LAPORAN Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Mahluk (HAM) Berat Masa Lewat atau PPHAM telah mulai ditindaklanjuti pemerintah. Presiden Joko Widodo mengakui bahwa pelanggaran HAM berat memang terjadi dalam berbagai peristiwa di masa Lewat.
Jokowi menyesalkan kejadian-kejadian yang merujuk pada 13 peristiwa yang telah dinyatakan Komnas HAM sebagai kasus dugaan pelanggaran HAM berat. Pengakuan tersebut baru salah satu poin yang direkomendasikan tim non-yudisial. Tetap Terdapat sepuluh poin Kembali.
Presiden berjanji pula akan berupaya dengan sungguh-sungguh agar pelanggaran HAM berat Bukan terjadi Kembali di Tanah Air. Menko Polhukam diperintahkan Kepada mengawal upaya konkret pemerintah. Ini juga bagian dari rekomendasi tim non-yudisial agar dibuat kebijakan negara Kepada menjamin ketidakberulangan peristiwa pelanggaran HAM berat.
Poin rekomendasi yang paling Krusial ialah memulihkan hak-hak para korban atas peristiwa pelanggaran HAM berat. Poin tersebut sesungguhnya yang paling dinanti dari hasil laporan tim non-yudisial.
Tetapi sayang, tim yang dibentuk dengan Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 17 Tahun 2022 itu bahkan menyatakan pemulihan Bukan masuk dalam cakupan mandat tim. Sudah Bukan berwenang, tim juga Bukan memerinci bagaimana pemulihan itu sebaiknya dilakukan.
Upaya pemulihan bagi para korban hingga detik ini belum Terang seperti apa. Posisinya Tetap sama dengan ketika pada November 2021, Menko Polhukam Mahfud MD melempar bola penyelesaian sembilan kasus pelanggaran HAM berat ke DPR. Menko Polhukam beralasan kesembilan kasus terjadi sebelum Undang-Undang No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM ditetapkan pada tahun 2000.
Mahfud menyebut perlu pembahasan dengan DPR tentang solusi penanganan kesembilan kasus. Pembahasan itu Bukan kunjung terjadi hingga kini.
Penyelesaian empat kasus lainnya diupayakan melalui pengadilan HAM, Merukapan Peristiwa Wasior (2001-2002), Peristiwa Wamena (2003), dan Peristiwa Paniai (2004), ketiganya di Papua, serta Peristiwa Jambo Keupok di Aceh (2003). Dari keempatnya, baru satu yang yang telah dibawa ke meja hijau, yakni Peristiwa Paniai.
Penuntasan kasus pelanggaran HAM berat yang terseok-seok lantas Membangun pemerintah mencoba jalan lain, yakni melalui pembentukan tim non-yudisial. Pihak korban khawatir langkah tersebut menegasikan penyelesaian lewat jalur pengadilan.
Pemerintah membantahnya. Yang terbaru, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly memastikan penuntasan secara yudisial tetap akan dijalankan.
Akan tetapi, seperti juga upaya pemulihan bagi korban yang belum Terang, penyelesaian lewat pengadilan pun demikian, malah lebih gelap Kembali.
Betapa Bukan? Pada kasus Paniai yang sudah diseret ke pengadilan saja belum Terdapat pelaku yang dihukum. Hakim membebaskan tersangka tunggal dalam kasus itu karena menganggap Tetap Terdapat aktor lain yang layak dimintai pertanggungjawaban.
Di situ terlihat lemahnya jaksa dalam menghimpun dakwaan, seperti sengaja melewatkan pelaku sebenarnya yang memenuhi kriteria yang diinginkan hakim. Hasil Pengusutan Komnas HAM pun sudah membeberkan para terduga pelaku dan Kejagung memilih mengabaikannya.
Penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat memerlukan lebih dari sekadar pengakuan. Perlu kesungguhan yang terlihat dari langkah-langkah yang ditempuh.
Penyelesaian lewat jalur non-yudisial boleh-boleh saja, asalkan Terang dan Bukan menutup jalan ke pengadilan. Kalau perlu, DPR dan pemerintah kembali menyusun undang-undang tentang komisi kebenaran dan rekonsiliasi (KKR) yang sempat ditolak MK. Perbaiki poin-poin yang Membangun undang-undang yang Lewat dinilai MK melanggar UUD 1945.
Bangsa Indonesia Bukan boleh Lalu-menerus menanggung beban masa Lewat. Kasus-kasus HAM berat harus sesegera mungkin dituntaskan seadilnya agar Bukan membelenggu kemajuan peradaban.