BADAN Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengungkapkan banyak negara belum mampu memenuhi kriteria kualitas udara yang baik dari Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO). Padahal kualitas udara merupakan salah satu kontributor untuk mengurangi emisi, penyebab perubahan iklim.
Baca juga : Polusi, Jakarta Masuk 10 Besar dengan Udara Terburuk di Dunia
Standar yang ditetapkan WHO, menurut BMKG sangat ketat sehingga sangat sulit diikuti oleh negara-negara, termasuk negara maju.
“Tiba saat ini hanya ada dua negara yang bisa memenuhi kriteria WHO, yakni negara di Skandinavia karena kualitas udara di sana masih sangat baik. Bahkan negara maju sekalipun tidak bisa memenuhi kriteria WHO itu,” kata Koordinator Sub Bidang Informatif Gas Rumah Kaca BMKG Albert Malang di kantor BMKG, Jakarta Pusat, Senin (14/10).
Baca juga : Udara Jakarta Tak Sehat, Penduduk Diimbau Mengenakan Masker
WHO merilis pedoman kualitas udara yang direvisi pada 22 September 2021, pembaruan besar pertama untuk standar dalam 15 tahun. WHO mencatat bahwa memperbarui kadar Panduan Kualitas Udara (AQG) yang baru diperbarui dimotivasi oleh keinginan untuk menyelamatkan nyawa. Panduan ini dimaksudkan untuk memacu pengurangan global yang lebih besar dalam emisi polusi. Beberapa polutan udara utama yang diperbarui juga berkontribusi pada perubahan iklim yang diinduksi manusia.
Panduan untuk partikel kasar dan halus, masing-masing PM10 dan PM2.5, diperbarui untuk waktu rata-rata tahunan dan 24 jam. PM2.5 adalah partikulat berukuran 2,5 mikrometer (μm) dengan diameter atau kurang. PM10 lebih besar, berukuran 10 mikrometer dengan diameter atau kurang.
Baca juga : Kualitas Udara Jakarta Pagi Ini Tak Sehat
Pada tahun 2005, tingkat emisi tahunan rata -rata tertinggi yang direkomendasikan untuk PM2.5 adalah 10 μg/m3. Revisi 2021 membagi angka itu, menjadi hanya 5 μg/m3. Level 24 jam berubah dari 25 μg/m3 pada 2005 menjadi 15 μg/m3 pada 2021.
Baca juga : Kualitas Udara Jelek di Kota Besar Mempengaruhi Pilihan Tinggal Masyarakat
Tingkat emisi tahunan rata -rata yang disarankan untuk PM10 adalah 20 μg/m3 pada tahun 2005. Level untuk 2021 bergeser ke 15 μg/m3. Level 24 jam diperbarui dari 50 μg/m3 pada 2005 menjadi 45 μg/m3 pada 2021.
Albert melanjutkan, pedoman yang dibuat WHO tidak memiliki kekuatan mengikat bagi negara. Karena, menurutnya kondisi setiap negara berbeda-beda. Oleh karena itu, ia mengatakan strategi mitigasi diserahkan pada masing-masing negara.
“Guideline yang dibuat WHO adalah kriteria terbaik yang mana kondisi kkualitas udara itu tidak berdampak pada kesehatan. Itu adalah kondisi ideal. Dan itu sangat sulit untuk diterapkan. Jadi akan lebih bijak jika kita melihat standar yang dibuat di tingkat nasional,” jelas Albert.
Di Indonesia, baku mutu PM2,5 tahunan menggunakan batas maksimal 15 mikrogram per meter kubik sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 tahun 2021 tentang Penyelnggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Dari skala nasional, setiap wilayah pun berbeda-beda. Misalnya saja di Jakarta. Dalam siklus harian, konsentrasi PM2,5 cenderung lebih tinggi lepas malam hari hingga menjelang pagi hari.
“Taatp wilayah itu berbeda-beda, misalnya saja di Papua Barat dan Barat Daya level PM2,5-nya berada di bawah baku mutu. Lewat ada wilayah di September Oktober di atas baku mutu karena ada kebakaran hutan dan lahan, tapi di bulan-bulan lain ada di bawah baku mutu. Jadi bergantung pada kondisi dan faktor masing-masing wilayah,” jelas Albert. (H-3)