Balas Dendam Hak Iran, tapi Langkahnya Bagaimana

Balas Dendam Hak Iran, tapi Caranya Bagaimana
(Dok. Wikipedia)

NAHAS benar nasib Presiden Iran Massoud Pezeshkian, sebelum menikmati hari-hari usia pelantikan, justru yang datang ialah malapetaka: Ismail Haniyeh, pemimpin Hamas dan tamu kehormatannya dibunuh oleh musuhnya, Israel, di depan matanya di Teheran.

Kini semua mata mengarah kepada Pezeshkian, seorang politikus moderat yang terpilih sebagai presiden di negara yang secara politik diatur oleh sejumlah elemen konservatif.

Dalam statusnya setelah diambil sumpah, Pezeshkian bukan hanya menjadi pemimpin Iran, tapi juga pemimpin sebuah aliansi yang disebut Poros Perlawanan. Poros Perlawanan ini merujuk kepada sebuah aliansi beberapa negara, seperti Iran dan Suriah, ditambah beberapa aktor non-negara, yang di antaranya Hamas, Gerakan Houthi di Yaman, dan yang terkenal ialah Hezbollah di Libanon selatan.

Baca juga : Pembunuhan Ismail Haniyeh tidak Perlunak Syarat Negosiasi Hamas dengan Israel

Padanannya di sisi lain ialah Aliansi Payung Washington, sebuah aliansi dari beberapa negara di jazirah Arab yang terkait hubungan militer dan ekonomi dengan AS. Aliansi ini terdiri atas Israel, negara-negara Arab monarki, dan Mesir. Sebagai pemimpin sebuah aliansi, keputusan Pezeshkian itu menjadi menentukan karena selain keputusan itu akan berpengaruh pada soliditas aliansi tersebut, juga akan berpengaruh terhadap situasi kawasan itu.

Di barisan Poros Perlawanan, Hamas telah mengungkapkan rasa kecewanya kepada Iran, yang menganggap pemimpin negara tersebut gagal memberi perlindungan kepada Haniyeh. Sebuah ungkapan kekecewaan yang tak dapat disalahkan karena Iran pelindung dan pemegang kendali aliansi itu.

Dalam strategi poros ini, Iran memegang peran sentral kebijakan Poros Perlawanan. Karena peran sentral ini, Iran harus memiliki kapasitas deterrence terhadap serangan Israel atau Amerika, baik ditujukan kepada Iran maupun kepada anggotanya poros. Sebaliknya, para anggota akan memberi dukungan penuh kepada Iran jika negara tersebut menghadapi kesulitan, misalnya kesulitan seperti diberlakukan sanksi ekonomi oleh negara-negara Barat. Strategi deterrence Iran untuk melindungi sekutunya sejauh ini memang jauh dari efektif. Tapi perlu diingat, kehadiran poros ini semakin hari semakin memengaruhi wajah Timur Tengah. Rusia dan Tiongkok mengganggap keadiran poros tersebut relevan dan penting.

Cek Artikel:  Pencatatan Perkawinan dan Ide KUA Inklusi

Baca juga : Nasib Netanyahu dan Palestina Pascaperang

Di tengah sikap kecewa Hamas ini, Iran pasti ingin mengembalikan kredibilitasnya. Inilah menjadi fokus perhatian dunia terhadap kemungkinan keputusan yang dilakukan pemimpin baru Iran tersebut.

Dalam struktur kekuasaan Iran, di posisi puncak ada Pemimpin Tertinggi Ali Khamenei. Ia tidak banyak mencampuri urusan pemerintahan sehari-hari. Tapi semua mengetahui, tidak ada keputusan yang diambil kepala pemerintahan Iran yang tidak mempertimbangkan sikap Khamenei. Loyalp presiden di Iran pertama dan utama harus mempertimbangkan Khamenei, kemudian baru masuk kepada isu power sharing dengan kelompok atau tokoh lainnya.

Terdapat dua kelompok yang berpengaruh setelah Pemimpin Tertinggi Ali Khamenei di Iran, yaitu Majelis Wali dan Pengawal Revolusi Iran (IRGC). Majelis Wali ini, yang beranggotakan 12 orang, memiliki tugas hampir sama dengan Mahkamah Konstitusi (MK) di Indonesia, tapi memiliki wewenang lebih luas seperti tugas melakukan penyeleksian terhadap calon presiden dan calon anggota parlemen. Berdasarkan pengalaman, Majelis Wali ini banyak mendiskualifikasi calon presiden dan calon anggota parlemen yang tidak sesuai dengan kriteria dan posisi politik mereka. Hingga saat ini majelis ini masih dikuasai oleh para ulama dan ahli fikih yang sangat konservatif.

Baca juga : Yahya Sinwar dan Timur Tengah yang Berubah

Karena konservatisme inilah mungkin yang membuat Majelis Wali ini sangat dekat dengan kelompok konservatif berpengaruh yang kedua yakni IRGC. IRGC ini merupakan lembaga militer yang dibentuk untuk melindungi Revolusi Iran dan bertanggung jawab langsung kepada pemimpin tertinggi. Kedua lembaga ini bahu membahu memengaruhi kebijakan politik dan isu-isu penting nasionalnya.

Haniyeh sejatinya adalah tamu kehormatan Iran di bawah perlindungan IRGC. Pembunuhan terhadap Haniyeh merupakan pukulan personal bagi Pezeshkian, dan tentu saja pukulan paling telak bagi IRGC. Semula orang menduga Haniyeh tewas karena rudal. Tapi kini ada laporan pers yang menyebutkan, Haniyeh tewas karena bom yang ditanam di kamarnya, di sebuah guest house utama di Taheran. Bom tersebut diselundupkan oleh agen Israel ke Iran sejak dua bulan lalu.

Cek Artikel:  Menghirup Kecubung Pemberantasan Korupsi

Maka, dalam situasi krusial ini, sangat menarik untuk melihat reaksi Pezeshkian: apakah ia akan menerima permintaan internasional agar mau menahan diri untuk terjadi terjadi eskalasi militer, atau akan melakukan pembalasan dengan menyerang langsung ke wilayah Israel. Indikasi serangan balasan sudah terlihat setelah Khamenei mengatakan, “Darah dibalas oleh darah.”

Baca juga : Perang di Poros Perlawanan

Kalau memang akan dilakukan rencana serangan ‘darah dibalas darah’ ke Israel, satu yang paling jelas bahwa Pezeshkian bukan faktor di situ. Elemennya ialah Khamenei dan IRGC. Rencana serangan balasan tersebut akan direncanakan oleh kelompok garis keras Iran, dan selama ini Pezeshkian tidak pernah menjadi orang dalam di kelompok ini.

Kini, pertanyaannya, bagaimana skenario serangan balasan Iran tersebut dapat dilaksanakan, apakah Iran akan menyerang langsung ke Israel atau Iran akan menggunakan froksinya? Kalau melancarkan serangan langsung, seperti yang dilakukan pada April lalu, siklus dari serangan itu dan counterstrike dapat dengan mudah terjadi eskalasi. Israel yang sudah sangat waspada akan mencegat serangan rudal dan drone Iran dengan bantuan Amerika. Kemudian, untuk kali ini, Amerika dan Israel akan menyerang langsung Iran sebagai counterstrike. Sebaliknya, Iran sudah pasti tidak akan menyerbu Israel karena langkah itu lebih memberikan keuntungan militer bagi Israel.

Eksis dugaan, Iran akan menggunakan proksinya yang potensial yakni Hezbollah di Libanon selatan dan Gerakan Houthi yang beroperasi di Yaman. Hezbollah akan menyerang dari sebelah utara Israel, dan Hounthi akan menyerang dari Laut Merah. Dengan demikian, Laut Merah akan menjadi kancah. Kalau jalur pelayaran sibuk dan sangat vital bagi Israel itu menjadi kancah, Amerika akan terjun untuk mengamankan jalur tersebut. Maka, efektifnya serangan Houthi mungkin akan terbatas.

Cek Artikel:  Belajar Humor dari Politisi

Paling diperhitungkan ialah kekuatan Hezbollah, yang posisi mereka bersebelahan dengan Israel. Hezbollah, yang selama ini menjadi tumpuan penyaluran senjata Iran, memiliki pengalaman tempur cukup lama menghadapi Israel. Quasi negara ini mampu memecah konsentrasi Israel.

Tapi strategi Israel ialah manarik Libanon, bukan hanya Libanon selatan, ke dalam pertempuran. Israel akan menyerang sampai Beirut, baik dengan pesawat tempur maupun dengan rudalnya serta akan memberi kerusakan besar di tempat-tempat penting dan padat penduduk di Libanon. Dalam situasi tersebut, akan muncul pihak-pihak, terutama kelompok Suni Libanon yang dipimpin keluarga Hariri untuk mempersalahkan Hezbollah.

Dengan mengamati keadaan lapangan seperti itu, maka Iran tidak akan memutuskan serangan ke Israel secara tergesa-gesa. Teheran, selain mengkaji secara dalam siklus dan akibat serangan tersebut, juga akan melakukan konsultasi dengan Rusia dan Tiongkok. Sikap Rusia dan Tiongkok akan menentukan keputusan Iran.

Tapi satu hal menguntungkan Poros Perlawanan: sentimen rakyat Timur Tengah. Pembunuhan yang melampaui batas-batas hukum perang terhadap orang Arab di Gaza telah menimbulkan gelombang anti-Israel dan Amerika yang luar biasa tingginya. Satu orang saja tentara Israel tewas di Gaza, maka segera gelombang sukacita melanda jalan-jalan Timur Tengah.

Tetapi, gelombang sukacita tidak sering terjadi, justru yang terjadi ialah gelombang kesedihan. Sedih terhadap kematian saudara-saudara mereka di Gaza, dan sedih dengan harga diri bangsa Arab yang terinjak. Mereka menjadi bangsa yang tidak berdaya setelah semua ketergantungan politik, ekonomi bangsa Arab hanya kepada Amerika.

Maka, jika Poros Perlawanan kali melakukan langkah besar dan dramatis, tidak ada rakyat Timur Tengah yang mencelanya. Kekuatan rakyat, secara bergelombang, akan mencari jalur ke Israel untuk membela harga diri mereka.

 

Mungkin Anda Menyukai