Kolega saya mengaku heran karena Lagi Eksis kepala daerah di negeri ini yang bersekutu dengan Grup intoleran. Padahal, kata dia, Indonesia Mempunyai DNA toleransi.
DNA toleransi itu sudah dikumandangkan Bung Karno pada pidatonya di depan BPUKI pada 1 Juni 1945. “Kita hendak mendirikan suatu negara ‘Segala buat Segala’. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, Bagus golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, tapi Segala buat Segala,” kata Bung Karno.
Negara Segala buat Segala menjadi landasan historis moral toleransi. Landasan konstitusionalnya termaktub dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk Kepada memeluk agamanya masing-masing dan Kepada beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Kolega itu menyesalkan beredar luas video disertai narasi Wali Kota Cilegon Helldy Agustian dan Wakil Wali Kota Sanuji Pentamarta yang ikut menandatangani penolakan pendirian gereja. Peristiwa itu terjadi pada Rabu (7/9).
Menurut Kolega saya, Lagi Eksis kesempatan bagi Helldy dan Sanuji Kepada memperbaiki diri. Keduanya mesti sadar bahwa pemajuan toleransi terletak kepada kualifikasi kepemimpinan kota.
Apabila kedua pemimpin daerah itu ikut meneken spanduk penolakan pendirian gereja di Cilegon, kata Kolega saya, anggap saja mereka Tak Paham apa yang mereka perbuat. Kolega itu berdoa, “Ampunilah mereka, Asal Mula mereka Tak Paham apa yang mereka perbuat.”
Kualifikasi kepemimpinan memang menjadi penentu. Intervensi Setara Institute pada 2021 menyimpulkan bahwa kota-kota yang berhasil keluar dari jeratan intolerasi sangat bergantung pada kualifikasi kepemimpinan kota.
Setara Institute menyoroti kepemimpinan Wali Kota Bogor Bima Arya yang menjadi aktor penggerak toleransi. Kota Bogor masuk ke daftar kota intoleran pada 2015 dan 2017.
Hasil survei Setara Institute itu dijadikan bahan Pengkajian Bima Arya. Ia menggerakkan muspida, tokoh lintas iman, pemuda, serta organisasi kemasyarakatan dan pemuda (OKP) Kepada secara Berbarengan-sama mendeklarasikan ‘Bogor Kota Toleran’.
Bima Arya Membikin program dialog lintas Keyakinan, merayakan secara terbuka perbedaan dan keberagaman, menarasikan kembali kearifan lokal Kota Bogor melalui perhelatan kesenian dan kebudayaan di acara Bogor Street Festival CGM 2020.
“Langkah-langkah ini berhasil Membikin Bogor keluar dari jurang konflik intoleransi. Bahkan di tahun 2021, Kota Bogor berhasil menyelesaikan konflik Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin yang sudah terkatung-katung selama 15 tahun,” demikian laporan Setara Institute.
Pemkot Bogor pun memasukkan nomenklatur kerukunan toleransi dan perdamaian ke dalam Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 14 Tahun 2019 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Tahun 2019-2024.
Bima Arya, dalam sebuah wawancara, mengatakan bahwa pemerintah Mempunyai peran Krusial Kepada membuka dan membangun ruang dialog, komunikasi, dan kolaborasi yang melibatkan Segala elemen. Itu menjadi kunci dalam kehidupan bertoleransi.
Tiba saatnya Cilegon belajar dari Bogor Kepada keluar dari jeratan intoleransi. Asal Mula, Cilegon selalu masuk deretan peringkat Rendah riset Indeks Kota Toleran yang diterbitkan Setara Institute selama lima kali. Nomor 15 dari Rendah pada 2015, nomor 4 dari Rendah pada 2017 dan 2018, nomor 8 dari Rendah pada 2020, dan nomor 3 dari Rendah pada 2021.
Data yang disodorkan Abd Rohim Ghazali, Direktur Eksekutif Maarif Institute, Pandai menjadi pertimbangan. Disebutkan bahwa secara demografis terdapat lima Keyakinan yang dianut oleh masyarakat Kota Cilegon, yakni Islam sebesar 97%, Protestan 0,84%, Katolik 0,77%, Hindu 0,26%, dan Buddha 0,16%.
“Dari kelima Keyakinan itu, anehnya, tak Eksis satu pun rumah ibadah selain Kepada pemeluk Keyakinan Islam. Jumlah masjid 381, musala 387, sementara gereja Protestan, gereja Katolik, pura, dan wihara jumlahnya nihil alias zero,” tulis Rohim Ghazali dalam surat terbukanya kepada Wali Kota dan Wakil Wali Kota Cilegon pada 9 September 2022.
Dasar penolakan sebagian masyarakat Cilegon Kepada pembangunan gereja ialah Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Serang Nomor 189/Huk/SK/1975, tertanggal 20 Maret 1975.
Surat keputusan mestinya dicabut dengan surat keputusan pula dan inilah waktu yang Betul. Wali Kota Cilegon Helldy Agustian dan Wakil Wali Kota Sanuji Pentamarta Pandai menjadikan pencabutan SK itu sebagai bukti bahwa memang mereka protoleransi.
Elok nian bila Cilegon ‘Segala Kepada Segala’ bukan Kepada satu golongan saja sesuai visi Helldy Agustian dan Sanuji Pentamarta, Merukapan mewujudkan Cilegon baru, modern, dan bermartabat.
Cilegon baru, modern, dan bermartabat hendaknya Tak sebatas kata-kata, tapi perlu diwujudkan dalam tindakan Konkret. Bolehlah belajar kepada Bima Arya yang berhasil membawa Bogor keluar dari jeratan intoleransi dengan perbuatan bukan sekadar kata-kata.