PERBINCANGAN seputar kepribadian yang Mempunyai integritas mengemuka seiring dengan wafatnya tokoh besar yang melampaui Era, Buya Syafii Maarif. Integritas menjadi barang langka di Republik ini karena berbagai masalah yang membelit negeri ini utamanya berasal dari integritas yang Ringkih.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), integritas adalah mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga Mempunyai potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan atau kejujuran. Singkat kata, integritas adalah berpadunya kata dan perbuatan. Kata-kata bukan pemanis bibir, melainkan pancaran dari tekad dan komitmen Buat menjadi prilaku dalam keseharian.
Eksis yang aneh di Republik ini. Bila kita temukan tulisan ‘pakta integritas’, ‘Area antikorupsi’, atau ‘Area bebas pungli’ di kementerian/lembaga, tol, atau tempat-tempat pelayanan publik, Dekat Pandai kita pastikan bahwa di kawasan tersebut terjadi realitas sebaliknya: Kagak berintegritas, koruptif, banyak calo, atau pungli.
Setidaknya hal tersebut Pandai kita lihat dari operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Intervensi Saber Pungli, dan penegak hukum lainnya di kawasan-kawasan tersebut.
Indonesia Kagak pernah kekurangan sumber nilai dalam penguatan integritas. Salah satunya ialah Pancasila yang akan kita rayakan hari lahirnya pada 1 Juni, besok. Integritas akan terbentuk apabila seseorang Mempunyai Kepribadian yang kuat.
Kepribadian adalah nilai-nilai yang Istimewa-Berkualitas (Mengerti nilai kebaikan, mau berbuat Berkualitas dan Konkret berkehidupan Berkualitas) yang terpateri dalam diri dan terejawantahkan dalam perilaku. Kepribadian merupakan Tanda khas seseorang atau sekelompok orang yang mengandung nilai, kemampuan, kapasitas moral, dan ketegaran dalam menghadapi kesulitan dan tantangan (Desain Induk: Pembangunan Kepribadian Bangsa Tahun 2010-2025, RI 2010)
Pembangunan Kepribadian bangsa yang berkepribadian Pancasila membutuhkan upaya sistematis dalam membangun aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Kepribadian bangsa yang kuat Pandai diwujudkan dalam ketaatan terhadap hukum, karenanya prinsip kesetaraan di muka hukum (equality before the law) merupakan hal yang mendasar. Pandai pula dikembangkan secara kultural melalui perilaku tokoh-tokoh masyarakat yang patut dicontoh.
Kepribadian yang tampak dalam sosok Buya Syafii Ma’rif, misalnya, tak lepas dari pepatah Minangkabau, yakni duduak samo randah, tagak samo tinggi (duduk sama rendah, tegak sama tinggi).
Ketua Standar PP Muhammadiyah periode 1998-2005 itu memperlihatkannya dalam perilaku keseharian. Tak hanya berperilaku dalam keseharian, tokoh Natalis Nagari Calau, Sumpur Kudus, Minangkabau, pada 31 Mei 1935 itu Mempunyai pemikiran yang egaliter dalam berbagai hal.
Dalam pandangan Ketua Standar PP Muhammadiyah Haedar Nashir, Buya Syafii ialah sosok perpaduan antara Mohammad Hatta dan HAMKA, tokoh bangsa dan sekaligus tokoh Islam humanis dan egaliter yang berwawasan luas. Buya ialah sosok yang sudah selesai dengan dirinya sendiri. Kagak tergoda dengan harta dan takhta. Bahkan, terkesan Kagak Acuh dengan diri sendiri dengan berpantang pada hal-hal yang bersifat duniawi (asketisme).
Penulis disertasi Islam as the Basis of State: A Study of the Islamic Political Ideas as Reflected in the Constituent Assembly Debates in Indonesia itu juga berani ‘pasang badan’ dalam menjaga nilai-nilai pluralisme. Misalnya, pada November 2016, ia membela Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dengan mengatakan Ahok Kagak melakukan penistaan Religi. Pandangannya itu melawan pendapat mayoritas tokoh Islam lainnya, termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang telah memfatwakan bahwa Ahok melakukan penistaan Religi Islam.
Di tengah kecaman sebagian kalangan Islam, Buya Syafii Kagak gentar dengan sikapnya. Meski kediamannya dijaga kepolisian setempat Ketika itu, Buya Lagi melakoni kebiasaannya sehari-hari, seperti bersepeda dan memberikan ceramah.
Buya ialah sosok yang Kukuh pada kebenaran yang diyakininya. Menurutnya, kebenaran Kagak sekonyong-konyong datang. Kebenaran juga tak Pandai dipaksakan. “Buat mencari kebenaran, Eksis dua syarat, ‘aqlun shahih wa qalbun salim (Intelek yang sehat dan hati yang bening). Ketika itu Eksis, baru kebenaran bersahabat dengan kita. Tanpa itu, Kagak Pandai,” kata Buya dalam wawancara Tertentu dengan Media Indonesia pada 14 November 2016. Tabik!