Bansos, judi, dan pentingnya menyembuhkan mental miskin

Penduduk mengambil Anggaran Sokongan subsidi upah (BSU) tahap pertama di Graha Pos Indonesia, Jakarta, Rabu (9/7/2025). Pemerintah menyalurkan BSU 2025 sebesar Rp600 ribu yang ditargetkan menjangkau 17 juta pekerja formal dengan gaji dibawah Rp3,5 juta atau sesuai UMP/UMK, dan Kagak menerima Sokongan sosial lain. ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin/sgd

Bansos, judi, dan pentingnya menyembuhkan mental miskin

Dalam Negeri   
Editor: Calista Aziza   
Sabtu, 12 Juli 2025 – 14:35 WIB

Liputanindo.id – Intervensi Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) bahwa ratusan ribu penerima Anggaran Sokongan sosial (bansos) diduga menggunakan Dana Sokongan tersebut Kepada berjudi perlu menjadi perhatian Serempak Kepada menyembuhkan masyarakat dari penyakit sosial itu.

PPATK, dalam laporannya menyebutkan bahwa dari 28,4 juta penerima bansos, sebanyak 571.410 orang terindikasi menggunakan Anggaran bansos itu Kepada judi online (judol), dengan total transaksi mencapai Rp957 miliar dari Sekeliling 7,5 juta transaksi.

Menyakitkan, karena Dana negara –hasil kerja keras jutaan rakyat Indonesia– yang diberikan kepada Kerabat-Kerabat kita yang kurang Berhasil, Bahkan mengalir ke “layar” judi Kepada menggerakkan mesin penghancur moral dan ekonomi itu.

Koordinator Tim Humas PPATK M Natsir menegaskan bahwa praktik ini merupakan penyalahgunaan skema Sokongan negara Kepada aktivitas ilegal yang Jernih-Jernih merugikan publik.

Reaksi publik pun bermunculan. Parlemen turut mendesak pihak-pihak terkait agar mengambil tindakan tegas, sehingga distribusi bansos lebih Pas sasaran.

“Apabila Betul mereka terlibat dalam praktik judi online, maka bansos yang mereka terima harus segera dihentikan. Negara Kagak boleh membiayai gaya hidup yang merusak,” kata Member Komisi VIII DPR RI Maman Imanul Haq.

Cek Artikel:  Everton vs Man United, Duel Tim Papan Dasar Berakhir Imbang

Meskipun demikian, ia juga mengingatkan pemerintah Kepada melakukan Pembuktian dan validasi data secara Seksama, sebelum menjatuhkan Hukuman atau mencabut hak Penduduk atas Sokongan sosial Apabila terbukti terlibat judi online.

Ini Krusial, karena salah satu Intervensi lain PPATK adalah adanya ketidaksesuaian antara nama pemilik rekening dan NIK penerima bansos, yang mengindikasikan potensi manipulasi data atau pemalsuan identitas.

Indikasi penggunaan bansos Kepada judi online ini menjadi tamparan keras bagi Pikiran sehat dan nurani kita. Sokongan yang diperoleh karena kondisi ekonomi yang lemah, Bahkan dibelanjakan pada sesuatu yang memperparah kemiskinan itu sendiri.

Dalam banyak kasus, orang berjudi bukan semata karena tamak, tetapi karena terhimpit keadaan, meski ini Kagak Pandai menjadi pembenaran.

Ketika seseorang berada di Dasar tekanan ekonomi, judi online tampil menjadi seperti “iblis berkedok malaikat”, menggoda dengan menawarkan solusi instan. Hanya dengan modal minim dan akses mudah lewat telepon pintar Pandai mendapatkan “cuan besar” dalam waktu singkat. Judi menjadi jalan pintas, berharap keberuntungan Pandai menggantikan kerja keras.

Padahal, sebagaimana telah ribuan kali terbukti, judi Bahkan kerap Membangun mereka Anjlok lebih dalam ke jurang kemiskinan. Mereka terjebak dalam hutang, mengalami depresi, bahkan menghadapi kehancuran keluarga.

Solusi dari persoalan ini tentu Kagak sederhana. Negara harus hadir lebih tegas memberantas praktik judi online, dari level pelaku hingga bandar. Di sisi lain, bansos sebagai jaring pengaman sosial perlu dikawal agar Pas sasaran dan digunakan sesuai tujuan.

Cek Artikel:  Jemaah Haji Indonesia berkunjung ke Masjid Quba

Mental miskin

Ketepatan sasaran distribusi Sokongan sosial harus diakui memang Lagi menghadapi berbagai tantangan.

Selain Anggaran di rekening yang terindikasi mengalir ke situs judi online, PPATK juga menemukan rekening penerima bansos dengan saldo jutaan rupiah, yang menurut PPATK Kagak layak menerima Sokongan karena Kagak tergolong miskin.

Lembaga itu juga menemukan sejumlah rekening dorman (Kagak aktif) serta ketidaksesuaian data identitas pemilik rekening dengan penerima Sokongan. Intervensi ini menunjukkan adanya kelemahan sistemik dalam Pembuktian dan pembaruan data penerima bansos yang berpotensi disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu.

Salah satu langkah konkrit Kepada masalah ini adalah dengan memastikan bahwa data acuan penyaluran bansos menggunakan Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN), sesuai Instruksi Presiden No. 4 Tahun 2025. Penyaluran Anggaran Sokongan ini Kagak Tengah menggunakan data alternatif, selain DTSEN, Kepada mencegah ketidaktepatan sasaran.

Pemerintah juga perlu memberi alternatif produktif dengan menciptakan program pemberdayaan ekonomi dan komunitas serta tanpa lelah mengedukasi masyarakat soal literasi finansial.

Tentu saja, pemerintah Kagak Mau masyarakat Maju bergantung pada Sokongan sosial. Keluarga Penerima Manfaat (KPM) perlu Maju didorong dan diberdayakan agar segera “lulus” dan Berdikari, sehingga Pandai dikeluarkan dari data penerima Sokongan sosial.

Semakin banyak keluarga penerima manfaat yang beralih ke program pemberdayaan, semakin sukses kinerja pemerintah dalam pemberantasan kemiskinan.

Cek Artikel:  Man City vs Liverpool, Mohamed Salah Mau Klubnya Kembali Pemenang

Selebihnya, kembali pada kesadaran individu dan kekuatan komunitas. Karena sebagus apapun program Sokongan sosial dirancang, jalannya Kagak akan Pandai efektif Apabila si penerima Mempunyai mental miskin.

Tentang mental miskin (poverty mindset) ini sudah dikaji dalam berbagai studi psikologi, ekonomi maupun sosiologi. Mereka yang bermental miskin akan selalu merasa kurang, meski sudah menerima rezeki atau Sokongan, Mau mendapatkan sesuatu tanpa melalui proses kerja keras, pesimis, tergantung pada Sokongan, meskipun sebenarnya Pandai Berdikari, serta sibuk terlihat kaya –alih-alih berusaha menjadi Betul-Betul kaya– dengan membeli barang atas nama gengsi.

Kalau sudah demikian, Kagak heran Apabila Anggaran bansos mengalir ke individu yang sebenarnya Pandai secara ekonomi atau yang Sepatutnya sudah keluar dari daftar penerima karena “Lagi merasa miskin”.

Atau, bansos Bahkan menjadi jembatan menuju ketidakmandirian dan malahan dijadikan sandaran permanen bagi mereka yang enggan berusaha.

Pendidikan moral dan literasi keuangan memang harus ditanamkan sejak Awal. Kita butuh ruang-ruang Obrolan di keluarga, sekolah, bahkan di warung kopi, yang membicarakan nilai dan Derajat, bukan sekadar cuan dan gaya. Literasi ini dibutuhkan Kepada membantu masyarakat “sembuh” dari mental miskin, kemudian masuk ke mental berkelimpahan. 

Satu hal yang musti kita ingat, bahwa kemiskinan materi Pandai diatasi dengan kerja keras dan solidaritas serta bansos sebagai jaring pengaman. Tetapi tak akan Eksis jaring pengaman yang cukup kuat membantu Apabila mental miskin Lagi bercokol dalam paradigma masyarakat.

Sumber : Antara

Mungkin Anda Menyukai