Belajar dari Afsel

MENJADI negara yang disegani dalam percaturan global tak semata karena kemajuan ekonomi dan alat utama sistem persenjataan (alusista) yang dimiliki. Keberanian ikut menjaga ketertiban dunia pun bisa menjadi faktor.

Ekonomi makmur dan alutsista siap tempur, tapi nyali terkubur dalam menjaga ketertiban dunia, tak bermakna apa-apa negara tersebut di kancah dunia. Pasalnya, pada akhirnya peperangan di sebuah kawasan akan berdampak terhadap negara-negara lainnya, termasuk negara yang emoh terlibat dalam menjaga perdamaian dunia.

Afrika Selatan (Afsel) adalah salah satu negara yang berani menyeret Israel ke Mahkamah Global (International Court of Justice/ICJ) di Den Haag, Belanda, dalam kasus genosida oleh Israel di Gaza. Sidang pertama kasus gugatan genosida oleh Israel yang diajukan Afrika Selatan itu digelar pada Kamis (11/1).

Dalam gugatan setebal 84 halaman tersebut, Afsel mengatakan Israel telah melanggar Konvensi Genosida 1948 yang dibuat seusai Perang Dunia II dan Holocaust. Afrika Selatan dan Israel merupakan penanda tangan Konvensi Genosida PBB, yang memberikan yurisdiksi kepada ICJ sebagai badan hukum tertinggi PBB untuk memutuskan perselisihan mengenai konvensi tersebut.

Alhasil, semua negara yang menandatangani konvensi tersebut wajib menaati untuk tidak melakukan genosida. Selain tidak melakukan genosida, juga wajib mencegah dan menghukum siapa pun yang melakukannya. Dalam perjanjian tersebut, pengertian genosida adalah tindakan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian, suatu kelompok bangsa, etnis, ras, atau agama.

Cek Artikel:  Terdapat Pribadi di Pansus Angket Haji

Dunia semakin muram karena eskalasi perang Hamas-Israel meluas. Perang berdarah Israel di Jalur Gaza sudah mencapai hari ke-100 sejak 7 OKtober 2023. Invasi negeri zionis itu sudah menewaskan hampir 24 ribu orang. Serangan udara dan darat Israel membuat wilayah kantong Palestina mengalami kehancuran secara masif di Gaza.

Sebanyak 85% penduduk Gaza menjadi pengungsi. Selain itu, 60% infrastruktur di wilayah tersebut juga hancur. Israel memutus pasokan listrik, makanan, air, dan bahan bakar ke Gaza. Tak hanya itu, Israel menyerang sejumlah kamp pengungsian, sekolah, rumah ibadah, dan rumah sakit.

Afrika Selatan tak sendiri mengajukan gugatan aksi genosida oleh Israel di Gaza ke ICJ. Negara lain yang ikut mendukung ialah Bolivia, Cile, Turki, dan Malaysia. Meskipun mengutuk keras agresi Israel dan mendukung sepenuhnya perjuangan bangsa Palestina untuk merdeka dan berdaulat, Indonesia tidak bisa menyeret Israel ke ICJ karena bukan negara yang menandatangani Konvensi Genosida PBB. Konvensi Genosida PBB secara efektif dilaksanakan pada 12 Januari 1951. Per April 2022, ada 153 negara yang menjadi negara pihak. Negara pihak adalah negara yang setuju terikat perjanjian internasional berkekuatan hukum untuk menolak genosida.

Cek Artikel:  Sang Penjaga Negeri

Dalam sidang kedua yang digelar Jumat (12/01), delegasi Israel menolak tuduhan-tuduhan genosida yang dilancarkan Afsel. Delegasi Israel menuding Afsel sebagai ‘juru bicara’ kelompok Hamas yang menginginkan kehancuran Israel. Delagasi Israel berkilah bahwa apa yang mereka lakukan di Gaza adalah bentuk pembelaan diri dari serangan Hamas.

Kini, perang tak hanya Hamas-Israel. Perang telah meluas, seperti antara negara-negara yang mendukung Hamas yakni kelompok Houthi di Yaman dengan Amerika dan Inggris di Laut Merah.

Laut Merah dikenal sebagai salah satu jalur pelayaran terpadat di dunia. Rute pelayaran ini menghubungkan Eropa dengan Asia dan Afrika Timur. Konflik di Laut Merah akan memicu konflik regional. Konflik ini mengganggu pengiriman komoditas penting yang biasa melewati Laut Merah, seperti minyak, pangan, dan pakaian. Ketergantungan Indonesia pada komoditas impor itu mengerek kenaikan harga sehingga memukul perekonomian negeri ini.

Cek Artikel:  Makan Bergizi tanpa Korupsi

Indonesia perlu belajar dari Afsel. Negara yang memiliki keberanian untuk tidak populer di mata Israel dan sekutunya. Negara tersebut memiliki banyak hal untuk diteladani. Seperti keberhasilan mengatasi apartheid, sistem pemisahan ras yang diterapkan oleh pemerintah kulit putih di Afsel dari 1948 hingga awal 1990-an. Rekonsiliasi nasional untuk menyelesaikan permasalahan kelam bangsa Afsel yang digagas Presiden Nelson Mandela pada 1995 juga berjalan sukses.

Berbagai perubahan radikal yang dilakukan Nelson Mandela membuahkan hasil. Tak saja mendorong perubahan di dalam negeri, tetapi juga menginspirasi perdamaian di sejumlah negara. Dukungan yang besar disampaikan pula oleh Nelson Mandela kepada Palestina.

Seiring dengan demokratisasi yang berkembang di ‘Negeri Pelangi’ itu, pertumbuhan ekonomi mereka pun terus membaik. Tak mengherankan bila Afsel merupakan ekonomi terbesar dan menjadi wakil Benua Afrika di forum G-20. Afsel bangkit dari keterpurukan sebagai negara terbelakang berkat visi pemimpinnya yang bernama Nelson Mandela. Visi memimpin yang menginspirasi, visioner, dan bukan omon-omon, serta melampaui batas negara. Tabik!

Mungkin Anda Menyukai