Belajar dari Konflik Timur Tengah

Belajar dari Konflik Timur Tengah
(MI/Seno)

ESKALASI konflik di Timur Tengah terus meningkat ditandai dengan serangan gencar Israel, termasuk beberapa sasaran strategis di Beirut, ibu kota Libanon. Dari berita yang beredar, pascaserangan udara yang bertubi-tubi, Israel akan segera mengerahkan sejumlah besar pasukan darat masuk menyerbu menduduki Libanon. Apa yang dapat dipetik sebagai pelajaran dari konflik Timur Tengah yang sedang membara ini?

Setidaknya ada dua hal penting yang patut diperhatikan dengan melihat serangan udara yang dilancarkan Israel terhadap Libanon. Yang pertama adalah betapa pentingnya design system pertahanan udara sebuah negara, dalam mengantisipasi hakikat ancaman serangan udara musuh.

Berikutnya adalah betapa rawan dan pentingnya menjaga dengan ketat kedaulatan negara di udara. Bagi Indonesia, dengan melihat konflik di Timur Tengah yang sangat jelas menunjukkan betapa wilayah udara sebuah negara memiliki nilai yang sangat tinggi dalam hal pertahanan keamanan negara, sangat masuk akal untuk segera melakukan introspeksi.

Baca juga : Jokowi: Dialog Jalan Satu-satunya Selesaikan Konflik Timur Tengah

Dalam menyusun desain dari sistem pertahanan negara, terutama sistem pertahanan udara, dibutuhkan sebuah pusat pertahanan udara yang dapat diandalkan untuk sebuah misi suci mempertahankan eksistensi dan martabat bangsa. Salah satu yang sangat mendesak adalah kebutuhan akan sebuah markas besar pertahanan udara nasional yang steril dari hiruk pikuk kegiatan publik sehari-hari.

Cek Artikel:  Cita-cita

Seperti diketahui, Pangkalan Bilangantan Udara Halim Perdanakusuma yang merupakan lokasi dari pusat pertahanan udara nasional kini sudah kurang layak lagi sebagai sebuah Markas Besar Pusat Operasi Pertahanan Udara. Capeksi yang seharusnya steril, setidaknya terbatas atau restricted, kini sudah menjadi ruang publik dengan kegiatan penerbangan sipil komersial dan juga stasiun kereta api.

Berikutnya ialah kondisi dari wilayah udara yang sangat strategis dan sekaligus rawan di kawasan perairan Kepulauan Riau, Natuna, dan sekitar Selat Malaka telah didelegasikan wewenang pengelolaannya kepada otoritas penerbangan asing. Hal itu tercantum dalam salah satu perjanjian antara Indonesia dan Singapura 2022 yang menyerahkan wewenang pengelolaan wilayah udara tersebut untuk waktu 25 tahun dan akan diperpanjang.

Baca juga : Melenyapkan Palestina

Sebenarnya, hal itu sudah dikaji mendalam dan cukup panjang oleh para ahli hukum udara dan ruang angkasa beserta para pihak yang kompeten di bidang itu, saat penyusunan Rancangan Undang-Undang Penerbangan No 1 Pahamn 2009 yang kemudian dituangkan dalam Pasal 458. Pasal itu mengatakan antara lain bahwa seluruh wilayah udara NKRI yang selama ini didelegasikan wewenang pengelolaannya kepada negara lain sudah harus berakhir 15 tahun setelah undang-undang itu diberlakukan.

Cek Artikel:  Ketahanan Pangan, Petani Guram, dan Kemiskinan

Itulah dua hal prinsip yang patut kiranya dipikirkan ulang, dalam menata sistem pertahanan keamanan negara dalam kaitannya dengan antisipasi menghadapi konflik yang berkembang di tataran global. Menonton pada perkembangan teknologi yang kini sudah memasuki era cyber dan sistem transportasi udara global yang maju pesat, sangat masuk akal untuk mempertimbangkan kembali pengelolaan penerbangan nasional untuk dikelola sebuah kementerian penerbangan yang khusus, atau membentuk sebuah kementrian koordinator penerbangan.

Hal itu didasari pula bahwasanya kegiatan penerbangan di negeri ini tidak hanya terdiri dari kegiatan penerbangan sipil komersial, tetapi juga kegiatan penerbangan militer yang bertugas dalam kerangka pertahanan keamanan negara.

Baca juga : Dinamika Baru Timur Tengah

Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, atau bahkan Kementerian Perhubungan, sudah tidak memadai lagi dalam hal pengelolaan aktivitas penerbangan yang mencakup civil aviation dan military aviation. Kebutuhan akan Markas Besar Operasi Pertahanan Udara Nasional yang kini bersinggungan dengan kegiatan pusat operasi transportasi publik sudah saatnya dibenahi.

Demikian pula keutuhan wilayah udara kedaulatan NKRI, dengan perkembangan kemampuan yang telah kita capai selama ini, sudah saatnya pula untuk dikelola sendiri oleh Indonesia. Seperti diketahui, Kementerian Perhubungan RI baru saja mengumumkan pencapaian sukses dalam kurun waktu 10 tahun terakhir.

Cek Artikel:  Khitah Negara pada Sastra Masuk Kurikulum

Salah satu yang dapat dicatat dan diberi apresiasi adalah hasil audit terakhir International Civil Aviation Organization (ICAO) terhadap Kementerian Perhubungan dalam perannya sebagai otoritas dan regulator penerbangan sipil nasional.

Baca juga : Konflik Palestina-Israel: Menanti Keajaiban selain Hukum Global

Selaku pengemban implementasi dari International Aviation Safety Regulation, Kementerian Perhubungan telah berhasil mencapai perolehan nilai yang di atas rata-rata dunia atau above global average. Sebuah prestasi yang sangat membanggakan.

Dengan demikian, sudah waktunya untuk memikirkan kembali agar pengelolaan wilayah udara nasional dilayani atau dikelola penuh oleh Kementerian Perhubungan. Sudah waktunya pengelolaan lalu lintas udara di wilayah udara kedaulatan NKRI diurus sendiri, tanpa harus tergantung sehingga harus didelegasikan kepada negara lain.

Pengelolaan kegiatan penerbangan selalu mengundang kerawanan, terutama dalam hal persinggungan yang terjadi di lapangan antara aktivitas penerbangan sipil dan militer. Semoga ke depan, Indonesia dapat mensejajarkan dirinya sebagai sebuah negara yang mampu mengelola sendiri sumber daya alam yang antara lain berujud wilayah udara di atas teritorium NKRI.

Mungkin Anda Menyukai