DALAM dunia pendidikan di negeri ini, Eksis ungkapan yang telah tertanam berpuluh-puluh tahun dan Enggak berubah hingga kini, yakni ganti menteri, ganti kebijakan, ganti kurikulum, ganti Kitab. Kondisi tersebut Maju berulang setiap kali rezim berganti. Juga sudah dianggap hal yang lumrah atau take it for granted.
Ganti kebijakan sebenarnya oke-oke saja. Asal, kebijakan baru itu Pandai Memajukan level maslahat bagi rakyat. Akan tetapi, bila yang muncul selalu mudarat, kondisi tersebut Pandai berdampak serius terhadap masa depan generasi di negeri ini, terutama dalam dunia kerja.
Kurikulum, kebijakan, dan Kitab yang Maju berganti Pandai saja Membangun dunia pendidikan kita Enggak Pandai selaras dengan kebutuhan dunia kerja (mismatch). Eksis gap antara kebutuhan dunia kerja dan kemampuan angkatan kerja.
Akibatnya, tingkat pengangguran di level S-1, diploma, dan SMA jauh lebih tinggi Kalau dibandingkan dengan level sekolah dasar. Hal itu terlihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2025, yang menunjukkan jumlah angkatan kerja di Indonesia mencapai 153 juta orang. Dari jumlah tersebut, 145 juta telah bekerja, sedangkan 7,28 juta Tetap menganggur.
Kalau dirinci menurut tingkat pendidikan, Bilangan pengangguran dari lulusan universitas mencapai 1 juta orang, diploma sebanyak 177 ribu orang, lulusan SMK sebesar 1,6 juta orang, SMA 2 juta orang, serta 2,4 juta orang dari lulusan SMP dan SD.
Memang, secara jumlah, Bilangan pengangguran di level SMP dan SD lebih tinggi. Tetapi, secara persentase, tingkat pengangguran di kalangan lulusan SMK dan jenjang diploma (D-1, D-2, dan D-3) Bahkan lebih tinggi. Lulusan perguruan tinggi Ketika ini yang diserap pasar kerja hanya Sekeliling 10,5%, jauh lebih rendah Kalau dibandingkan dengan lulusan pendidikan dasar (SD ke Rendah) yang mencapai 40%-50%.
Yang menjadi paradoks, tingginya tingkat pengangguran di level perguruan tinggi tersebut terjadi di Ketika Bilangan pengangguran terbuka Bahkan menurun. Data BPS menunjukkan tingkat pengangguran terbuka (TPT) nasional pada 2024 turun menjadi 4,91%, lebih rendah daripada tahun 2023 yang sebesar 5,32% dan 2022 dengan 5,86%.
Tingginya tingkat pengangguran di level perguruan tinggi tersebut tentu harus diatasi pemerintah secepatnya. Kalau Enggak, kondisi itu dikhawatirkan bakal memicu terjadinya ledakan pengangguran elite. Alasan, saban tahun, lulusan sarjana yang dihasilkan di Indonesia Sekeliling 1,8 juta hingga 1,9 juta orang.
Buat mengatasi Enggak adanya link and match antara sistem pendidikan nasional dan kebutuhan dunia kerja tersebut, pemerintah semestinya segera menciptakan sistem pendidikan nasional yang selaras dengan dunia kerja. Pemerintah harus membangun ekosistem pendidikan yang terintegrasi, meliputi aspek proses produksi (pendidikan), penyerapan tenaga kerja, serta peningkatan kompetensi melalui upskilling dan reskilling.
Pemerintah juga harus Membangun cetak biru pendidikan jangka panjang yang selaras dengan industri. Setidaknya Buat 25 hingga 50 tahun ke depan, bukan Tengah sistem pendidikan yang semusim atau satu rezim. Hapuskan istilah ‘ganti menteri’ ganti kebijakan’ yang bersifat asal ganti.
Kalau memang kebijakan harus diganti atau dibongkar, pastikan itu dilakulan Buat menyambung mata rantai yang putus antara dunia pendidikan dan lapangan pekerjaan, bukan dilakukan atas dasar suka-suka.

