Antara Munir dan Angin

DALAM sebulan terakhir, setidaknya dua kali hati saya dibuat miris. Pertama, miris bercampur sedih. Kedua, miris berbaur geram.

Eksis dua peristiwa hukum dengan saga berbeda yang Membangun saya miris. Peristiwa pertama terjadi di Garut, Jawa Barat. Kasusnya pembakaran dua ruangan SMP Negeri 1 Cikelet. Kejadiannya pada Jumat, 14 Januari 2022. Pelakunya bernama Munir Alamsyah.

Kepada setiap pelaku kejahatan, kita biasanya kesal, marah. Tetapi, Tak demikian terhadap Munir. Tak sedikit masyarakat, termasuk saya, Bahkan Iba kepada pria berusia 53 tahun itu.

Munir Layak dikasihani. Dia melakukan kejahatan itu karena tingkat keterpaksaan yang sangat tinggi. Adalah kekesalan yang memuncak yang Membangun dia berbuat nekat. Dia sakit hati tingkat akut lantaran honornya yang hanya Rp6 juta Demi dua tahun mengajar di sekolah itu pada 1996-1998 tak kunjung dibayarkan.

Selama 24 tahun Munir memperjuangkan haknya. Dia berulang kali meminta pihak sekolah melunasi, tetapi Tiba lebih dari dua Dasa warsa tak juga terealisasi.

Dia putus asa. Apalagi hidupnya sedang sulit, terpuruk, karena tak punya pekerjaan tetap. Padahal, Munir sebenarnya guru hebat. Menurut Kepala Dinas Pendidikan Garut Ade Mandin, sebagai pengajar fisika, dia guru yang cerdas.

Intelek sehat Munir sesaat bablas. “Saya membakar sekolah karena kesal, saya memohon Ampun atas perbuatan itu. Saya nganggur Tak punya pekerjaan, hidup dibantu keluarga aja,” tukasnya.

Cek Artikel:  Bilik Reyot Senator

Munir mengaku salah, dia menyesal. Berhasil, pihak sekolah sepakat tak meneruskan kasus itu ke ranah hukum. Dinas Pendidikan Garut akhirnya juga memberikan haknya. Apresiasi Demi mereka. Tetapi, perbuatan Munir tetap salah. Tindakannya tak patut ditiru.

Munir adalah bagian kecil dari potret buram tenaga hononer yang begitu lelet dibingkai di negeri ini. Lagi banyak, sangat banyak, orang-orang seperti dia. Dia hanya satu dari jutaan korban ketidakadilan di negara yang konon menjunjung tinggi keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya.

Peristiwa kedua yang Membangun saya miris tersaji di Pengadilan Tipikor Jakarta, 4 Februari 2022, dalam sidang putusan kasus suap pajak oleh pegawai pajak. Bukan Sekadar karena vonis yang konsisten ringan, saya miris menyaksikan begitu mudahnya pejabat menggasak Dana rakyat.

Majelis hakim menyatakan bekas Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Angin Prayitno Aji terbukti melakukan korupsi secara Serempak-sama. Vonis hukuman penjara 9 tahun diketuk palu. Ya, Sekadar 9 tahun sesuai tuntutan jaksa. Bukan hukuman maksimal 20 tahun meski dia terbukti melanggar Pasal 12 UU No 20 Tahun 2001.

Cek Artikel:  Tiyang Alit kian Sulit

Bekas Kepala Subdirektorat Kerja Sama dan Dukungan Pemeriksaan Ditjen Pajak Dadan Ramdani divonis lebih ringan Kembali, Sekadar 6 tahun penjara. Selain pidana penjara, Angin dan Dadan diharuskan membayar Dana pengganti sebesar Rp14,573 miliar.

Keduanya bukan duet maut dalam menggarong Dana negara. Lagi Eksis bekas pemeriksa pajak, yakni Wawan Ridwan, Alfred Simanjuntak, Yulmanizar, dan Febrian, yang diduga ikut membantu. Tentu, mereka juga kebagian ‘jatah Swasta’.

Tak tanggung-tanggung, total suap yang masuk kantong Angin dan konco-konconya dari wajib pajak agar kewajiban pajaknya dikurangi mencapai Rp47,5 miliar. Catat, itu hanya dari tiga wajib pajak. Tak Paham apakah Eksis dari wajib-wajib pajak yang lain tetapi Tak atau belum ketahuan.

Angin dkk adalah bagian kecil dari potret besar keserakahan Sosok yang punya kuasa. Angin hanya satu dari sekian banyak pegawai pajak yang disebut Menkeu Sri Mulyani sebagai pengkhianat. Dia bukanlah yang pertama, dan saya Percaya bukan pula yang terakhir. Bukan alfa omega.

Sulit Demi memastikan lebih banyak mana, yang berintegritas atau yang korup, di antara 45 ribu lebih pegawai pajak. Faktanya, perkara patgulipat pajak oleh pegawai pajak Lalu saja terjadi.

Cek Artikel:  Ormas Menambang Karunia atau Kutukan

Sulit diterima Intelek kenapa aparat pajak Lagi saja korupsi padahal Pendapatan legalnya sudah sangat tinggi. Sulit diterima Akal kenapa kerakusan Lalu saja dipertontonkan, meski negara telah memberikan imbalan kinerja begitu besar kepada mereka.

Ironis betul apa yang dialami Munir dan Angin cs. Munir butuh waktu lebih dari 20 tahun Demi mendapatkan honor Rp6 juta, sementara Angin dkk dalam sekejap dapat meraup bermiliar-miliar Dana haram. Belum termasuk Pendapatan Formal mereka saban bulan yang Bisa ratusan kali lipat dari yang didapat Munir Ketika Lagi menjadi guru honorer.

Eksis ungkapan hidup Tak adil. Ungkapan yang kiranya pas Demi mengomparasikan nasib Munir dan Angin cs. Celakanya, ketidakadilan seperti itu awet betul di negeri ini. Ia seperti diformalin. Tak Eksis matinya.

Lebih celaka Kembali, negara ikut andil dalam melanggengkan ketidakadilan. Hukuman ringan tuna-Pengaruh jera bagi pelaku korupsi seperti Angin dkk adalah Figur ketidakadilan itu.

Episteme Polemarchus menyebutkan, keadilan adalah memberi kepada setiap haknya, Bagus Demi sahabat, dan jahat Demi musuh. Semestinya, negara sigap menggelontorkan pemberian yang Bagus kepada orang-orang seperti Munir. Semestinya, negara tegas menimpakan hal-hal yang Jelek kepada musuh rakyat semacam Angin dan komplotannya.

Mungkin Anda Menyukai