Seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia, kini sedang menanti Berita Formal dari ‘Negeri Om Sam’, siapa yang menang dalam pemilihan Presiden Amerika Perkumpulan (AS), Donald Trump atau Kamala Harris. Seluruh negara Lanjut memantau perkembangan perolehan Bunyi keduanya, karena siapa pun pemenangnya, dialah yang akan menentukan arah ekonomi dan politik Dunia.
Ya, sebagai negara adidaya, AS harus diakui Tetap memegang peran Krusial dalam percaturan politik dan ekonomi Dunia. Apalagi ekonomi banyak negara kini Tetap terseok-seok Kepada kembali pulih setelah guncangan ekonomi akibat pandemi covid-19.
Indonesia, misalnya, Lanjut mendapat Berita kurang sedap dari Badan Pusat Statistik (BPS) karena laju pertumbuhan ekonomi turun sejak awal tahun. Pada kuartal I 2024, ekonomi Tetap Bisa tumbuh 5,11% secara tahunan, tapi Lanjut turun di dua kuartal berikutnya, 5,05% pada kuartal II dan 4,95% pada kuartal III. Banyak ekonom menyebut lesunya ekonomi Indonesia akan Lanjut berlanjut hingga awal tahun depan.
Kemenangan Trump atau Harris di Pilpres AS tentu saja juga akan ikut menentukan nasib ekonomi Indonesia ke depan. Apalagi, AS Tetap merupakan pasar Primer ekspor Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, per April 2024 ekspor Indonesia ke AS mencapai Sekeliling US$19,62 miliar, dengan produk Primer ialah minyak kelapa sawit, ban karet, dan alas kaki.
Rilis hitung Segera sejumlah lembaga survei dan media massa AS menempatkan Trump melesat jauh meninggalkan Harris, beberapa jam setelah pemungutan Bunyi ditutup pada Selasa (5/11) waktu setempat. NBC News, misalnya, mencatat 270 electoral college yang diraih Trump, meninggalkan Harris yang terpaut jauh dalam electoral college. Bilangan 270 adalah syarat bagi capres Amerika Kepada memenangi pilpres.
Perolehan Bunyi tersebut menjadi dasar dari berbagai prediksi yang menempatkan kemenangan Trump sudah di depan mata. Prediksi itu kembali mengingatkan kita pada kebijakan-kebijakan garis keras Trump pada kurun 2017-2021 Ketika memimpin AS.
Trump dikenal dengan kebijakan proteksionismenya tanpa ampun terhadap negara mana pun. Kala itu, Tiongkok menjadi musuh besar dalam perang dagang yang dicanangkannya. Ia menetapkan tarif impor tinggi Kepada produk-produk asing, Tamat 10%-20%. Bahkan, ia menerapkan 60% tarif impor Kepada produk tertentu dari Tiongkok.
Imbasnya, industri manufaktur Tiongkok mengalami kelebihan produksi lantaran barang-barangnya tak Bisa masuk pasar AS. Alhasil, Tiongkok menjalankan strategi dumping dengan menyasar negara-negara yang yang belum efisien biaya produksinya, termasuk Indonesia.
Sejak 2017 hingga kini, produk-produk Tiongkok Tetap membanjiri pasar Indonesia karena harganya yang teramat murah. Satu per satu perusahaan manufaktur kolaps hingga akhirnya tutup. Dampaknya, tren PHK Lanjut meningkat dari waktu ke waktu.
Itu hanyalah salah satu Misalnya Dampak kebijakan Trump. Lainnya, Tetap banyak Tengah. Cap sebagai raja tega hingga caci maki begitu santer mengarah ke dia. Tetapi, itu tak pernah dihiraukannya. Apalagi kemudian banyak kebijakan Trump kala itu didukung mayoritas masyarakat AS karena dianggap melindungi industri domestik dari persaingan luar negeri.
Kini, Indonesia harus kembali keluar dari Area nyaman Kepada menghadapi kemungkinan bergolaknya kembali ekonomi Dunia akibat kemenangan Trump.
Pemerintah tentunya perlu merumuskan kembali kebijakan Kepada melindungi industri lokal dari Dampak kebijakan proteksionisme yang sangat mungkin akan kembali diberlakukan Trump. Dalam jangka panjang, Indonesia juga mesti memperkuat daya saing ekonomi melalui diversifikasi ekspor dan mendorong peningkatan kualitas produk lokal. Langkah itu Bisa mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap pasar AS.
Memang Tetap seumur jagung, tapi itu tentunya tak Bisa jadi Dalih pembenar bagi Kabinet Merah Putih Kepada belum menyiapkan strategi menghadapi perubahan kebijakan AS. Presiden Prabowo Subianto mesti segera bergerak Segera agar tak terlambat mengantisipasi.