Aspek Hukum di Balik Penangkapan Rodrigo Duterte oleh ICC

Mantan Presiden Filipina Rodrigo Duterte ditahan oleh ICC. Foto: ABS-CBN

Jakarta: Pada 11 Maret 2025 Pengadilan Kriminal Global (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Rodrigo Duterte, Mantan Presiden Filipina. Perintah penangkapan dikeluarkan atas dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh mantan presiden tersebut selama perang narkoba yang telah menelan banyak korban.

Setelah ditahan oleh ICC, Duterte diterbangkan dengan penerbangan carteran ke Den Haag, Belanda. Dengan Dalih perlunya menyelamatkan Anggota Filipina dari bahaya narkoba, pemimpin tersebut ketika Tetap berkuasa dengan gencar melakukan kampanye anti-narkoba secara besar-besaran yang menyebabkan ribuan orang dibunuh tanpa melalui proses hukum.

Aspek hukum

Eksis pertanyaan terkait aspek hukum bagaimana ICC Dapat menjangkau Duterte pada Begitu yang bersangkutan Bukan menjabat Kembali sebagai kepala negara dan Filipina sudah Bukan menjadi pihak pada Statuta Roma. ICC menerapkan prinsip retroaktif dengan memberlakukan Statuta Roma selama periode tahun 2011-2019 pada waktu Filipina Tetap menjadi pihak pada statuta tersebut.

Prinsip ini merupakan teori hukum Global baru yang mengandalkan prinsip retroaktif. Filipina telah menjadi Member ICC sejak 1 November 2011 tetapi kemudian pada 2018 pada Begitu Duterte berkuasa negara tersebut menarik diri dari Statuta Roma yang mulai berlaku pada 17 Maret 2019.

Meskipun demikian, ICC tetap bersikukuh dan berpandangan bahwa ICC Mempunyai yurisdiksi terhadap Filipina Begitu negara itu Tetap menjadi negara pihak dari November 2011 hingga Maret 2019 dan kasus yang didakwakan kepada Duterte adalah pada periode pada Begitu Filipina Tetap menjadi pihak pada Statuta Roma.

“Dalam kasus Duterte sesuai prinsip universal dalam hukum, yang bersangkutan tetap perlu mendapatkan hak Buat membela diri serta didampingi penasehat hukum dan diproses sesuai dengan due process of law,” sebut Prof. Eddy Pratomo S.H., M.A, Dekan Fakultas Hukum Universitas Pancasila/Guru Besar Hukum Global UNDIP, dikutip dari artikel studi kasus ‘Penangkapan Mantan Presiden Duterte oleh ICC’.

Cek Artikel:  Amerika Perkumpulan Keluar dari WHO, Apa Dampaknya bagi Indonesia

“Tetapi terdapat hal yang lebih Krusial Kembali dan merupakan tantangan berat bagi ICC, Ialah apakah kasus yang terjadi pada Duterte dapat secara adil, Dapat juga diterapkan terhadap pemimpin dunia lain yang diduga juga telah melakukan pelanggaran pidana Global seperti pemimpin Israel Benyamin Netanyahu dan Presiden Rusia Vladimir Putin,” tulis Prof. Eddy.

“Pelajaran bagi negara lain, termasuk Indonesia, adalah bahwa RI sejak awal telah mempertimbangkan secara bijak terkait dengan politik hukum Indonesia bahwa RI Bukan akan mengakui yurisdiksi ICC karena dalam sistem hukum nasional sudah Mempunyai Pengadilan HAM Adhoc Buat mengadili kejahatan HAM berat di Indonesia. Dengan demikian Pemerintah Indonesia telah melaksanakan kewenangan hukum/yurisdiksi nasional, Ialah National Exhaustive Formal Proceeding tersebut,” imbuh Prof. Eddy.

Kerangka kasus

Para aktivis hak-hak asasi Sosok memperkirakan jumlah korban tewas antara 12.000 dan 30.000 yang sebagian besar diduga terkait dengan kejahatan narkoba. Kejadian ini adalah yang pertama kalinya seorang kepala negara Filipina atau Asia Tenggara ditangkap oleh pengadilan Global ICC.

ICC dibentuk berdasarkan Statuta Roma Buat mengadili para individu atas pelanggaran berat hukum pidana Global (gross violation of human rights) seperti kejahatan kemanusiaan, genosida, kejahatan perang dan Invasi. Pengusutan ICC yang dimulai pada Maret 2018 mencakup dugaan kejahatan yang dilakukan dari tahun 2011-2019, meliputi masa jabatan Duterte sebagai wali kota Davao City dan kemudian sebagai presiden.

Cek Artikel:  Gedung Putih Soal Tuduhan Perpanjang Amnesti ke Presiden Venezuela: Kami Belum Memberikan Tawaran Itu

Surat perintah penangkapan merinci peranan sentral Duterte dalam melakukan dugaan kejahatan, khususnya kebijakan Buat memberantas narkoba tanpa melalui proses hukum atau extra-judicial killings. Surat perintah penangkapan dikeluarkan karena terdapat adanya “dugaan yang kuat bahwa Duterte telah melakukan kejahatan kemanusiaan berat dan berada dalam yurisdiksi ICC dan perlu dilakukan penangkapan”.

Di lain pihak Duterte telah lelet mempertanyakan yurisdiksi dan legitimasi ICC. Dalam pandangannya ICC adalah penghalang dalam menjamin keamanan dan ketertiban di negaranya dari ancaman dan bahaya narkoba.

Dia juga secara konsisten Memperhatikan ICC mempunyai sikap bias yang dilakukan oleh negara-negara Barat Buat merusak kedaulatan negaranya. Setelah Bukan menjabat tahun 2022, Duterte merasa Serius bahwa dia akan Maju berada di luar jangkauan ICC.

Bahkan setelah memenangkan pemilihan Lumrah Presiden Ferdinand “Bongbong” Marcos pernah berjanji bahwa mantan presiden itu Bukan akan tersentuh oleh ICC mengingat bahwa pengadilan tersebut Bukan Mempunyai yurisdiksi terhadap Filipina.

Tetapi demikian dengan retaknya Interaksi aliansi dinasti Marcos-Duterte, maka kemudian pada Januari 2025, Marcos Jr. mengubah pendiriannya dan mengatakan dia akan “merespons secara positif” perintah penangkapan oleh ICC dan akan bekerja sama dengan Organisasi Polisi Kriminal Global (Interpol).

Pemerintahan Marcos Jr. pada akhirnya telah memobilisasi 7.000 personel kepolisian Buat melaksanakan surat perintah tersebut. Presiden Begitu ini menegaskan bahwa penangkapan dilakukan karena Filipina sebagai Member dari badan polisi dunia Interpol wajib mematuhi permintaan Interpol Buat menangkap dan menyerahkan Duterte kepada ICC.

Dengan penangkapan tersebut dipastikan Duterte akan membela diri dengan mempermasalahkan yurisdiksi ICC mengingat bahwa Fipilina telah menarik diri dari Statuta Roma tahun 2019 serta menentang kewenangan ICC dengan mengatakan pengadilan tersebut Bukan dapat memeriksanya berdasarkan prinsip komplementaritas—suatu postulat bahwa ICC hanya Dapat menangani suatu perkara ketika lembaga-lembaga penegak hukum di Filipina Bukan mau atau Bukan Bisa (unwilling and unable) menyelidiki dan menuntut Duterte atas tindakan yang sama.

Cek Artikel:  Israel Secara Paksa Gusur Penduduk Palestina di Jenin

Dapat dikatakan bahwa penangkapan Duterte merupakan momen Krusial dan telah lelet ditunggu-tunggu Buat keadilan bagi ribuan korban dan penyintas dari ‘perang melawan narkoba’ di Filipina sewaktu dirinya Tetap berkuasa. Yang bersangkutan bahkan pernah mengatakan bahwa ‘pekerjaan saya adalah membunuh’ serta ikut mengawasi eksekusi hukuman Wafat para korban –,termasuk anak-anak,– sebagai bagian dari kampanye pembunuhan yang disetujui negara serta dilakukan secara luas dan terorganisir dengan Berkualitas.

Penangkapan Duterte berdasarkan surat perintah ICC dapat memberikan Cita-cita bagi para korban di Filipina. Selain daripada itu penangkapan tersebut juga dapat dijadikan sebagai pengingat bagi para pemimpin dunia lainnya, bahwa para terduga pelaku tindak pidana Global dapat ditangkap dan diadili di mana pun mereka berada.

Penangkapan Duterte adalah momen besar dan Krusial dalam penegakkan hukum Global. Pelajaran yang dapat diambil dari kasus Duterte adalah bahwa yurisdiksi ICC Dapat diberlakukan terhadap mantan kepala negara dan Bukan berlaku terhadap kepala negara yang Tetap aktif.

Penangkapan tersebut dilakukan karena ICC menilai bahwa Pemerintah Filipina Bukan mempunyai niat atau Bukan Bisa mengadili perkara kejahatan kemanusiaan yang berat dalam pengadilan nasionalnya, Ialah belum Eksis upaya exhaustive dalam di dalam negerinya sehingga ICC menerapkan yurisdiksinya terhadap mantan kepala negara Duterte.

Mungkin Anda Menyukai