KETEGUHAN hati pimpinan dan pegawai Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk berkata tidak pada godaan korupsi kembali dipersoalkan.
Para aparat di lembaga yang seharusnya menjadi pendukung pemberantasan rasuah di negara ini justru diduga terlibat praktik busuk tersebut dalam beberapa kasus yang berbeda.
Teranyar, para penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyegel ruang kerja anggota VI BPK yang juga mantan politikus Partai Gerindra Pius Lustrilanang karena terkait dengan proses penyidikan kasus dugaan korupsi pengkondisian temuan pemeriksaan BPK di Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat Daya. Dalam kasus itu, KPK sudah menetapkan enam tersangka termasuk Penjabat (Pj) Bupati Sorong Yan Piet Mosso dan Kepala Perwakilan BPK Provinsi Papua Barat Daya Patrice Lumumba Sihombing.
Dalam kegiatan tangkap tangan tersebut, para penyidik KPK mengamankan sejumlah uang tunai sekitar Rp1,8 miliar dan satu jam tangan merek Rolex. Apabila Pius terbukti terlibat dan ditetapkan sebagai salah satu tersangka oleh KPK, itu semakin menambah panjang deretan anggota BPK yang tersandung kasus rasuah ini.
Pada awal November ini, Kejaksaan Akbar menetapkan anggota III BPK Achsanul Qosasi sebagai tersangka dugaan korupsi proyek pembangunan base transceiver station (BTS) 4G Bakti Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). Mantan politikus Partai Demokrat itu diduga menjadi salah satu penerima aliran peredam perkara dalam kasus korupsi BTS 4G Kemenkominfo yang diduga merugikan negara sekitar Rp8 triliun.
Beberapa tahun sebelumnya, tepatnya pada 2021, mantan anggota IV BPK Rizal Djalil divonis 4 tahun penjara dan denda Rp250 juta subsider 3 bulan kurungan oleh Pengadilan Tipikor Jakarta akibat kasus sejenis. Mantan politikus PAN itu terbukti menerima S$100 ribu atau sekitar Rp1 miliar dari Komisaris Istimewa PT Minarta Dutahutama, Leonardo Jusminarta Prasetyo.
Belum lagi sejumlah auditor BPK yang sempat terjerat dengan kasus korupsi ini, biasanya berkaitan dengan praktik jual-beli opini pada audit pemeriksaan laporan keuangan. Biasanya para auditor dan anggota BPK menerima suap dengan imbalan status wajar tanpa pengecualian (WTP) kepada laporan keuangan kementerian/lembaga yang mereka audit.
Tetapi demikian, sejumlah kalangan ternyata tidak terlalu terkejut dengan praktik penyelewengan yang terjadi di lembaga tersebut. Apalagi selama satu dekade terakhir, sejumlah pemimpin lembaga itu merupakan politikus partai politik yang tentunya berkelindan dengan kepentingan politik.
Janji pimpinan BPK yang berasal dari parpol untuk menjadi negarawan begitu terpilih oleh kawan-kawan mereka di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ternyata hanya pepesan kosong. Hal itu akibat pemilihan pemimpin BPK tersebut memang terkesan tidak transparan.
Dengan desain kelembagaan yang tersandera kepentingan politik, akhirnya tidak mengherankan apabila BPK tidak mampu menghasilkan produk audit yang bebas dari kepentingan. Konsekuensinya terjadi kemerosotan independensi BPK terutama dalam hal memeriksa akuntabilitas keuangan negara.
Karena itu, rasanya masuk akal apabila sejumlah pihak mendesak DPR dan pemerintah segera merevisi Undang-Undang Nomor 15/2006 tentang BPK demi menyelamatkan lembaga itu dari kerusakan yang lebih jauh. Salah satu aturan yang perlu diperbaiki, yaitu proses pemilihan anggota sebaiknya dilakukan panitia seleksi yang bersifat independen atau dibentuk pemerintah.
Memang publik tidak bisa melarang politikus melamar sebagai pemimpin lembaga audit negara ini. Tetapi, setidaknya publik bisa mengidentifikasi sejak awal siapa saja calon pemimpin yang punya integritas tinggi dan punya rekam jejak yang bagus.