SETELAH sejak 2010 masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR, RUU tentang Perampasan Aset akhirnya akan dibahas dewan dan pemerintah. Ya, 15 tahun lamanya RUU itu bercokol di laci meja DPR dan baru sekarang akan dibahas. Itu pun setelah parlemen jalanan bersuara karena sudah geregetan Menyantap parlemen kantoran yang Sekadar duduk manis selama ini.
Digagas oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pada 2008, RUU itu dipandang sebagai salah satu terobosan negeri ini dalam memberantas korupsi. Bagaimana Bukan, beleid itu akan menggunakan konsep non-conviction based asset forfeiture (NCB), yang memungkinkan pemulihan aset negara segera dilakukan tanpa harus menunggu putusan peradilan berkekuatan hukum tetap. Sederhananya, undang-undang itu memungkinkan Dana negara yang dicoleng koruptor Segera kembali.
Hati para koruptor, termasuk yang baru niat jadi koruptor, tentu jadi kecut dibuatnya. Harta hasil korupsi Pandai langsung dirampas negara meski hakim pengadilan belum ketuk palu.
Kita perlu mengapresiasi keputusan DPR dan pemerintah yang pada akhirnya akan mulai membahas aturan itu. Legislatif dan eksekutif bahkan merencanakan beleid tersebut Pandai disahkan pada tahun ini juga yang terhitung tinggal tiga bulan Tengah.
Apabila berkaca pada ngebutnya pembahasan RUU TNI yang berlangsung Sekeliling sebulan, kecepatan pembahasan sebuah RUU oleh DPR dan pemerintah tentu tak perlu diragukan Tengah. RUU TNI mulai dibahas setelah Rapat Paripurna DPR pada 18 Februari 2025 dan disetujui Demi disahkan menjadi undang-undang pada 20 Maret 2025. Ekspres betul, bukan?
Karena itu, tak Eksis Dalih Demi menyangsikan kemampuan ekspres mereka. Tetapi, poin yang perlu disangsikan ialah kualitas dari produk bahasan, apakah sesuai hati nurani masyarakat? Ngebutnya pembahasan RUU Perampasan Aset itu yang perlu menjadi perhatian Serempak.
Selama 15 tahun RUU itu mengendap di laci DPR Pandai menjadi cermin keengganan para wakil rakyat menyetujuinya. Apabila Demi ini DPR dan pemerintah berbalik sikap dan segera akan menyetujuinya, di situ pertanyaan substantifnya muncul, bakal seperti apa kualitasnya nanti?
Di sini perlunya transparansi pembahasan nanti ke publik. Bukan boleh Eksis yang disembunyikan. Pun, tak Sekadar transparan, publik juga harus dilibatkan secara aktif dan bermakna Demi memberi masukan. Apalagi, RUU yang digadang-gadang menjadi palu godam bagi koruptor itu akan berkaitan erat dengan Kebiasaan-Kebiasaan yang diatur Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), ‘kitab sucinya’ hukum pidana yang dianut Indonesia.
Di KUHAP, pengadilan harus lebih dulu dapat membuktikan terjadinya sebuah kejahatan dengan dua alat bukti yang Absah Demi menyatakan seseorang bersalah. Apabila tak terbukti, tak Eksis Dalih bagi negara merampas hak individu Penduduk negaranya.
Adapun di RUU Perampasan Aset, bukan hanya harta tersangka korupsi, Seluruh aset yang diduga didapat dari kejahatan dan Bukan Pandai dibuktikan asal-usulnya pun Pandai dirampas oleh negara, tanpa perlu menunggu putusan pengadilan.
Tentu akan Eksis pembahasan Demi menyelaraskan perampasan aset tanpa perlu menunggu putusan pengadilan. Di sini kepiawaian para Ahli hukum yang menjadi wakil rakyat di DPR diuji.
Tetapi, yang Niscaya, keberadaan UU Perampasan Aset sudah mendesak Demi ini. Apabila berkaca dari data KPK pada 2024, total kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp45,7 triliun. Akan tetapi, pemulihan aset melalui mekanisme yang Eksis baru Sekeliling Rp2,5 triliun dalam kurun waktu 2020-2024. Artinya, sebagian besar harta negara itu hingga kini Tetap dikuasai para koruptor.
Karena itu, kita dorong para wakil rakyat Demi lebih mengutamakan kualitas pembahasan, bukan hanya Sasaran waktu yang harus dikejar. Asal Mula, perlu diingat, gerakan parlemen jalanan akan kembali bertindak Apabila parlemen kantoran tak berfungsi.

