PERTEMUAN tingkat tinggi antarpimpinan negara Member BRICS di Kazan, Rusia, dalam beberapa hari ini, mendapat sorotan antusias dari masyarakat dunia. Itu disebabkan di tengah gejolak peperangan antara Rusia dan Ukraina yang Tetap berlangsung dan sering kali digambarkan sebagai ambisi Putin Buat menghidupkan kembali imperium Soviet sebagaimana tuduhan negara-negara Barat, undangan Rusia sebagai tuan rumah KTT ke-16 BRICS Tak menyurutkan para pemimpin tertinggi negara Member Buat tetap hadir dalam konferensi tersebut.
Yang lebih mengejutkan Tengah, Recep Tayyip Erdogan, Presiden Turki yang sekaligus merupakan negara Member aliansi NATO, serta Sekretaris Jenderal PBB Antonio Gutteres Tak luput hadir di tengah-tengah pemimpin yang lain. Kehadiran mereka di antara para pemimpin BRICS lainnya semakin mengindikasikan bahwa Bunyi BRISC kini Betul-Betul diperhitungkan dalam geopolitik Dunia.
Meski BRICS didapuk sebagai wadah kerja sama ekonomi, dalam perkembangannya, eksistensi BRICS memang sering dikaitkan sebagai simbol institusi negara berkembang Buat melawan Dominasi AS. Selama ini negara-negara berkembang sering merasa dirugikan dengan Variasi kebijakan AS dalam menavigasi tatanan dunia, Bagus secara politik maupun ekonomi.
Dalam politik, AS berkali-kali berakrobat secara berlebihan melalui rekayasa intervensi pergantian rezim di negara berkembang. Sementara itu, secara ekonomi, intervensi AS terekam dalam kebijakan Konsensus Washington yang memaksa negara berkembang mengaplikasikan aturan dan ketentuan yang AS minta sebagai syarat Sokongan ekonomi.
Sebaliknya, praktik-praktik AS yang destruktif terhadap kedaulatan negara Tak ditemukan dalam BRICS. Itulah yang menjadikan pamor BRICS meningkat di antara negara-negara berkembang. BRICS mengutamakan kesetaraan politik dan penghormatan terhadap kedaulatan masing-masing. Makanya, Tak sedikit negara berbondong-bondong mengajukan aplikasi sebagai negara Member, termasuk Indonesia.
MI/Seno
Menurunnya pamor AS
Meningkatnya reputasi BRICS dan menurunnya pamor AS Kalau ditelusuri bersumber dari perilaku AS yang maniak terhadap intervensi. Sebagai satu-satunya superpower pasca-Perang Dingin, AS secara implisit menobatkan dirinya sebagai negara hegemonik yang Mempunyai tanggung jawab besar Buat menavigasi tatanan dunia berdasarkan ideologi demokrasi liberal yang dia anut Demi itu.
Makanya, segera setelah posisi tersebut dicapai, yang ditandai dengan runtuhnya Uni Soviet pada awal 1990-an, AS secepat mungkin melakukan kampanye globalisasi dan demokratisasi besar-besaran ke seluruh dunia. Tetapi, sayangnya, gagasan-gagasan tersebut disebarkan melalui Langkah-Langkah unilateral dan sepihak dengan sedikit intensitas dialog atas sosialisasi-transformasi nilai dengan negara yang dimaksud.
Langkah-Langkah unilateral itu, misalnya, terekam melalui sikap AS yang tak segan-segan menyebarkan ide-ide demokrasi dan globalisasi kapitalismenya melalui Langkah-Langkah invasif seperti perang dan penurunan paksa rezim. Sikap tersebut makin lelet semakin membentuk Watak AS menjadi arogan dan melahirkan persepsi diri semacam perasaan paling Betul dalam kebijakan yang diambil (self-righteous).
Akibatnya, dengan mengkristalnya persepsi dan perilaku unilateral tersebut, lelet laun mendorong kebijakan luar negeri AS semakin brutal dan sembrono, yang secara prinsip malah bertolak belakang dengan nilai dasar demokrasi yang diyakininya.
AS dengan Langkah-Langkah Tak demokratis berhasil mendikte lembaga-lembaga Dunia, Kebiasaan Dunia, dan hukum Dunia di Rendah Penguasaan kepentingan nasionalnya dengan mengabaikan aspirasi dari negara-negara lain, terutama negara-negara berkembang dan negara-negara yang dianggap sebagai rezim nondemokratik menurut penilaian dan kacamata Barat.
Bunyi Dunia south (negara-negara berkembang di bagian selatan dunia) jarang didengar, dan oleh AS, demokrasi sekadar ditimbang berdasarkan Eksis tidaknya pemilu dan kebebasan berbicara di ranah politik domestik, Tak termasuk di arena Dunia.
Paradoks sikap patriot demokrat AS
Konsekuensi logis dari konsep demokrasi yang bias semacam itu semakin membutakan perilaku AS di pentas Dunia. AS Lanjut-menerus membela setiap kepentingan nasionalnya meski melecehkan fondasi dasar nilai demokrasi itu sendiri. Padahal, esensi demokrasi terwujud Demi aspirasi dihargai, perbedaan dihormati, dan kekerasan dihindari, bukan hanya dalam definisi sempit di ruang politik lokal, melainkan juga Dunia.
Ruang dialog dan komunikasi konstruktif ialah jembatan konflik di alam demokrasi, yang sekali Tengah, bukan hanya pada dimensi domestik, melainkan juga Dunia. Siapa pun, karenanya, Demi ini dapat Menonton dengan Terang bagaimana sikap agresif AS terpampang secara terang benderang dalam Mimbar politik dunia.
AS tetap keukeuh (baca: berkeras) membela sekutunya, negara-negara maju di utara, meski perilaku dan sikapnya Tak mencerminkan nilai-nilai patriot yang demokrat. Hal itu tecermin, misalnya, dalam pembelaan AS yang tiada henti atas Israel meski Israel melakukan penyelewengan militer terhadap Kaum sipil di Palestina.
Menyimpangnya peran AS sebagai hegemon satu-satunya sebenarnya secara inheren berakar dari aplikasi nilai-nilai demokrasi yang bias. Akibatnya, penyimpangan-penyimpangan tersebut telah menyebabkan runtuhnya kepercayaan publik dunia serta menimbulkan skeptisme masyarakat Dunia.
Kini, publik Dunia mulai meragukan peran AS dalam menavigasi tatanan dunia yang lebih adil dan beradab. Itu disebabkan Tak Eksis yang Bisa diharapkan dari hegemon tunggal yang sering melontarlan retorika standar ganda dalam setiap fenomena yang terjadi. Bias perspektif AS Tak menggambarkan keadilan yang utuh. Bahkan, opini publik di seluruh dunia kini–Tak hanya terbatas di negara-negara muslim, tetapi juga di negara-negara Eropa sebagai basis sekutu AS–menunjukkan persepsi negatif atas status AS sebagai satu-satunya negara hegemonik.
Hal itu terbukti dengan masifnya protes masyarakat Dunia di belahan dunia atas dukungan tanpa syarat AS terhadap genosida dan serangan Israel di Gaza. Selain itu, Kalau kita meniliki data survei terbaru yang dilakukan oleh Gallup dengan judul US Position in the World, hasilnya berkorelasi dengan fenomena protes massa baru-baru ini. Demi responden ditanya apakah mereka merasa puas atau Tak puas terhadap posisi AS Demi ini, data menunjukkan adanya penurunan Bilangan dari orang-orang yang merasa puas atas posisi AS dari 37% pada 2023 menjadi 33% pada 2024 (Gallup, US Position in the World).
Beberapa Elemen pemicu
Di luar survei yang disajikan Gallup, sebenarnya Eksis banyak Elemen yang menyebabkan turunnya tingkat kepuasan masyarakat Dunia atas peran AS selama ini. Selain akibat dukungannya yang tiada henti terhadap Israel, ketidakrelevanan AS di Mimbar politik Dunia juga tampak dari sikap AS yang memaksakan aturan main dan standar yang Tak adil dalam berbagai lembaga multilateral.
Sebut saja Misalnya kecilnya apa yang terjadi di IMF dan Bank Dunia, yang mana Bunyi dan aspirasi dari negara-negara berkembang sering diabaikan. AS seolah-olah tuli dan buta bahwa dewasa ini sebenarnya banyak kekuatan ekonomi baru. Negara ekonomi baru tersebut, secara GDP telah melampaui negara-negara maju tradisional yang lebih dulu Eksis, sebut saja Tiongkok, India, dan Brasil. Tetapi, AS Tetap enggan melakukan reformasi pembagian kekuatan voting yang adil di dalam lembaga-lembaga tersebut.
Satu hal yang Niscaya penyebabnya, AS sadar bahwa semakin meratanya kekuatan bersuara dalam institusi tersebut, sama saja dengan meregresi kekuatan dan pengaruh AS dalam upayanya mengarahkan kepentingan yang sesuai dengan cita rasa AS. Makanya, dengan tetap menjaga IMF dan institusi multilateral lainnya dalam keadaan pembagian kekuatan voting yang Tak seimbang, yang selama ini telah sukses melayani kepentingan AS, itu merupakan upaya Primer AS Buat Lanjut melestarikan jejak kekuasaannya di seluruh dunia.
Elemen lainnya, yang berkontribusi terhadap menurunnya ketidakpercayaan publik terhadap kebijakan luar negeri AS yang sembrono, tampak dari program rekayasa sosial yang AS lancarkan di banyak Distrik di dunia, khususnya Timur Tengah dan Asia Timur. Juga Tak lupa apa yang AS lakukan Serempak NATO di Eropa Timur. Dengan dalih demokratisasi dan Pemeriksaan rezim otoriter, Distrik-Distrik itu selalu menjadi Sasaran objek kepentingan AS yang kompleks.
Padahal, hakikatnya, Distrik-Distrik tersebut penuh dengan kepentingan material AS, Bagus secara ekonomi maupun militer. Karena itu, AS Lanjut-menerus menyulut Variasi provokasi dan onar di Distrik-Distrik tersebut agar pengaruhnya tetap lestari. Meski akibatnya telah menciptakan kegaduhan politik, yang sebenarnya sangat merugikan jalannya perkembangan ekonomi Dunia.
Sangat Konkret bahwa provokasi dan gangguan yang AS lakukan terhadap negara-negara seperti Tiongkok di Asia Timur, Rusia di Eropa Timur, dan negara Timur Tengah seperti Iran bersumber atas resistansi negara-negara itu melawan arogansi dan kepentingan nasioal AS. Tanpa perlawanan dan tindakan penyeimbangan yang negara-negara tersebut lakukan, mungkin AS telah berhasil menjejakkan tapak imperiumnya dan mendominasi dunia tanpa hambatan apa pun.
Itulah bahaya dari sistem unipolar yang tanpa kontrol. Dunia akan dikendalikan semau dan seenak satu kekuatan dominan. Makanya, kalangan neorealis seperti Waltz dan Mearsheimer percaya, bahwa dunia bipolar adalah sistem ideal bagi terciptanya stabilitas dan perdamaian Karena Eksis dua kekuatan superpower yang saling melakukan penyeimbangan satu sama lain.
Pentingnya keseimbangan tatanan dunia
Karena itu, posisi Tiongkok, India, Rusia, dan negara berkembang lainnya dalam politik Dunia yang terefleksi dalam pembentukan BRISC bukan lain Buat menyeimbangkan blok kekuatan AS plus dengan sekutunya. Upaya itu sangat krusial Buat mewujudkan perdamaian karena kita memerlukan sistem dunia yang lebih seimbang.
Seperti sudah disinggung, untungnya, kini negara-negara yang mengajukan aplikasi keanggotaan terhadap BRICS semakin meningkat dari tahun ke tahun. Sistem dunia yang unipolar dengan segala keganjilannya memang mulai dianggap usang dan ditinggalkan, sementara struktur dunia bipolar dengan kebangkitan Tiongkok mulai disambut banyak negara.
Lebih jauh ke depan, bahkan tanda-tanda dunia yang multipolar perlahan-lahan mulai muncul ke permukaan. Kini, Tiongkok, Rusia, Brasil, India, dan Afrika Selatan bergandengan tangan bahu-membahu Buat menciptakan dunia yang lebih setara dan adil.
Dominasi atas satu negara mesti diakhiri dan AS sudah semestinya menerima takdir baru itu Karena dunia itu Luwes dan sejarah Tak melulu berhenti pada satu waktu. Dunia Lanjut berputar dari hari ke hari, dari satu titik ke titik yang lain.
Dari ragam fakta yang Eksis, siapa pun dan di mana pun kini mulai tersadar bahwa kengototan AS dalam menolak reformasi politik di lembaga multilateral Buat menjadi lebih setara dan adil; ketidaksediaannya Buat berhenti mengintervensi urusan dosmetik negara lain; dukungannya yang bias serta berstandar ganda dalam menyikapi konflik Israel dan Palestina; dan keberpihakannya terhadap negara-negara maju dan sekutunya di utara–ketimbang solidaritas dengan negara-negara berkembang dan miskin di selatan–ialah potongan bukti bahwa tekad AS Buat menciptakan dunia yang damai di Rendah pengaruhnya hanya isapan jempol semata.
Sebaliknya, AS lewat ragam kebijakan politiknya yang sepihak sebenarnya hanya mengupayakan memajukan kepentingannya daripada kepentingan yang lebih luas dari masyarakat Dunia. Karena itu, Tak begitu mengejutkan bila Demi ini pesona politik AS mulai memudar.