BERITA menggembirakan menyeruak. Sebuah obat anticovid-19 bernama molnupiravir telah ditemukan. Perusahaan penemunya mengeklaim obat itu dapat mengurangi perawatan rumah sakit dan kematian hingga 50% pada pasien covid-19 ringan dan sedang. Bilangan ini tentu saja meyakinkan sebab penurunan 50% bukanlah hal sederhana.
Menariknya lagi, obat itu penggunaannya lewat oral berupa pil yang diminum dengan dosis dua kali sehari selama lima hari. Sangat praktis. Beda dengan beberapa obat covid-19 yang digadang-gadang sebelumnya. Obat-obat sebelumnya harus disuntikkan atau dimasukkan ke darah. Dianggap tidak praktis dan hanya bisa dilakukan di rumah sakit. Dengan segala klaim kelebihannya, wajar kalau pil molnupiravir ini disambut gembira.
Meski belum diproduksi, obat tersebut telah dipesan berbagai negara. Istilahnya, preordering purchase. Perusahaan pembuatnya, Merck, rencananya memproduksi 10 juta dosis. Berbagai negara pun berebutan memesan. Amerika memesan 1,7 juta dosis. Singapora dan Thailand memesan masing-masing 150 ribu dan 200 ribu course. Muncul euforia seolah dengan obat ini pandemi akan lenyap. Bahkan, muncul narasi ‘sayonara pandemi’.
Obat covid-19
Sama dengan vaksin, obat juga menjadi harapan bagi pengendalian pandemi. Penelitian obat covid-19 sangat marak dan menjadi salah satu ikon pandemi. Ribuan penelitian obat covid-19 sementara berlangsung. European Medicine Agency melaporkan bahwa saat ini telah ada 132 obat yang berpotensi menjadi obat covid-19. Selain itu, sejumlah obat yang diklaim sebagai obat covid-19 telah beredar di pasaran dan banyak digunakan.
Obat covid-19 selama ini ternyata menyisakan sejumlah isu. Pertama, meski banyak obat beredar di pasaran dan diklaim sebagai obat covid-19, sebagian besar obat tersebut tidak spesifik untuk covid-19 dan tingkat kemanjurannya tidak adekuat. Remdesivir, misalnya, diklaim oleh sejumlah studi dapat mempercepat penyembuhan pasien dari 15 hari menjadi 10 hari. Juga, mengurangi komplikasi serius dari 31,6% menjadi 24,6%. Persentase penurunan komplikasi ini tidak besar.
Ironisnya, studi lain menolak hasil ini dan bahkan studi gabungan (metaanalisis) menyimpulkan bahwa obat ini tidak bermanfaat dalam menurunkan kematian. Evidence-base-nya conflicting; tidak solid. Hal yang sama juga terjadi pada obat lain. Sejumlah obat bahkan pernah mendapat persetujuan penggunaan (emergency use authorization), tetapi kemudian persetujuan ini dibatalkan. Atas dasar ini, hingga kini baru ada dua obat yang disetujui penggunaannya oleh WHO, yaitu dexamethason dan tozilizumab.
Kedua, hampir semua obat yang diklaim bermanfaat penggunaannya lewat suntikan atau infus dan harus diberikan di rumah sakit. Misalnyanya, tozilizumab dan remdesivir. Obat-obat ini diberikan pada pasien berat dan kritis, bukan pasien dengan keluhan ringan atau sedang. Proses pemberiannya pun menjelimet. Di sini, timbul isu terkait feasibility. Belum tersedia obat spesifik dan manjur untuk penderita ringan-sedang. Padahal, kelompok ini jumlahnya banyak, berpuluh kali lipat dibanding penderita yang harus dirawat di rumah sakit.
Keterbatasan lain ialah belum tersedianya obat yang penggunaannya lebih praktis, misalnya, dengan diminum atau dihirup. Padahal, bila tersedia obat yang dapat diminum atau dihirup, penggunaannya akan lebih feasible dan luas.
Ketiga, harga obat relatif mahal. Obat-obat nonspesifik saja dibanderol dengan harga tinggi. Oseltamivir dijual Rp 650 ribu per strip, favipiravir Rp800 ribu per strip, dan azithromyzin Rp500 ribu per strip. Harga yang cukup besar bagi kalangan menengah ke bawah.
Kepada obat yang lebih spesifik, harganya lebih mahal lagi. Remdesivir ditawarkan Rp3 juta per vial; dibutuhkan beberapa vial untuk sekali pengobatan. Obat immunoglobulin gammaraas harganya Rp15 juta per vial; juga dibutuhkan beberapa vial untuk sekali pengobatan.
Actemra (tocilizumab) harganya selangit. Di Indonesia, harga obat ini ditawarkan Rp145 juta per vial. Padahal, untuk kondisi tertentu, diperlukan dua vial dengan total Rp290 juta. Dengan harga obat selangit, sulit dibayangkan sebuah negara berkembang dapat mengupayakan jenis penatalaksanaan ini.
Obat lama, kisah baru
Molnupiravir sejatinya bukan obat baru. Obat ini dibuat oleh peneliti pada Emory University dan diteliti manfaatnya terhadap penyakit radang selaput otak dan influenza sejak 2014. Ketika pandemi covid-19 menyerang, peneliti mencoba mengetes obat ini terhadap covid-19. Hasilnya mengagetkan; obat ini tampaknya efektif bagi penderita covid-19.
Dalam siaran pers baru-baru ini, perusahaan Merck mengeklaim bahwa pada pasien covid-19 ringan dan sedang, obat ini menurunkan angka perawatan rumah sakit dan kematian sebesar 50%. Secara sederhana, obat ini bekerja dengan cara memasuki dan mengganggu rantai RNA virus covid-19 yang berfungsi untuk memperbanyak diri. Dengan mengganggu rantai ini, proses replikasi virus terhambat.
Sesaat setelah diumumkan, obat itu langsung menjadi hot topic. Sejumlah negara langsung melakukan kontrak pembelian. Eksis sejumlah alasan. Pertama, bila laporan yang disampaikan pada siaran pers benar, ini merupakan obat spesifik covid-19 pertama dengan tingkat kemanjuran tinggi. Spesifik karena mekanismenya menyerang virus covid-19 secara langsung lewat pengacauan sintesis RNA virus yang digunakan untuk memperbanyak diri. Straight to the virus. Jadi, bukan lewat mekanisme sekunder.
Obat ini mampu mengurangi perawatan rumah sakit dan kematian pasien sebesar 50%. Kemanjurannya tinggi. Sebagai perbandingan, FDA menyetujui vaksin yang memiliki kemanjuran 50% atau lebih. Kemanjuran ini dibuktikan secara solid dengan terlewatinya fase tiga uji klinis obat ini. Telah memenuhi standar uji klinis. Maksudnya, obat ini memiliki kemanjuran yang terbukti solid. Beda dengan obat-obatan covid-19 yang beredar saat ini.
Kedua, sediaan obat ini berupa pil yang diminum, bukan suntikan atau pemberian infus seperti sebagian besar obat-obat covid-19 sebelumnya. Dosisnya pun praktis, yaitu dua kali sehari selama lima hari. Dengan kepraktisan ini, molnupiravir dapat diberikan pada pasien yang berobat di puskesmas atau praktik pribadi. Tak perlu dilakukan di rumah sakit.
Selain itu, target obat ini ialah penderita ringan dan sedang yang merupakan bagian terbanyak dari penderita covid-19. Lebih dari 80% penderita covid-19 dikategorikan sebagai derajat ringan dan sedang. Maksudnya, nilai guna obat ini sangat baik karena memiliki target yang lebih luas dan umum.
Ketiga, harganya tidak mahal. Amerika telah melakukan preordering purchase obat ini dengan harga US$700 atau Rp9,8 juta per dosis. Tetapi, harga ini ialah nilai preordering yang mengandung aspek bisnis.
Para ahli menyebutkan bahwa harga sesungguhnya obat ini ialah US$18 atau Rp250 ribu per dosis. India malah akan menjual obat ini dengan harga US$12 atau Rp168 ribu per dosis.
Kalau dibandingkan dengan obat-obat covid-19 lainnya, harga ini relatif murah. Apalagi, perusahaan pembuatnya telah berkomitmen akan memberikan akses luas distribusi obat ini ke seluruh dunia. Maksudnya, harganya bakal lebih murah lagi. Dengan harga demikian, negara-negara berkembang tidak akan mengalami kesulitan berlebihan saat ingin menggunakan obat ini untuk penduduknya.
Obat ideal?
Berdasar beberapa karakteristik di atas, sejumlah ahli menganggap molnupiravir ialah obat ideal dalam masa pandemi. Ia memenuhi sejumlah kriteria yang tidak dipenuhi obat-obat sebelumnya, yaitu kemanjuran tinggi, terbukti secara ilmiah, penggunaannya praktis, targetnya lebih luas dan umum, serta harganya relatif murah. Dream medicine.
Terlepas dari sejumlah kelebihan, obat ini bukan tanpa pitfall. Pertama, kemanjuran obat ini baru diumumkan lewat siaran pers, bukan lewat scientific report atau publikasi jurnal pasca peer-review. Siaran pers bukan standar distribusi ilmiah informasi. Para ahli menunggu pengumuman formal dan ilmiah obat ini. Apalagi, ada sebuah studi di India yang menolak klaim manfaat obat ini. Studi tersebut tidak menemukan manfaat molnupiravir terhadap pasien uji cobanya.
Selain itu, siaran pers tersebut hanya menginformasikan keuntungan molnupiravir dan tidak menyinggung banyak efek sampingnya. Hanya disebutkan bahwa efek samping pada kelompok uji dan kontrol hampir sama. Tak ada penjelasan detail tentang efek samping yang terjadi. Padahal, sebagai obat, efek samping sangat perlu. Seberapa besar pun manfaat sebuah obat, bila efek sampingnya serius, obat tersebut tidak dapat diterima.
Kedua, meski munculnya obat molnupiravir menggembirakan, tidak serta-merta obat ini dapat tersedia dan digunakan. Obat ini baru mengajukan emergency use approval dan kemungkinan baru dapat diproduksi massal akhir Desember.
Bahkan, setelah mendapat EUA, obat ini masih memiliki kemungkinan untuk ditarik. Hal yang sama terjadi pada beberapa obat terdahulu. Beberapa obat yang telah mendapat persetujuan EUA pada akhirnya harus ditarik, seperti hydroxychloroquin dan plasma konvalens. Apalagi, saat post-marketing surveillance, banyak aspek yang harus dinilai, terutama efek sampingnya.
Ketiga, beda dengan vaksin yang memiliki potensi menciptakan kekebalan terhadap covid-19, molnupiravir tidak memicu kekebalan. Orang yang menggunakan molnupiravir tidak akan kebal terhadap covid-19. Bahkan, setelah sembuh akibat molnupiravir, orang dapat terserang lagi beberapa bulan kemudian. Karena tidak berperan terhadap pembentukan kekebalan, molnupiravir juga tidak berperan dalam pembentukan herd immunity atau kekebalan kelompok.
Maka itu, terlalu berlebihan apabila ada statement bahwa molnupiravir menjadi penyetop pandemi. Vaksin dapat menghentikan pandemi, bukan molnupiravir.
Intinya jangan terlalu cepat euforia bahwa molnupiravir akan mengakhiri pandemi. Perlu waktu untuk mengamati dan menimbang obat ini. Sembari menunggu, cakupan vaksinasi harus terus kita genjot dan tetap menjaga protokol kesehatan karena sejatinya kedua penatalaksanaan ini yang lebih potensial menghentikan pandemi, bukan molnupiravir.