SEORANG perempuan di Kabupaten Malang, Jawa Timur, tega membunuh temannya, sesama ibu rumah tangga, hanya gara-gara tak diberi pinjaman uang sebesar Rp1 juta. Karena sakit hati, si perempuan yang kini sudah jadi tersangka itu gelap mata. Ia memukuli kepala korban dengan menggunakan martil hingga tewas.
Dia juga terekam membawa kendaraan milik korban seusai kejadian. Atas perbuatannya, tersangka terancam dengan hukuman mati. Ia dijerat pasal berlapis, utamanya pasal tentang pembunuhan berencana. Miris.
Di Kecamatan Gegerbitung, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, sepasang kekasih dengan keji membunuh seorang ibu rumah tangga kemudian membuang jasadnya di pinggir jalan perkebunan yang sepi dan jauh dari permukiman. Sebelum meninggal, korban dicekik dan diikat dengan sabuk pengaman hingga disumpal kain di bagian mulut.
Awalnya, sejoli itu diduga ingin meminjam uang kepada korban yang memang berprofesi sebagai makelar utang. Tetapi, mereka berubah pikiran karena mengira tas yang dibawa korban berisi uang dalam jumlah banyak. Hasilnya zonk karena di dalam tas itu rupanya hanya ada sejumlah perhiasan imitasi dan uang Rp108 ribu. Sesal mungkin ada, tapi bagaimanapun mereka sudah telanjur membunuh dengan sadis.
Argumen ekonomi (utang) juga menjadi motif penyekapan dan penyiksaan terhadap seorang pemuda di sebuah kafe di Duren Sawit, Jakarta Timur. Tindakan itu diduga dipicu tindakan wanprestasi dalam hal kerja sama jual beli mobil antara korban dan terduga pelaku penganiayaan.
Korban disekap karena dianggap tak kunjung membayarkan utang pembagian keuntungan penjualan mobil sebesar Rp100 juta. Meski sudah dibantah pemilik kafe yang diduga menjadi tempat penyekapan, menurut kuasa hukum korban, selama penyekapan itu korban mendapatkan perlakuan kejam, dari dipukul, disabet, hingga disundut rokok.
Tiga contoh kasus yang semua terjadi pada Juli 2024 itu barangkali sudah cukup membuat kita merasa mual, marah, tak lagi sekadar geleng kepala atau mengelus dada. Membikin marah karena model kejahatan primitif seperti itu nyatanya tak pernah menyurut di era modern sekalipun. Terasa memualkan karena boleh jadi itu hanya sebagian kecil contoh dari kasus-kasus serupa yang terjadi di negeri ini.
Sesungguhnya bukan hal baru bila faktor tekanan atau impitan ekonomi dipandang menjadi salah satu penyebab tindak kriminalitas. Itu berlaku sejak dulu, bukan belakangan ini saja. Berabad-abad lalu, Aristoteles mengatakan kemiskinan merupakan induk dari revolusi dan kejahatan.
Anda boleh tidak percaya, tetapi faktanya kejahatan seperti pencurian, perampokan, penculikan, bahkan pembunuhan kerap berkorelasi dengan faktor kemiskinan atau ketidakberdayaan ekonomi. Itu setidaknya dibuktikan tiga kasus yang dijadikan pembuka tulisan ini. Seluruh berkaitan dengan masalah utang alias faktor ekonomi.
Dengan berangkat dari perspektif itu, sejatinya tidak ada alasan bagi negara untuk tidak melakukan upaya maksimal menekan kemiskinan sekecil-kecilnya. Negara semestinya mengentaskan sebanyak-banyaknya orang keluar dari jerat kemiskinan. Bukan dengan sekadar mengutak-atik angka statistik, melainkan benar-benar mengangkat kemampuan orang-orang miskin menjadi lebih berdaya secara ekonomi.
Lanjut terang, belakangan saya merasa agak cemas setelah membaca berita yang merujuk pada hasil pengukuran indeks pembangunan keluarga (Ibangga) yang dilakukan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Dalam salah satu kesimpulannya disebut bahwa masyarakat Indonesia meskipun tergolong miskin tetap merasa bahagia.
Cemas bukan karena saya tidak suka orang miskin punya perasaan bahagia. Bagaimanapun, kebahagiaan itu lintas kasta. Kebahagiaan bukan hak eksklusif orang kaya dan berpunya. Meskipun kemiskinan dan kebahagiaan terkadang sulit disatukan, selalu ada titik kebahagiaan yang bisa diraih seseorang tanpa harus memiliki banyak harta.
Akan tetapi, jika narasi itu yang lebih disodorkan pemerintah, kita atau setidaknya saya khawatir hal itu justru akan melenakan. Kalau kemudian pemerintah malah menjadikan hasil pengukuran Ibangga itu sebagai patokan bahwa kondisi orang miskin di Indonesia baik-baik saja, itu artinya pemerintah terlena. Meski orang miskin bisa bahagia dan mungkin tak banyak menuntut perbaikan, bukan berarti negara boleh mengendurkan tanggung jawab untuk mengangkat derajat hidup mereka.
Kebahagiaan tidak bisa dinilai secara kuantitatif. Standar dan subjektivitas setiap orang tentang bahagia berbeda-beda. Yang bisa diukur dengan angka ialah tingkat kemiskinan. Jadi, salah kaprah kalau kemudian pemerintah jemawa karena merasa mampu membuat masyarakat tetap bahagia meskipun dalam keadaan miskin dan banyak utang.
Mesti dipahami bahwa orang miskin, walaupun bahagia, tetaplah miskin. Definisinya, potensi terjadinya kejahatan yang dilatari motif utang atau tekanan ekonomi, seperti dicontohkan tiga kasus di awal tulisan, tetap tinggi jika laten kemiskinan dibiarkan berkepanjangan. Tugas penting pemerintah ialah memastikan rakyat dapat lepas dari belenggu kemiskinan, bukan menanyai mereka bahagia atau tidak.