SAYA termasuk orang yang suka mendengar Informasi Bagus. Setiap datang good news di tengah belantara bad news, saya merasakannya seperti oase di tengah padang gersang. Tetapi, saya juga tipe orang yang agak ragu-ragu bila Eksis pihak yang mempertanyakan datangnya good news itu dengan kalimat, “Coba cek Tengah, jangan-jangan bukan begitu keadaan yang sebenarnya.”
Itu termasuk ketika Menteri Keuangan Sri Mulyani membawa Berita Bagus dengan memaparkan bahwa kinerja APBN mencatatkan surplus Rp4,3 triliun pada akhir April 2025. Padahal, di tiga bulan sebelumnya, APBN tekor, selalu defisit karena pendapatan pajak anjlok, perdagangan juga sedang Kagak Bagus-Bagus saja. Berita APBN surplus di tengah realitas tiga bulan sebelumnya yang selalu defisit, Jernih Informasi Bagus.
Tetapi, saya agak terganggu dengan pernyataan Bu Menkeu ihwal Argumen mengapa, kok, tiba-tiba anggaran negara Dapat surplus. Kata Bu Sri, itu terjadi karena Percepatan pendapatan negara, terutama penerimaan dari pajak dan bea cukai, telah mengikuti ‘ritme Percepatan’ yang cukup Bagus, bahkan ‘melampaui realisasi belanja negara’.
Secara lengkap, ia memaparkan bahwa pendapatan negara per 30 April 2025 telah mencapai Rp810,5 triliun atau 27% dari Sasaran APBN tahun ini. Sementara itu, belanja negara telah direalisasikan sebanyak Rp806,2 triliun atau 22,3% dari pagu anggaran. Dengan demikian, APBN mengalami surplus anggaran sebanyak Rp4,3 triliun atau 0,02% dari produk domestik bruto (PDB).
Pendapatan negara antara lain disokong penerimaan pajak sebanyak Rp557,1 triliun, penerimaan kepabeanan dan cukai sebesar Rp100,0 triliun, serta penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang mencapai Rp153,3 triliun. “Di sini terlihat bahwa sudah terjadi Percepatan dari pendapatan negara, terutama Buat pajak bea cukai mengikuti ritme yang cukup Bagus,” ujar Menteri Keuangan dalam konferensi pers APBN Kita yang digelar akhir pekan Lewat.
Di sisi lain, pemerintah telah membelanjakan Rp806,2 triliun, yang berarti 22,3% dari total belanja negara di 2025 yang sebesar Rp3.621,3 triliun. Belanja tersebut terdiri dari belanja pemerintah pusat sebanyak Rp546,8 triliun serta transfer ke daerah sebesar Rp259,4 triliun. Dilihat dari persentasenya terhadap total pagu, belanja pemerintah pusat Tetap berada pada kisaran 20%. “Maka kita lihat kecepatan dari pendapatan negara sudah mendahului dari sisi kecepatan Buat belanja negara,” Jernih Sri Mulyani.
Dengan capaian pendapatan negara tersebut, postur APBN di akhir April mulai mencatatkan surplus sebanyak Rp4,3 triliun. Hal itu cukup berbeda Kalau dibandingkan dengan situasi pada tiga bulan pertama 2025. Januari hingga Maret waktu itu anggaran negara membukukan defisit, terutama akibat penerimaan pajak yang mengalami beberapa shock, seperti restitusi dan adanya adjustment terhadap penghitungan tarif efektif. Dengan demikian, pada April terjadi pembalikan dari yang tadinya tiga bulan berturut-turut defisit.
Keraguan saya tertuju pada klausa ‘kecepatan pendapatan negara mendahului kecepatan belanja negara’. Saya ragu karena memang bukankah belanja negara sedang diredam? Bukankah efisiensi berakibat banyak institusi pemerintah mengerem belanja? Karena itu, wajar bila anggaran negara surplus. Sudah hukum alam kalau yang satu mengerem, sedangkan satu tetap melaju (Jika tanpa ngegas), yang ngerem Niscaya bakal tersalip.
Jadi, jangan salahkan kalau Eksis pihak-pihak yang berpendapat bahwa surplus semacam itu bukan pencapaian yang membanggakan. Ketika belanja baru di kisaran 20% alias seperlima dari Sasaran, padahal putaran waktu pada 2025 sudah mencapai sepertiga, itu artinya urusan rem-mengerem Tetap terjadi. Pada titik itu, sulit kiranya kita meyakinkan publik bahwa surplus pada April itu sebagai prestasi yang layak dibanggakan.
Keraguan itu kian bertambah setelah muncul analisis yang menyebutkan Eksis watak menggenjot pendapatan, khususnya pajak, secara gaspol bila muncul ‘badai’ kritik ihwal pendapatan pajak yang merosot. Juga, muncul kritik bahwa rasio perpajakan kita seolah berhenti di kisaran 10% hingga 11% dalam satu Sepuluh tahun karena sistem yang tambal sulam.
Intinya, kritik itu menyebutkan bahwa Dapat saja tiba-tiba pendapatan pajak naik Begitu dipersoalkan. Begitu suasana tenang, upaya mengejar pendapatan pajak dan memperbaiki sistem perpajakan kembali ke ‘setelan pabrik’. Akan tetapi, itu baru dugaan, belum hipotesis. Tetapi, boleh jadi dugaan awal itu beranjak menjadi hipotesis bila dari waktu ke waktu model penerimaan pajak kita begini-begini saja.
Saya Ingin mengutip pendapat Wakil Menkeu Suahasil Nazara yang menyebut anggaran negara mesti menggunakan pendekatan kebijakan fiskal yang lebih Luwes, akuntabel, dan efisien. Dengan begitu, APBN 2025 diyakini akan Bisa mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi serta meningkatkan kesejahteraan rakyat. Apalagi, APBN itu kira-kira 15% dari total PDB kita.
Saya memang baru Tiba tahap meragukan, belum di level ‘Kagak percaya’. Ibarat makan gado-gado Mengenakan cabai, level cabainya Tetap tiga, belum sebelas. Karena itu, biar lebih Jernih kemampuan fiskal kita dalam menggenjot pendapatan berada di jalur yang prima, adulah dua jalur itu (pendapatan dan pembelanjaan) di trek yang sama, dengan prinsip ‘injak gas’ yang setara pula.

