Bau Bancakan di Proyek Strategis

KABAR tak sedap datang dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Lembaga itu menemukan adanya dana proyek strategis nasional (PSN) sepanjang 2023 yang mengalir ke rekening pribadi perorangan. Secara tegas Kepala PPATK Ivan Yustiavandana menyebut 36,67% dana PSN masuk ke kantong politikus dan aparatur sipil negara (ASN).

Meski PPATK tidak mengupas asal-usul aliran dana itu, mudah sekali diduga uang itu ialah uang panas. Logika sederhananya, apakah wajar duit APBN untuk proyek negara masuk ke rekening pribadi?

Duit negara itu seharusnya masuk ke rekening kementerian teknis yang mengerjakan PSN. Berikutnya uang itu mengalir ke rekening perusahaan kontraktor yang mengerjakannya. Lampau, bagaimana bisa ada ASN dan politikus ikut kecipratan uang PSN?

Sekali lagi mudah diduga, uang itu sebagai suap karena ASN dan politikus itu telah membantu kontraktor memenangi tender proyek PSN. Modusnya sederhana, para politikus menitipkan kontraktor-kontraktor ke panitia pengadaan yang tak lain ialah ASN. Fulus sebagai tanda terima kasih pun sudah menanti di ujung jalan.

Cek Artikel:  Lanjutkan Sirekap Buang Ketertutupan

Praktik lancung ini yang pada debat calon presiden (capres) Minggu (7/1) lalu menjadi sorotan Anies Baswedan. Capres nomor urut 1 itu mengkritisi keberadaan pihak ketiga dalam sebuah proyek pengadaan.

Banyak sekali sinonim untuk menyebut pihak ketiga itu, mulai calo, makelar, perantara, hingga broker. Tetapi, Anies menyebutnya sebagai middleman. Dalam proyek pengadaan, apalagi infrastruktur yang bujetnya pasti jumbo, para middleman itu biasanya diisi oleh politikus, yang juga  kebanyakan berasal dari kelompok pengusaha. Dengan memanfaatkan posisi dan jabatan di pemerintahan, mereka mencari celah agar bisa ikut menikmati anggaran infrastruktur.

Berapa nilai proyek yang diambil oleh para middleman itu? Kita ambil contoh simpel saja, sebuah proyek strategis bernilai Rp125,7 triliun, misalnya. Berangkat dari temuan PPATK tadi dan menggunakan proyek Rp125,7 triliun sebagai contoh, berarti setidaknya ada sekitar Rp46 triliun uang yang masuk ke kantong middleman. Luar biasa bukan kelakuan para pencoleng itu. Duit sebesar itu menjadi bancakan segelintir orang yang duduk di kekuasaan dengan memperdagangkan pengaruh.

Cek Artikel:  Menyetarakan Kebebasan Variasia

Apabila nantinya temuan PPATK itu terbukti koruptif dalam proses hukum, kita tak perlu kaget lagi jika indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia jalan di tempat atau bahkan anjlok. Kita semua masih menunggu laporan tahunan Transparency International untuk tahun 2023.

Tetapi, untuk tahun 2022 saja, IPK Indonesia sudah mengalami penurunan terburuk sepanjang sejarah reformasi. Dari skala nol (sangat korup) hingga 100 (sangat bersih), Indonesia berada di poin 34, turun 4 poin daripada tahun sebelumnya.

Penurunan IPK itu turut menjatuhkan urutan IPK Indonesia secara global. IPK Indonesia pada 2022 menempati peringkat ke-110 dari 180 negara yang disurvei. Padahal, di tahun sebelumnya, IPK Indonesia berada di peringkat ke-96 secara global.

Cek Artikel:  Berbesar Hati Terima Putusan MK

Apabila ke depan tidak ada perubahan, perilaku koruptif para middleman itu akan terus lestari di negeri ini. Apalagi, pengerjaan PSN masih terus berlangsung hingga 2024 ini dengan dana yang sudah dianggarkan hingga Rp45,7 triliun.

Negara ini jelas butuh pemimpin yang berani membuat perubahan, pemimpin yang berani memenggal praktik-praktik korupsi. Buat para calon presiden yang akan berkompetisi pada Februari 2024 nanti, rakyat menanti gagasan sekaligus menakar keberanian Anda menghilangkan korupsi dari negeri ini.

Mungkin Anda Menyukai