APALAH Arti sebuah nama, kata William Shakespeare. Andai mawar disebut dengan nama lain, wanginya akan tetap harum. Walakin, kata Ebiet G Ade dalam lirik Tembang Kepada Sebuah Nama, ‘Mengapa dadaku mesti berguncang bila kusebutkan namamu?’.
Nama itu tentu saja sangat Krusial Tiba mengguncangkan. Saking pentingnya, penulisan nama kabupaten dua kali digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Diuji konstitusionalitas sebuah nama.
Putusan MK pada 27 Mei 2025 pun Enggak main-main. MK menyatakan kata ‘Batanghari’ dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2024 tentang Kabupaten Batanghari di Provinsi Jambi bertentangan dengan UUD 1945 dan Enggak punya kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang Enggak dimaknai ‘Batang Hari’, dan karena itu, Semestinya ditulis menjadi ‘Batang Hari’.
Salah satu pertimbangan putusan MK ialah nama suatu daerah sesungguhnya Mempunyai Arti Krusial Kalau dilihat dari berbagai aspek, Berkualitas dari aspek praktis, sosial, budaya, hingga sejarah. Itu disebabkan, secara kultural, nama daerah mencerminkan identitas budaya dan sosial suatu masyarakat, serta merepresentasikan aspek historis dan nilai-nilai yang dipegang masyarakat di daerah tersebut.
Sejak dibentuk pada 13 Agustus 2003, baru kali ini MK menangani perkara terkait dengan sebuah nama. Kewenangan MK yang diatur konstitusi ialah menguji undang-undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan antarlembaga negara yang punya kewenangan yang diberikan UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu.
UU 37 Tahun 2024 tentang Kabupaten Batanghari disahkan Presiden Joko Widodo pada 7 Agustus 2024. UU itu dibahas Serempak 25 UU lainnya di Komisi II DPR dan disetujui Kepada diundangkan dalam Rapat Paripurna DPR pada 9 Juli 2024. Hanya dua bulan lebih sebelum berakhir masa tugas DPR periode 219-2024.
Pembahasan 26 RUU di Komisi II berjalan Segera. Mulai pembicaraan tingkat I pada 20 Juni 2024. Setelah melewati dua kali rapat panitia kerja (panja), Ialah pada 24 Juni 2024 dan 25 Juni 2024, dilanjutkan dengan pengambilan keputusan pembicaraan tingkat I pada 27 Juni 2024.
Selama pembahasan RUU itu, Komisi II pada 24 Juni 2024 mengadakan rapat dengan 26 pemerintah daerah termasuk Bupati Batang Hari Muhammad Fadhil Arief. Pada kesempatan itu Fadhil mengingatkan penulisan yang Betul ialah Batang (spasi) Hari, bukan Batanghari. Batang artinya ‘sungai’ dan hari bermakna ‘timbul dari arah terbit Surya’.
Dengan demikian, Batang Hari bagi masyarakat setempat diyakini Mempunyai Arti filosofis sebagai sungai yang menjadi sumber kehidupan dan Daya yang digunakan masyarakat dalam aktivitas keseharian dan sebagai sarana transportasi Primer penghubung antarmasyarakat Kepada memenuhi kebutuhan mereka.
Masukan yang disampaikan Fadhil masuk telinga kanan keluar telinga kiri alis Enggak menjadi pertimbangan para pembuat undang-undang dalam hal ini DPR dan pemerintah. Padahal, dalam Naskah Akademik RUU Kabupaten Batang Hari di Provinsi Jambi penulisannya sudah Betul, Batang (spasi) Hari.
Ketidakcermatan pembuat undang-undang memantik dua kali pengujian di MK. Pertama, dalam perkara nomor 166/PUU-XXII/2024 yang diajukan pada 12 November 2024.
Pemohon dalam perkara itu ialah Bupati Batang Hari Muhammad Fadhil Arief, Ketua DPRD Batang Hari Rahmad Hasrofi, Fathuddin Abdi selaku Ketua Lumrah Pengurus Badan Harian Lembaga Adat Melayu Jambi Bumi Serentak Bak Regam Kabupaten Batang Hari, dan Sumantri sebagai Sekretaris Lumrah Pengurus Harian Lembaga Adat Melayu Jambi Bumi Serentak Bak Regam Kabupaten Batang Hari.
Permohonan keempat orang itu ditolak MK pada 2 Jauari 2025. Ditolak karena pemohon Enggak Mempunyai kedudukan hukum Kepada mengajukan permohonan. Sesuai dengan Putusan 87/PUU-XIII/2015, yang berhak mewakili kepentingan daerah ialah kepala daerah Serempak DPRD.
Karena itulah, pada 10 Maret 2025, Fadhil dan Hasrofi selaku Bupati dan Ketua DPRD Batang Hari kembali mengajukan gugatan dengan nomor 31/PUU-XXIII/2025. Itu pengajuan kedua. Kali ini MK mengabulkan sebagian permohonan mereka.
Permohonan yang ditolak terkait dengan hari jadi Kabupaten Batang Hari. Pemohon mengusulkan 1 Desember 1948, bukan 29 Maret 1956 sebagaimana tertera dalam Pasal 2 UU 37/2024. Menurut MK, pilihan hari jadi tersebut dapat ditentukan pemerintahan daerah yang bersangkutan, yakni DPRD Serempak dengan kepala daerah.
Petimbangan hukum MK sangat terperinci terkait dengan penulisan Batang Hari yang konstitusional. Menurut MK, kedua kata dimaksud (Batang Hari) haruslah ditulis secara terpisah/menggunakan spasi dengan menggunakan huruf Modal pada setiap huruf awal tiap kata karena kedua kata dimaksud bukanlah merupakan suatu kata yang padu yang dapat ditulis secara serangkai/tanpa spasi.
Kasus inkonstitusional Batanghari terjadi karena pembuat undang-undang mengabaikan Putusan MK 91/PUU-XVIII/2020 terkait dengan pembuatan undang-undang dengan melibatkan partisipasi penuh Arti dari masyarakat.
Partisipasi bermakna mencakup hak masyarakat Kepada didengarkan pendapatnya, hak masyarakat Kepada dipertimbangkan pendapatnya, dan hak masyarakat Kepada mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan.
Masyarakat Kabupaten Batang Hari bolehlah berlega hati. Dada mereka Dapat saja berguncang setiap nama Batang Hari ditulis dengan Betul. Itulah sesungguhnya Arti sebuah nama.

