GELOMBANG kedatangan warga etnik Rohingya dari Myanmar kini mulai bikin pening kepala pemerintah Indonesia. Bingung karena ekonomi Indonesia saat ini masih belum pulih seusai dihantam pandemi covid-19 dua tahun lamanya sejak 2020.
Berdasarkan data Badan Pengungsi PBB (UNHCR), sejak November 2023 saja, sudah 1.200 jiwa warga Rohingya yang datang ke Indonesia, utamanya di Aceh. Jumlah itu belum ditambah dengan pengungsi yang sudah datang sebelumnya, baik dari Myanmar maupun negara lain.
Indonesia tidak sendirian, Malaysia dan Thailand juga sedang dipusingkan menghadapi gelombang pengungsi yang terus berdatangan. Mereka umumnya berasal dari Afghanistan, Somalia, dan Myanmar.
Indonesia dipaksa menerima kedatangan mereka sekalipun roda ekonomi belum sepenuhnya pulih berputar. Berdasarkan data Badan Pusat Stagnantik (BPS), hingga Agustus 2023, ada 7,86 juta orang yang masuk kategori angkatan kerja menganggur. Begitu pula dengan jumlah orang miskin, yang pada Maret 2023 tercatat 25,9 juta orang.
Boro-boro memikirkan warga negara lain, memikirkan warga negaranya sendiri saja sudah bikin pening kepala. Pembukaan lapangan kerja baru dari industri masih ngosngosan. Belum lagi berbagai bantuan sosial yang terus dilakukan pemerintah supaya warganya bisa tetap makan dan hidup layak, butuh dana jumbo.
Dalam menghadapi para pengungsi, beda tentunya jika ekonomi sedang berputar normal sebelum pandemi. Pemerintah punya uang kas yang cukup di APBN, yang bisa dialokasikan buat para pengungsi dari negara lain. Pemerintah masih bisa memberi tempat penampungan dan makan sehari-hari bagi para pencari suaka tersebut.
Seluruh langkah itu diambil pemerintah semata-mata atas dasar kemanusiaan. Terlebih, Indonesia hingga kini belum ikut meratifikasi Konvensi 1951 PBB tentang Status Pengungsi.
Kalau ikut meratifikasi konvensi itu seperti halnya Amerika Perkumpulan dan Australia, Indonesia bakal terkena kewajiban memberi pekerjaan dan rumah kepada para pengungsi, sebagaimana tertuang dalam Pasal 17 dan Pasal 21 Konvensi 1951 PBB. Alhasil, Indonesia pun akan masuk ke daftar negara penerima para pencari suaka.
Tetapi, Indonesia cukup tahu diri. Karena belum menjadi negara dengan ekonomi mapan, belum berani pula Indonesia menerima warga negara lain untuk mencari penghidupan di sini.
Akan menjadi irasional jika Indonesia berani meratifikasi konvensi PBB tersebut. Hanya segelintir negara maju yang berani meratifikasinya, dan kita pun harus mengapresiasinya.
Atas dasar asas kemanusiaanlah, Indonesia saat ini menempatkan diri menjadi negara persinggahan bagi para pengungsi menuju negara tujuan mereka. Indonesia masih punya nurani, tidak mau menutup mata akan perjuangan mereka mencari penghidupan yang layak bermodal perahu dari negara mereka.
Asas kemanusiaan itu juga sebagai implementasi dari konstitusi, ayat 2 Pasal 28G UUD 1945, yakni pengakuan terhadap tiap orang yang mencari suaka. Sokongan untuk bertahan hidup kepada imigran terus diberikan pemerintah, bahkan sejak 1970-an. Nusa Galang menjadi saksi hidup betapa murahnya hati rakyat Indonesia kepada saudaranya dari negara lain.
Tetapi, dengan situasi ekonomi saat ini yang masih morat-marit, kita mengapresiasi langkah tegas pemerintah yang mulai membatasi kedatangan para pengungsi, sekalipun hanya untuk mampir. Kita pertanyakan peran negara-negara yang meratifikasi Konvensi 1951 PBB itu, di mana tanggung jawab mereka usai menandatangani konvensi itu.
Di sini kita perlu memberi dorongan moral kepada pemerintah untuk berani menggugat tanggung jawab para negara maju tersebut, termasuk Australia, karena persinggahan para pengungsi di Indonesia saat ini ialah untuk menuju ‘Negeri Kanguru’ tersebut.
Mereka harus segera memberi kepastian atas nasib para pencari suaka agar Indonesia tidak terus kena getahnya.
Kita juga dorong pemerintah membuktikan dugaan indikasi tindak pidana perdagangan orang lintas negara dalam gelombang pengungsi Rohingya kali ini. Kalau benar adanya, selamanya Indonesia tidak akan pernah lepas dari kepusingan soal pengungsi.
Karena itu, pemerintah harus segera membereskan ini dalam semangat kolaborasi, baik dengan negara lain maupun lembaga PBB.