KABINET Kerja Jokowi segera memasuki babak kedua. Lima tahun pertama sudah dilalui dengan segala plus-minusnya. Pada 20 Oktober 2019, Jokowi dan KH. Ma’ruf Amin dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Setelah itu, tentu agendanya membentuk kabinet yang akan membantu presiden dalam menjalankan amanah kekuasaan yang sudah dimandatkan oleh rakyat Indonesia melalui pemilu.
Ibarat sebuah drama, babak kedua itu merupakan puncak cerita dari segala daya upaya mewujudkan harapan dan menunaikan janji yang telah diikrarkan. Sekaligus fase menentukan dalam ujian kesejarahan Jokowi dalam berkhidmat kepada rakyat Indonesia. Apakah hanya akan dikenang sebagai presiden biasa-biasa saja atau justru akan meneguhkan legacy Jokowi sebagai pemimpin transformasional yang banyak menorehkan perubahan.
Momentum utama
Periode kekuasaan dalam sistem demokrasi dibatasi untuk menghindari tendensi kekuasaan absolut. Konsep kekuasaan bukanlah kepemilikan, melainkan harus diletakkan sebagai cara untuk menunaikan tanggung jawab memenuhi harapan rakyat yang telah memilih.
Merujuk ke pandangan ilmuan Paul-Michel Foucault, dalam tulisannya Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972–1977 (1980) bahwa kekuasaan kerap kali dipahami secara keliru, yakni sebagai kapasitas agen untuk memaksakan kehendaknya atas kehendak orang atau pihak yang tak berdaya. Kemampuan memaksa orang lain agar melakukan hal-hal yang tak mereka inginkan.
Dalam konteks inilah, kekuasaan diposisikan sebagai kepemilikan. Kekuasaan bukanlah sesuatu yang dimiliki, melainkan sebagai cara bertindak dan memanifestasikan diri melalui cara tersebut. Intinya, kekuasaan lebih merupakan strategi jika dibandingkan kepemilikan. Tentu
sebagai strategi kekuasaan harus dimaksimalkan untuk mewujudkan harapan dan cita-cita bersama.
Periode kedua dapat menjadi momentum utama bagi kabinet Jokowi bekerja untuk rakyat, bukan sekadar menyenangkan sekelompok kecil elite yang kerap mamaksakan kehendak atas nama otoritas yang dimiliki mereka.
Secara umum ada tiga harapan penulis untuk kabinet Jokowi babak kedua. Pertama, kabinet sudah seharusnya diisi oleh jajaran menteri yang berintegritas, mempupunyai basis kompetensi yang memadai dalam bekerja dan kepemimpinan, serta memiliki kemampuan mengelola jaringan komunikasi lintas sektoral karena bagaimanapun menteri ialah jabatan politik. Tak relevan lagi, apakah menteri berlatarbelakang politisi partai atau kelompok nonpartai. Bukan persentase mana yang lebih banyak antara politisi dan nonpolitisi, melainkan seperti apa kriteria orang-orang yang dipilih.
Dugaan saya, presiden punya matriks kebutuhan yang dapat memetakan apa-apa saja yang diinginkan dalam arus besar perubahan yang dikehendaki lima tahun ke depan. Partai-partai maupun organisasi massa bukan semata-mata mengirim orang dalam konteks politik representasi, melainkan harus memilih kader terbaiknya yang bisa memenuhi standar integritas, kompetensi dan jaringan dalam matriks kebutuhan tersebut. Debat dikotomis soal menteri dari parpol dan profesional tak lagi relevan.
Kedua, performa komunikatif kabinet. Pacanowsky dan O’Donnell dalam bukunya Communication and Organizational Culture (1982), terdapat lima performa yang harus selalu optimal dikelola. Performa menggambarkan proses simbolik dari pemahaman akan perilaku manusia dalam sebuah organisasi. Eksis lima indikator dalam mengevaluasi performa komunikatif, yakni performa ritual, hasrat, sosial, politis, dan enkulturasi. Apabila tidak mampu menyinergikan kelimanya, performa komunikatifnya akan buruk.
Performa komunikatif ini menjadi sangat penting perannya dalam membangun kepercayaan publik pada kabinet Jokowi. Birokrasi yang tak ditunjang dengan performa komunikatif yang baik akan melahirkan banyak persoalan. Misalnya, tidak mampu mengelola tekanan yang datang dari ragam kepentingan. Menteri kerap salah mengeluarkan pendapat di muka publik, tidak ada narasi tunggal pemerintah sehingga satu menteri dan menteri lain berbeda pandangan terutama dalam menyikapi satu kebijakan publik yang sama.
Kebijakan publik tertentu boleh diambil pemerintah karena punya otoritas untuk itu. Clarke E Cochran dalam American Public Policy: Introduction (1999), menyebutkan kebijakan publik adalah hasil (outcome) dari pertarungan dalam pemerintahan sehingga seseorang mendapatkan sesuatu (who gets what).
Lahirnya sebuah kebijakan tentu tidak di ruang hampa, ada pergulatan, ada dialektika, bahkan mungkin pertarungan nilai, gagasan, dan kepentingan. Akan tetapi, saat kebijakan diambil dan sudah menjadi ‘barang jadi’, pemerintah harusnya memiliki pandangan dan sikap yang sama, tidak membingungkan rakyat yang terdampak kebijakan.
Ketiga, kabinet Jokowi-Ma’ruf Amin sudah seharusnya benar-benar memprioritaskan semangat antikorupsi. Jangan menolerir setiap upaya yang dilakukan pihak mana pun yang berupaya melemahkan upaya-upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Apabila kita baca data Corruption Perception Index (CPI) dari Transparansi Dunia, pada lima tahun terakhir justru Indonesia cenderung stagnan. Skor CPI Indonesia dari tahun 2015-2018 berturut-turut adalah 36, 37, 37, dan 38.
Padahal pimpinan KPK 2015-2019 menargetkan skor Indonesia akan mencapai angka 50. Hal ini, menjadi pesan kuat bahwa di balik adanya upaya positif antikorupsi serta perhatian yang meningkat pada korupsi di sektor swasta dan korupsi politik, penegakan hukum di bidang korupsi masih menjadi ancaman nyata di Indonesia. Tata kelola pemerintahan harus protransparansi dan memiliki sistem pengawasan yang kuat, bukan pengawasan yang asal-asalan.
Komposisi kabinet
Secara kelembagaan, sepertinya postur kabinet Jokowi akan terdiri dari 32 hingga 34 pos kementerian di luar lembaga setingkat kementrian. Nomenklatur baru yang berpotensi muncul di Kabinet Kerja Jilid II, antara lain Kementerian Investasi yang sangat mungkin digabung dengan BKPM. Eksis juga Kementerian Digital dan Ekonomi Kreatif. Mungkin juga ada yang berubah, misalnya, Kementerian Kehutanan yang disandingkan dengan Agraria dan Tata Ruang.
Di babak kedua ini juga diprediksi akan muncul jabatan-jabatan baru. Sebut saja Pusat Legislasi Nasional, Lembaga Ekonomi dan Keuangan Syariah, Badan Manajemen Pengembangan Bakat, Otorita Pemindah an Ibu Kota, Badan Perpajakan dan Pendapatan Nasional, dan Badan Pembangunan Destinasi Periwisata Nasional.
Sementara kalau berbicara soal siapa yang mengisi, Jokowi diprediksi akan memaksimalkan kombinasi politisi dan profesional nonpartai, para menteri yang berusia senior, dan memasukkan sosok-sosok muda.
Perihal sosok muda, ada dua kemungkinan polanya. Pola pertama, anak-anak muda yang dipilih sangat mungkin diposisikan di sejumlah pos wakil menteri. Sebagai upaya, Jokowi mengakomodasi kebutuhan strategis perubahan zaman yang mana anak-anak muda sudah saatnya mulai diberi kesempatan.
Pola lainnya, anak-anak muda yang masuk ke kabinet Jokowi babak kedua ini kemungkinan besar ialah orang-orang yang punya jaringan kuat ke partai politik koalisi pendukung. Karena itu, kehadiran mereka tetap menggambarkan politik akomodasi dan representasi proporsionalitas partai. Jangan heran, jika anak-anak muda yang masuk ke kabinet, juga lebih banyak menggambarkan konfigurasi dukungan politik parpol.
Konfigurasi Kabinet Jokowi Jilid II, seperti sebelum-sebelumnya berpotensi mengakomodasi jangkar-jangkar kekuatan politik yang ada di masyarakat, yakni representasi wilayah, organisasi massa keagamaan besar, dan khalayak kunci. Menteri Jokowi berpeluang diisi oleh sosok yang merepresentasikan Indonesia bagian Timur. Ormas keagamaan NU dan Muhammadiyah kembali akan menjadi bahan pertimbangan politik keseimbangan. Selain itu, ada orang-orang dari khalayak kunci pengusaha, militer, dan organisasi kepemudaan.
Memperbaiki komunikasi
Salah satu yang semestinya diperbaiki Jokowi di babak kedua ialah komunikasi pemerintahan. Berkualitas komunikasi Presiden, Istana, maupun kementerian harus sinergis, jangan bersifat sporadis.
Loyalp hari tantangan datang bergelombang baik domestik maupun internasional. Situasi dinamis harus direspons dengan cepat dan tepat. Oleh karenanya, Istana harus mulai memikirkan komunikasi kelembagaan secara lebih komprehensif. Pertama, Presiden Jokowi sudah seharusnya memiliki juru bicara yang handal.
Secara praktis, Jubir Presiden dapat dibagi untuk menangani persoalan domestik dan internasional. Presiden jangan selalu berada dalam atmosfer polemik opini publik akibat minimnya orang-orang sekitar presiden yang memainkan fungsi spoke person. Komunikasi presiden bersifat resmi (offi cial), memberi arahan (directional), dan presidential. Kagak harus semua persoalan selalu presiden yang menjawab atau memberi pernyataan.
Kedua, tata kelola komunikasi pemerintah harus diperbaiki lagi. Hal ini menjadi penting di tengah era revolusi teknologi komunikasi seperti terjadi sekarang ini. Meminjam istilah John Keane dalam The Humbling of the Intellectual (1998), saat ini muncul era keberlimpahan komunikasi (communicative abundance), terutama informasi politik yang setiap saat menerpa khalayak.
Kanal-kanal warga, termasuk dinamika isu di media massa luar biasa ramainya. Komunikasi pemerintah sering kali kalah langkah dari dinamika perbincangan dan kecepatan media massa serta media sosial membagi informasi. Sebagus apapun program yang dikerjakan pemerintah dan seserius apapun kabinet bekerja tak akan pernah punya gema positif di khalayak jika pengemasan pesan pemerintahnya buruk.
Persoalan hulu komunikasi pemerintah ialah SDM dan sistem. Perlu mulai diimplementasikan PR pemerintah (government public relations) yang terkoordinasikan secara baik. Faktanya di periode pertama, meskipun sudah ada Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Pahamn 2015 tentang Pengelolaan Komunikasi Publik yang ditandatangani oleh Jokowi pada 25 Juni 2015, realitasnya inpres tersebut belum optimal dilaksanakan.
Kabinet Jokowi babak kedua, butuh menyeimbangkan antara kerja dan komunikasi atas kinerja. Selamat membentuk kabinet di babak kedua, semoga bisa memenuhi harapan rakyat, bukan semata-mata menyenangkan sekelompok elite saja.