Basa-basi KPK

SIARAN pers Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 27 Juli 2023 menarik perhatian. Judulnya ialah KPK Tangkap Tangan Suap di Basarnas. Hal paling menarik bukan judulnya, melainkan kalimat pertama pada alinea terakhir dari 10 alinea siaran pers tersebut.

“KPK menyampaikan apresiasi kepada Puspom TNI atas dukungan dan sinergi yang telah terjalin baik sehingga kita bisa mengungkap dugaan tindak pidana korupsi di Basarnas,” begitu bunyi kalimat pertama pada alinea terakhir tersebut.

Terdapat dua poin yang bisa dimaknai dari kalimat tersebut. Pertama, Puspom TNI mendukung KPK untuk menangkap dan menetapkan tersangka militer aktif. Kedua, terdapat sinergi yang telah terjalin baik antara KPK dan Puspom TNI hingga berujung penetapan tersangka militer aktif.

KPK dalam siaran pers itu memaparkan kegiatan tangkap tangan yang berlangsung pada 25 Juli 2023 di wilayah Jakarta Timur dan Kota Bekasi. Terdapat 11 orang yang terjaring termasuk ABC Koordinator Staf Administrasi (Koorsmin) Kepala Basarnas.

“Dalam proses pemeriksaannya, KPK menemukan bukti permulaan yang cukup sehingga menaikkan status perkara ini ke tahap penyidikan dengan menetapkan lima orang sebagai tersangka, yaitu MG Komisaris Primer PT MGCS, MR, RA, HA Kepala Basarnas periode 2021-2023, dan ABC,” bunyi alinea ke-3 siaran pers KPK.

Cek Artikel:  Antara Iqbal, Armand, dan Kaesang

Fakta yang terungkap kemudian justru membuat mata terbelalak. Rupanya Puspom TNI tidak mendukung KPK menangkap dan menetapkan tersangka militer aktif. Mereka ialah Letnan Kolonel Afri Budi Cahyanto selaku Koorsmin Kepala Basarnas dan Kepala Basarnas periode 2021-2023 Marsekal Madya Henri Alfiandi.

Komandan Puspom TNI Marsekal Muda Mulia Handoko pada 27 Juli 2023 justru mengingatkan KPK agar mematuhi aturan dan prosedur hukum yang berlaku.

Menurut Mulia, dalam kasus dugaan korupsi di Basarnas, tentunya pihak KPK telah melakukan penyelidikan sebelumnya terhadap siapa yang akan ditangkap sehingga untuk Letnan Kolonel Afri Budi Cahyanto yang ditangkap sudah diketahui bahwa yang bersangkutan ialah anggota TNI.

”Akan lebih elok jika pihak KPK berkoordinasi dengan Puspom TNI untuk melakukan penangkapan bersama-sama. Di sinilah perlunya komunikasi dan koordinasi yang baik antarinstitusi,” katanya.

Penjelasan Mulia menyiratkan bahwa KPK tidak berkomunikasi dan berkoordinasi dengan Puspom TNI pada saat menangkap militer aktif. Selain itu, KPK tidak mematuhi aturan dan prosedur hukum yang berlaku.

Menurut Undang-Undang Peradilan Militer, untuk anggota TNI aktif, penyidiknya ialah Polisi Militer. Oleh karena itu, yang bisa menetapkan status tersangka terhadap personel militer aktif ialah Polisi Militer selaku penyidik.

Cek Artikel:  Sindiran tak Bermakna

KPK mutlak mematuhi aturan hukum yang berlaku. Pasal 5 UU 19/2019 tentang KPK menyebutkan bahwa dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, KPK berasaskan pada kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, proporsionalitas, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Asas-asas itulah yang diterabas secara sadar oleh KPK terutama menyangkut kepastian hukum. Yang dimaksudkan dengan kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan menjalankan tugas dan wewenang KPK.

Asas kepastian hukum itu mengandaikan bahwa semua kebijakan dan keputusan/tindakan KPK didasarkan pada landasan hukum yang jelas dan kuat dan tidak melanggar hukum. Menegakkan hukum tanpa melanggar hukum.

Lebih memprihatinkan lagi bahwa pimpinan KPK melimpahkan kesalahan kepada penyidiknya. Pimpinan KPK cuci tangan, tidak mau mengambil alih tanggung jawab atas apa yang disebutnya sebagai kekhilafan sehingga meminta maaf.

KPK meminta maaf kepada TNI pada 28 Juli 2023. Permintaan maaf itu disampaikan setelah pimpinan KPK menerima Komandan Puspom yang didampingi Kepala Pusat Penerangan TNI Laksamana Muda Julius Widjojono dan Kepala Badan Pembinaan Hukum TNI Laksamana Muda Kresno Buntoro.

Cek Artikel:  Alarm Pertumbuhan

Setelah pertemuan sekitar dua jam di Gedung KPK, Wakil Ketua KPK Johanis Tanak menyampaikan, semestinya KPK memahami penanganan perkara dugaan korupsi yang melibatkan anggota TNI oleh Polisi Militer (PM) TNI.

“Di sini ada kekeliruan dan kekhilafan dari tim kami yang melakukan penangkapan. Oleh karena itu, kami dalam rapat tadi sudah menyampaikan kepada teman-teman TNI agar dapat disampaikan kepada Panglima TNI Yudo Margono dan jajaran TNI. Atas kekhilafan ini kami mohon dimaafkan,” ujar Tanak.

Terlalu naif menyalahkan penyelidik. Bukankah untuk meningkatkan status ke penyidikan dan penetapan seseorang menjadi tersangka harus disetujui dan diputuskan secara bersama-sama oleh pimpinan KPK setelah terpenuhinya dua bukti permulaan yang cukup?

Pasal 39 ayat (2) UU KPK menyatakan bahwa penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dilaksanakan berdasarkan perintah dan bertindak untuk dan atas nama Komisi Pemberantasan Korupsi.

Betul kata orang, perbedaan bos dan pemimpin bisa dilihat bagaimana bersikap saat terjadi kesalahan. Bos melempar tanggung jawab kepada anak buah, sedangkan pemimpin mengambil alih tanggung jawab. Jangan-jangan yang ada saat ini ialah bos bukan pemimpin KPK. Apresiasi yang disampaikan dalam siaran pers itu hanya basa-basi ala KPK.

Mungkin Anda Menyukai