Ilustrasi. Foto: Medcom.id
Jakarta: Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) menolak tegas Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektrik.
RPMK yang merupakan aturan pelaksana dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Mengertin 2024 itu, mengatur kemasan rokok polos (plain packaging) tanpa merek.
Ketua umum GAPPRI Henry Najoan mengatakan, bisnis industri hasil tembakau (IHT) legal nasional sudah berjalan hampir satu abad. Hingga saat ini masih berjalan dengan baik hingga membentuk mata rantai dari hulu ke hilir melibatkan masyarakat lokal.
Apalagi, saat ini pengusaha rokok juga telah diawasi dan diatur dengan lebih dari 480 peraturan yang ketat, baik sisi fiskal maupun nonfiskal yang meliputi peraturan daerah, bupati, wali kota, gubernur, sampai kementerian dan perundang-undangan.
“Ratusan aturan (heavy regulated) yang membebani IHT legal nasional layaknya BUMN yang dikelola swasta,” kata Henry dikutip dari keterangan tertulis, Rabu, 2 Oktober 2024.
Terbitnya PP 28/2024 pada 26 Juli lalu terus menuai penolakan dari sejumlah stakeholders, termasuk ekosistem pertembakauan. Kemudian, muncul RPMK yang semakin menuai berbagai reaksi serupa.
“Aturan tersebut inkonstitusional dan tidak melibatkan semua pihak terkait seperti kementerian terkait, para pelaku usaha, pekerja, dan petani dalam penyusunannya,” ketus Henry.
Industri rokok makin tercekik
Menurut dia, kebijakan yang diatur dalam PP 28/2024, khususnya mengenai penerapan kemasan polos (plain packaging), dinilai akan berdampak negatif terhadap industri rokok, terutama untuk rokok kretek yang menguasai pasar sebesar 75 persen di Indonesia.
Henry Najoan bahkan meyakini, kemasan polos akan memicu maraknya peredaran rokok ilegal karena identitas produk akan sulit dikenali, sehingga konsumen beralih ke produk ilegal yang lebih murah.
“Kemasan polos ini tentu akan mempengaruhi seluruh pelaku industri tembakau, namun yang menjadi kekhawatiran utama kami adalah dampak dari persaingan tidak sehat dan maraknya rokok ilegal,” ujar dia.
Data Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan, total tenaga kerja yang menggantungkan hidupnya di sektor IHT sebanyak 5,98 juta orang, mulai dari buruh, petani tembakau, petani cengkeh, dan sektor terkait lain.
“Mereka terancam dengan kebijakan itu sehingga akan menciptakan kemiskinan baru,” kata Henry.
Merujuk kajian GAPPRI, aturan kemasan polos merupakan duplikasi dari Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). “Kalau diimplementasikan akan memperburuk situasi dengan semakin meningkatkan daya tarik rokok ilegal,” papar Henry.
(Ilustrasi industri rokok. Foto: dok MI/Panca Syurkani)
Pemerintah wajib lindungi IHT
Sementara, anggota DPR RI periode 2024-2029 Mukhamad Misbakhun mengingatkan para pengambil kebijakan negara jangan sampai terkooptasi oleh agenda-agenda global yang ingin menginfiltrasi kelangsungan ekosistem tembakau yang mempunyai peran strategis bagi negara, seperti dorongan aksesi FCTC, terbitnya PP 28/2024, dan RPMK.
“Proses membajak kebijakan negara yang seperti itu harus diluruskan,” tegas Misbakhun.
Misbakhun meminta pemerintah melindungi IHT, utamanya rokok kretek di tanah air dari intervensi asing. Apalagi, industri ini sebagai salah satu penyumbang penerimaan negara terbesar. “Jangan sampai kita diinjak oleh konspirasi global yang menginfiltrasi kebijakan nasional untuk kepentingan pihak tertentu,” imbuh dia.
Politisi partai Golkar itu melanjutkan, IHT tidak hanya berhubungan dengan sektor kesehatan, tapi juga sektor lainnya yang berhubungan, mulai dari industri, pertanian, hingga tenaga kerja atau buruh. Misbakhun menilai, rokok kretek seperti sigaret kretek tangan (SKT) yang menjadi ciri khas rokok Indonesia, perlu mendapat perhatian yang lebih dari pemerintah.
Terdapatnya pertarungan ideologis antara anti rokok dengan pendukung sektor pertembakauan ini menjadi sangat diametrikal. Negara, di mata Misbakhun, juga tidak adil.
“Saya mengharapkan ada upaya-upaya yang lebih obyektif dan komprehensif melihat ekosistem pertembakauan di Indonesia dengan meninjau ulang berbagai regulasi yang diskriminatif terhadap kelangsungan iklim usaha ekosistem pertembakauan,” sebut dia.