldwin (2024) mengungkapkan bahwa ketidakpastian dalam kebijakan perdagangan Global, seperti tarif yang Maju berubah dan proteksionisme, dapat menyebabkan gangguan signifikan terhadap rantai pasokan Dunia. Situasi ini juga Dapat memperburuk kinerja perdagangan dan memperlambat laju pertumbuhan.
Tetapi, Indonesia Lagi Mempunyai Kesempatan mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, di tahun ular ini, melalui berbagai katalisator. Lagi Terdapat Elemen peningkatan belanja pemerintah, program makan bergizi gratis, ekspor logam dasar, hilirisasi, infrastruktur yang telah terbangun, dan sektor pariwisata yang diperkirakan Bangun kembali. Program prioritas seperti renovasi sekolah, pembangunan sekolah unggulan, dan penguatan layanan kesehatan juga Dapat diandalkan asal bebas dari kebocoran anggaran.
Prospek Dunia yang diduga akan menekan Bangsa Mengembang dan mendorong pemulihan, menurut UNCTAD (2024), diyakini memberikan Pengaruh positif bagi Indonesia. Kepada memanfaatkan Kesempatan ini, koordinasi otoritas fiskal dan moneter harus dijaga dan hilirisasi perlu lebih terarah pada penciptaan barang yang Betul-Betul Sebelah jadi dengan memanfaatkan potensi domestik.
Pemerintah juga sudah menyiapkan paket stimulus ekonomi Rp265,6 triliun guna mengatasi Pengaruh kenaikan PPN menjadi 12%. Fokusnya Kepada rumah tangga berpendapatan rendah, kelas menengah, UMKM, dan industri padat karya. Tetapi, paket itu umummnya sudah Terdapat sejak musim pandemi. Jadi, sulit membayangkan itu akan efektif menahan hentakan kenaikan PPN. Efektivitas paket ini juga diragukan Kalau tak disertai penyederhanaan regulasi, percepatan perizinan, dan reformasi sektoral secara transparan, akuntabel, dan tanpa benturan kepentingan.
Pemerintah Kagak dapat bekerja sendiri menghadapi tantangan ekonomi ini. Dukungan masyarakat dan dunia usaha harus diwujudkan melalui kebijakan inklusif, pemberantasan korupsi, penghapusan biaya siluman, dan habisi aksi pemerasan. Jangan koruptor yang merugikan negara ratusan triliun malah dimaafkan atau dihukum sekadarnya saja.