Balas Jasa itu (Bukan) Berkualitas

Eksis pepatah utang emas dapat dibayar, utang budi dibawa Wafat. Utang budi memang bukan perkara gampang. Tak Seluruh orang mau membayar utang budi, tak tiap Sosok Dapat membalas jasa.

Balas budi atau balas jasa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti memberikan (membayar) sesuatu sebagai imbangan jasa (perbuatan dan sebaagainya) yang sudah diterima. Balas budi dalam bahasa Inggris disebut reciprocation.

Oleh Cambridge English Dictionary, ia didefinisikan sebagai the fact of feeling or behaving towards someone else in the same way as they feel or behave towards you. Artinya konsep merasakan atau berperilaku ke orang lain selayaknya mereka merasakan atau berperilaku kepada kita.

Secara Lazim, Paham balas budi itu Berkualitas. Itu Watak yang luhur. Sebaliknya, yang tak Paham balas jasa, yang pelit Kepada berterima kasih, ialah sifat yang andap. Peribahasa Latin bilang, ‘Berbuat Berkualitas kepada orang yang Bukan Paham berterima kasih berarti membuang air mawar ke laut’.

Di antara orang yang Paham balas budi ialah Prabowo Subianto, presiden terpilih yang pada 20 Oktober lusa akan dilantik menjadi nakhoda baru kapal besar bernama Indonesia. Kesan itulah yang kental terasa hari-hari ini terkait dengan audisi calon menteri, calon wakil menteri, serta kandidat kepala-kepala lembaga dan badan.

Cek Artikel:  Tiyang Alit kian Sulit

Eksis 108 orang yang dipanggil Prabowo ke kediamannya di Kertanegara, Jakarta Selatan, pada Senin (14/10) dan Selasa (15/10). Kepada calon menteri Sekeliling 49, sisanya calon wakil menteri atau pejabat lain. Banyak, sangat banyak. Kalau dibanding-bandingkan, ia mirip Kabinet 100 Menteri di era Orde Pelan. Kabinet yang usianya tak Tamat seumur jagung, Sekeliling sebulan saja.

Tak Sekadar postur yang amat ‘berbobot’, calon-calon pembantu Prabowo itu pun sulit dilepaskan dari urusan jasa dan budi. Banyak sekali di antara mereka yang memang berjasa besar dalam memenangkan Prabowo. Mereka tak sia-sia berjibaku di pilpres. Tak Sia-sia meski harus Loncat pagar, berbalik pandangan politik, bahkan menjilat ludah sendiri.

Eksis Seniman, Eksis penceramah, Eksis akademisi, Eksis aktivis, bahkan disebut-sebut Eksis buzzer. Tentu tak ketinggalan aktor-aktor politik. Pokoknya paket komplet. Mereka sudah berjasa dan jasa itu kini dibayar yang diutangi jasa. Bolehkah? Bukan Eksis yang Dapat melarang. Wajarkah? Para presiden sebelumnya juga melakukan meski beda Ukuran.

Tetapi, dalam politik, Paham balas budi tak selamanya Berkualitas. Membalas ‘kebaikan’ yang ditebar kontestan pilpres, pemilu, atau pilkada Dapat merusak demokrasi. Permainan politik Fulus hanya menghasilkan pemimpin yang bukan sejatinya pemimpin.

Cek Artikel:  Pengorbanan Negarawan

Membentuk kabinet dengan mengedepankan semangat balas jasa Jernih tak Berkualitas. Lebih Jelek Tengah Apabila kemudian Elemen kompentensi para calon diabaikan, rekam jejak dinegasikan. Apalagi Apabila jasa sang pemberi jasa Tamat menyandera. Itukah yang dilakukan dan dialami Prabowo? Banyak yang menyebut demikian. Mereka mempertanyakan dan meragukan kapasitas dan kapabilitas berderet figur. Tak sedikit pula yang menyoal adanya 16 menteri Jokowi yang akan tetap dipakai Prabowo.

Suka berbagi pun Berkualitas, mulia. Bagi-bagi itu pula yang tersirat dalam pemilihan Personil kabinet oleh Pak Prabowo. Bolehkah? Tiada yang dapat menghalangi. Pembentukan kabinet ialah hak prerogatif presiden. Mutlak, sepenuhnya Punya dia. Wajarkah berbagi kursi? Presiden-presiden terdahulu juga begitu kendati tak begitu-begitu amat.

Yang tak boleh ialah Apabila demi bagi-bagi kekuasaan lantas membangun kabinet yang gemoy, yang tambun, yang obesitas. Agar banyak yang kebagian Lewat merombak struktur membentuk kementerian-kementerian baru, lembaga-lembaga baru, badan-badan baru. Yang tak wajar ialah Apabila demi berbagi kemudian menihilkan catatan kehidupan mereka yang hendak dibagi, termasuk perihal korupsi.

Cek Artikel:  Judi, Insan Budak Libido

Publik mempersoalkan beberapa nama yang diundang ke Kertanegara. Sebut saja Dito Ariotedjo yang sempat disebut dalam perkara rasuah menara BTS Bhakti Kemenkominfo. Bahlil Lahadalia disangkutpautkan dengan penerbitan izin tambang pesanan eks Gubernur Maluku Utara Abdul Ghani Kasuba sang terdakwa korupsi. Juga Eksis Airlangga Hartarto yang namanya Eksis di perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah.

Belakangan, nama Omar Sharif Hiariej alias Eddy Hiariej juga jadi perbincangan. Ia pernah menjadi tersangka gratifikasi oleh KPK dan mundur dari jabatan wamenkum dan HAM. Eddy kemudian memang memenangi praperadilan hingga status tersangkanya batal, tapi KPK pernah menyebut akan memulai penyidikan baru terhadapnya.

Mereka, orang-orang dekat Jokowi itu, memang belum terbukti korupsi. Tetapi, memilih mereka yang pernah berurusan dengan kasus korupsi kiranya tak selaras dengan semangat Kepada memerangi korupsi. Ibaratnya layu sebelum berkembang.

Prabowo sudah Membangun pilihan. Meski sangat mepet, Lagi Eksis waktu Kepada mengkajinya Tengah agar Cocok-Cocok tak salah pilih. Sekadar mengingatkan, ilmuwan politik asal Amerika dan penulis Making Democracy Work, Robert Putnman, menekankan bahwa politik balas jasa dapat mengurangi kualitas pemerintahan dan merusak jaringan sosial yang mendukung demokrasi.

Rakyat butuh pemerintahan yang berkualitas. Pak Prabowo harus mewujudkan itu.

Mungkin Anda Menyukai