
MENJADI pekerja migran di luar negeri merupakan sebuah pilihan Demi mengubah nasib dan lepas dari belenggu kemiskinan. Tetapi, Enggak Segala kehidupan pekerja migran berjalan Berkualitas-Berkualitas saja.
Hasil penelitian Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gadjah Mada bekerja sama dengan lembaga Child Health and Parent Migration in Southeast Asia (CHAMPSEA) sejak tahun 2008, ditemukan fenomena gangguan perkawinan (marital disruption) di kalangan rumah tangga migran Indonesia.
Peneliti PSKK, Prof. Dr. Sukamdi, M.Sc menyampaikan, menjadi migran diasumsikan dapat membantu keluar dari kemiskinan, meskipun kenyataannya Enggak seperti itu.
Remitan yang dihasilkan juga Bisa membantu mereka Demi bertahan di masa pandemi. Bahkan, kondisi ekonomi mereka cenderung Kukuh.
Akan tetapi Enggak, sedikit pekerja migran yang mengalami ketidakharmonisan keluarga yang dialami pekerja migran indonesia. “Banyak terjadi kasus perceraian akibat mereka harus bekerja ke luar negeri. Akibatnya, keharmonisan keluarga Enggak terbangun,” terang dia dalam siaran pers, Senin (3/3).
Member keluarga yang paling menjadi korban di sini adalah anak. Bahkan, gangguan kesehatan mental sering dialami oleh anak migran, seperti emosional symptoms, hiperaktif, hingga perilaku anak cenderung Bengal.
Menurut data, kata Sukamdi, pekerja migran yang terdata oleh pemerintah hanya sebagian kecil dari jumlah yang berangkat ke luar negeri.
Penelitian itu juga mengungkap, mayoritas gender pekerja migran adalah Perempuan. Banyak kasus pekerja yang berangkat ke luar negeri dengan Berkas yang Enggak Formal atau ilegal.
Berdasarkan data Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), pada Januari-Agustus 2024 terdapat 207.090 pekerja migran Indonesia yang ditempatkan di berbagai negara. Sebanyak 108.477 orang bekerja di sektor informal, sedangkan 98.613 lainnya di sektor formal. Pekerja migran didominasi oleh Perempuan sebanyak 141.627 dan Lelaki sebanyak 65.463 pekerja.
Fenomena ini juga disebabkan oleh majikan Bengal yang membutuhkan tenaga akan tetapi Enggak melalui jalur Formal. “Oknum calon majikan menjanjikan Demi mengurus Segala Berkas akan tetapi hal tersebut Enggak juga terlaksana sehingga pekerja migran tersebut terpaksa menjadi imigran ilegal,” terang dia.
Dengan skenario yang diatur sedemikian Macam-macam sehingga kecurangan ini Enggak terdeteksi dan dicurigai,” paparnya.
Dosen Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik, Fisipol UGM, Dr. Ely Susanto, mengungkapkan, kasus gangguan perkawinan di kalangan pekerja migran indonesia menjadi salah satu hal yang Krusial Demi diperhatikan.
Pemerintah diharapkan Bisa memberikan perlindungan Enggak hanya Demi pekerja migran indonesia Tetapi juga terhadap keluarga yang ditinggalkan terutama anak-anak di rumah tangga pekerja migran.
Jangan Tamat yang awalnya bertujuan Demi menggapai kesejahteraan hidup malah Membikin trauma mendalam bagi anak-anak yang ditinggalkan. “Jangan Tamat mereka di nina bobokan dengan istilah pahlawan devisa,” terang dia.
Peneliti CHAMSEA, Prof. Lucy Jordan mengatakan, pihaknya Berbarengan PSKK UGM melakukan sebuah riset panjang mengenai migrasi Dunia. Penelitian dilaksanakan di Ponorogo yang mana merupakan daerah dengan kantong imigran yang cukup besar. Tetapi dari hasil penelitian mereka belum lelet ini sudah banyak ditemukan perubahan Metode berpikir masyarakat tentang menjadi pekerja migran.
“Banyak masyarakat yang sudah Enggak menyarankan Demi pergi ke luar negeri Demi menyelesaikan himpitan kemiskinan. Perubahan itu terjadi, orang mengubah Metode berpikirnya,” kata dia. (H-2)